Kritik Atas Halusinasi “Tekstual-Kontekstual” Ala Kaum Liberal
Oleh: Irfan Abu Naveed (Dosen Fikih/Manthiq, Peneliti Kajian Balaghah al-Qur'an & Hadis Nabawi)
Membaca tulisan berjudul “Banalitas Di Sekitar Radikalisme”, yang secara terang-terangan membawa pembacanya pada wacana: membenarkan halusinasi soal “kontekstual”, sekaligus mengkritisi kaum radikal yang lazim mereka stempel buruk sebagai kaum “tekstual”, sebagai antitesis dari kaum kontekstual (mereka), maka perlu saya kritisi dan koreksi sebagai berikut:
Mereka yang berhalusinasi soal tekstual dan kontekstual itu sedang mengigau, seakan-akan teks yang telah turun selama belasan abad, nas Al-Qur'an dan al-Sunnah itu, harus tunduk pada halusinasi mereka soal "kontekstual", hingga hukum syari'at yang mapan pun harus dikalahkan oleh produk halusinasi mereka.
Nas yang mengharamkan wanita menjadi pemimpin dalam hadis "lan yufliha qawmun" misalnya, harus tunduk pada halusinasi mereka soal "kontekstual", seakan-akan wanita dulu dan sekarang berbeda, seakan-akan soal paradigma kekuasaan itu sesuatu yang berubah. Kalau kita tanya, mereka bisa jawab "Apa bedanya? Hingga harus dipaksakan lahirnya kesimpulan hukum yang jauh dari teks dan ilmu tentang teks?!
Begitu pula soal paradigma Islam wajibnya satu kepemimpinan, seakan-akan mereka buta realita: Satu kepemimpinan itu pada prinsipnya telah diakui sebagai realitas yang tak pernah bisa dipungkiri, Jokowi misalnya, kenapa orang Aceh dan orang Irian mau disatukan dalam satu kepemimpinan orang Jawa yang tinggal di Pulau Jawa?
Padahal kepemimpinan Rasulullah ﷺ dahulu di era pertama kepemimpinan Islam, berawal dari kepemimpinan di Madinah, yang luasnya tak lebih luas dari bumi Nusantara, kalau begitu, lantas mereka terima secara aklamasi kepemimpinan tunggal model ruwaibidhah?
===
Sebagaimana mereka tak bisa menjangkau realitas adanya kepemimpinan ideologi yang dipaksakan oleh AS CS dan Cina CS. Bukankah hegemoni ideologis mereka ke berbagai belahan dunia pada prinsipnya memaksakan kepemimpinan tunggal ideologis? Kenapa ketika Islam menetapkan kewajiban satu kepemimpinan dikatakan utopis? Kira-kira siapa yang sangat awam memahami realita dan paradigma?
Ini persis seperti ungkapan:
أجهل الناس من ترك يقينه لظن ما عند الناس
"Sebodoh-bodohnya manusia adalah siapa saja yang meninggalkan apa-apa yang (meyakinkan) ia yakini, kepada prasangka (halusinasi) apa yang ada di sisi orang-orang lainnya"
Seakan-akan Allah dan Rasul-Nya, tak bisa menjangkau hakikat manusia dan hal-hal yang berkaitan dengannya melintasi perputaran waktu dan tempat, dibatasi oleh apa yang mereka klaim sebagai "konteks", pokoknya begitu, tak jelas teorinya, tak jelas qawa'id dan dhawabith-nya, lalu mereka berhalusinasi seakan-akan mereka orang yang paling cerdas bebas mengotak atik teks tanpa dasar keilmuan.
Teori ushul fikih mapan menyoal manthuq dan mafhum misalnya, sama sekali tak sedang mendukung halusinasi mereka soal "konteks", bagaimana bisa? Lah, mafhum saja tak pernah terlepas dari petunjuk teks itu sendiri. Dilalat al-iltizam misalnya, memangnya petunjuk kelaziman tersebut bisa disimpulkan terlepas dan jauh dari teks itu sendiri.
Teori ushul fikih mapan menyoal manthuq dan mafhum misalnya, sama sekali tak sedang mendukung halusinasi mereka soal "konteks", bagaimana bisa? Lah, mafhum saja tak pernah terlepas dari petunjuk teks itu sendiri. Dilalat al-iltizam misalnya, memangnya petunjuk kelaziman tersebut bisa disimpulkan terlepas dan jauh dari teks itu sendiri.
Begitu pula teori "sabab nuzul/wurud" dalam kerangka 'ibrah hukum, apakah sebab itu bisa disimpulkan bebas tanpa petunjuk teks (riwayat) Mau masuk ke teori balaghah, li kulli maqam[in] maqal[un] Lah, teori ini pun berputar pada ilmu mendudukkan teks itu sendiri, hingga teks itu tepat diungkapkan pada setiap konteksnya.
Para pakar bahasa arab balaghah mana yang meragukan keunggulan balaghah Al-Qur'an? Dimana teks al-Qur'an hadir melampaui sekat-sekat tempat dan lorong-lorong waktu, hingga pesan-pesan agung yang disampaikan memuat akidah dan syari'at, bisa dipahami oleh manusia baik arab maupun ajam, itu pun sama sekali tak berbicara tentang halusinasi "kontekstual".
===
Tidak itu semua, ternyata andalannya adalah hermeneutika, lagi-lagi hermeneutika yang juga didasarkan pada halusinasi soal sosio historis, maka rusak dan kerusakannya tak bisa ditopang lagi, sesuai dengan kaidah shahihah yang disebutkan para ulama:
كل ما بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka ia pun batil.”[1]
كل ما بني على فاسد فهو فاسد
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang rusak maka ia pun rusak.”
Saya bayangkan, berbagai teori mapan yang sudah diwariskan umat berabad-abad lamanya (talaqqat al-ummah bil qubul), terkait realita "teks dan konteks", baik dalam ilmu manthiq-ushul fikih maupun ilmu bahasa arab-balaghah, seluruhnya harus dikalahkan oleh "zhann bid'ah" "kontekstual", sehingga hukum yang mapan bisa diotak atik hanya berbekal halusinasi sepihak dari "mubtadi'", yang bahkan tak jelas kepakarannya di bidang ijtihad. Tapi kita dapati ulah mereka, kelewat berani mengutak-atik hukum fikih tanpa dasar keilmuan yang mapan.
Sumber : Muslimah News ID
______________
[1] Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm. 264; Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar Athlas al-Khadra’, cet. I, 1422 H, hlm. 343
Posting Komentar