Adab sebelum Ilmu part 1
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman (Khadim Ma’had Syaraful Haramain)
Pentingnya Adab
Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-Tsauri (w. 161 H) mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya (menulis hadits).” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361]
Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan:
قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ: (نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ)
“Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80]
Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak (w. 181 H), menyatakan:
(مَنْ تَهَاوَنَ بِالأَدَبِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ السُّنَنِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ باِلسُّنَنِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ الْفَرَائِضِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ بِالْفَرَائِضِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ المَعْرِفَةِ)
“Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80]
Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan.
Apa Sesungguhnya Adab?
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyatakan:
عِلْمُ الأَدَبِ: هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ
“Ilmu adab: adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, Juz II/368]
Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua: Pertama, adab alami [tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang memiliki ilmu dan kemuliaan.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zari’, yang ketika itu menyertai delegasi ‘Abdu al-Qais, beliau menyatakan:
أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال للمنذر الأشج: (إن فيك خَلَّتين يحبهما الله؛ الحِلْم، والأَنَاة)، قال: يا رسول الله، أنا أتخلَّق بهما أمِ اللهُ جبَلني (خلقني) عليهما؟ قال: (بلِ اللهُ جبَلك عليهما(، قال: الحمد لله الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما الله ورسوله؛
“Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm” [kelapangan dada] dan “anât” [kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan [kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Hr. Abu Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan:
أدب المرء: عنوانُ سعادته وفلاحه، وقلة أدبه: عنوان شقاوته وبَوَارِه، فما استُجلِب خيرُ الدنيا والآخرة بمثل الأدب، ولا استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة الأدب.
“Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368]
Tolok Ukur Adab
Sufyan bin ‘Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan:
إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل
“Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79]
Karena itu, Muhammad bin Syihab az-Zuhri [w. 124 H] menyatakan:
(إن هذا العلم أدبُ الله الذي أدَّب به نبيه صلى الله عليه وسلم، وأدَّب النبي صلى الله عليه وسلم أمَّته، أمانة الله إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، فمن سمع علمًا فليجعله أمامه حجةً فيما بينه وبين الله عز وجل)؛
“Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan Allah ‘Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78]
Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita, yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari Q.s. al-Fatihah hingga Q.s. an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama.
Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya.
_______
Sumber : Guru Muslimah Inspiratif
Posting Komentar