Kapitalisme Menantang Azab
Bencana banjir dan longsor tahun ini memang lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Tak hanya daerah terdampak yang kian meluas, tapi korban dan kerugian material pun jauh lebih besar.
Kengerian saat bencana bahkan terekam dengan baik oleh banyak video amatir yang beredar di berbagai kanal media sosial. Laiknya tsunami Aceh, air yang berwarna pekat tiba-tiba datang bergelombang, menyapu ratusan rumah, menyeret manusia yang lengah, juga kendaraan dan hewan-hewan.
Bahkan, selain membawa material tanah dan ribuan kubik sampah, di beberapa tempat seperti Kabupaten Bogor dan Lebak, hujan yang super lebat membuat tanah perbukitan bergerak-gerak. Lalu longsorannya pun menimbun puluhan orang, sekaligus merusak ribuan rumah.
Di luar korban nyawa dan dampak trauma yang tak bisa dinilai dengan uang, tak terhitung kerugian material akibat bencana ini. Baik untuk harta yang hilang atau rusak. Juga untuk kegiatan bisnis yang stag dan berakibat hilangnya potensi keuntungan akibat mandeknya perputaran uang.
Terhitung untuk di Jakarta saja misalnya, kerugian transaksi diprediksi melampaui Rp1 triliun. Di sektor ritel, 1 toko ritel ditakar rugi 10 miliar per hari. Padahal ritel besar di jakarta jumlahnya ada ratusan, dan ritel yang ada di mal dan pasar tradisional Jakarta jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Itu baru satu sektor bisnis. Yakni sektor ritel dan itu pun yang ada di Jakarta saja. Jika sektor-sektor ekonomi lain dan tempat-tempat yang terdampak dihitung, tentu angkanya akan jauh lebih besar lagi.
Pihak BMKG sendiri, menyebut bahwa kondisi cuaca yang menyebabkan bencana di awal tahun ini sebenarnya belum seberapa. Karena puncak cuaca ekstrim justru akan terjadi sekitar bulan Pebruari dan Maret yang akan datang.
Artinya, kehidupan masyarakat Indonesia, masih dibayang-bayangi oleh bencana yang lebih besar, apakah berupa banjir, longsor, puting beliung, atau yang lainnya. Sehingga siapa pun tentu harus waspada, karena bencana bisa menimpa siapa saja dan di mana saja.
Pertanyaannya, mengapa bencana demi bencana seakan tak mau beranjak dari kehidupan masyarakat Indonesia?
Selain soal ketetapan Allah Swt., bencana sejatinya adalah warning bagi kita manusia, bahwa ada yang salah dengan cara kita menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan alam. Bukan hanya soal pemimpin di berbagai levelnya, tapi juga yang dilakukan oleh rakyatnya berikut sistem hidup yang diterapkan.
Allah Swt. berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ الْقَيِّمِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا مَرَدَّ لَهُ مِنَ اللَّهِ ۖ يَوْمَئِذٍ يَصَّدَّعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya). Pada hari itu mereka terpisah-pisah.” (QS. Ar Rum : 41-43)
Tak dipungkiri bahwa musabab bencana yang terjadi di negeri ini memang terkait dengan perbuatan manusia. Baik akibat perilaku yang sifatnya individual, komunal, maupun akibat kebijakan yang diterapkan oleh penguasa.
Kita lihat, betapa kesadaran menjaga alam sudah nyaris hilang dari perhatian dan budi daya masyarakat kita. Tumpukan sampah bisa dengan mudah ditemukan di mana-mana, termasuk di saluran air, sungai-sungai bahkan di lautan. Kontrol sosial pun sudah tak lagi ada. Hingga perilaku buruk dan rusak ini kian merebak menjadi sebuah budaya.
Bahkan mirisnya, bencana seberat apa pun nampaknya tak jadi pelajaran. Pada kasus Jakarta, bencana banjir malah jadi ajang untuk saling menyerang. Sehingga alih-alih menjadi wasilah pertobatan, untuk perenungan pun nampaknya jauh dari bayangan.
Di pihak lain negara pun nampak abai. Tak ada upaya serius untuk menyelesaikan problem ini hingga ke akar. Padahal bukan tak bisa. Karena bukankah penguasa memiliki segalanya? Termasuk aturan kekuasaan dan berbagai bentuk media untuk mengkondisikan masyarakat agar punya kedisiplinan.
Negara juga memiliki akses pada berbagai sumberdaya yang bisa dikerahkan untuk meraih kemaslahatan umat. Di antaranya perguruan-perguruan tinggi yang bisa dipaksa untuk menghasilkan teknologi tepat guna serta melakukan riset-riset yang bermanfaat untuk umat. Bukan malah membiarkan perguruan tinggi dan segala risetnya mengabdi pada kepentingan bisnis kapitalis global.
Masalahnya, negara dalam sistem kapitalisme korporatokrasi yang diterapkan hari ini memang dikondisikan untuk lepas tangan dari persoalan masyarakat.
Bahkan, negara cenderung menjadi sumber kezaliman dan kerusakan. Yakni melalui berbagai kebijakan yang diterapkan, termasuk investasi asing yang sejatinya menjadi jalan pejabat mencari keuntungan, sekaligus menjadi pintu asing melakukan penjajahan.
Kita lihat, kebijakan pembangunan yang diadopsi oleh negara, dan disetir gurita kapitalisme global memang sama sekali tak lagi berparadigma penyelamatan semesta alam. Negara tak punya blue print tata wilayah yang memperhitungkan keseimbangan ekosistem. Pembangunan fisik yang jor-joran bahkan abai terhadap aspek analisis dampak lingkungan.
Wajar jika alih fungsi lahan berjalan demikian mengerikan. Hingga lahan persawahan, lahan pertanian, bahkan hutan-hutan dan lahan gambut yang berfungsi sebagai reservoir air berubah menjadi kawasan perumahan, industri, tempat having fun, serta jalan-jalan dan kawasan bersemen dan berbeton.
Sumber-sumber air bersih dan hutannya pun dikooptasi para kapitalis. Hingga aneh bin ajaib. Rakyat di negeri berlimpah hutan dan sumber air ini, rakyat bisa mengalami krisis air, sementara merek air mineral terus saja bermunculan.
Tambang-tambang pun aktif dieksploitasi, tapi lebih dari separuh rakyat hidup miskin bahkan 22 juta-nya mengalami kelaparan kronis. Dan mereka harus menanggung dampak kerusakan alam yang tak bisa pulih bahkanpun hingga tujuh turunan.
Wajar jika alam begitu marah. Air tak lagi punya jalan pulang. Bahkan dijauhkan dari kampung halaman. Sungai-sungai diluruskan. Tak punya ruang bebas karena bantaran dibiarkan jadi tempat pelarian rakyat yang memang tak punya banyak pilihan.
Sementara di pihak lain, penguasa sibuk memberi previlage pada para kaum berduit untuk menikmati keindahan pantai dan proyek reklamasi serta menikmati keuntungan investasi tak berkesudahan. Dan jika muncul permasalahan, satu sama lain sibuk saling menyalahkan. Berdalih pagar otda dan adu tawar dari berbagai macam kepentingan.
Sungguh tak salah jika Islam sejak belasan abad mengingatkan. Bahwa manusia diciptakan bukanlah untuk membuat kerusakan. Tapi untuk memelihara alam dan kehidupan. Yakni dengan menjadi khalifah sekaligus hamba Allah di bumi milikNya.
Esensi peran sebagai khalifah dan hamba Allah ini tak lain akan mewujud melalui tegaknya risalah Islam yang aturan-aturannya memang diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam. Bukan dengan mengadopsi dan mempertahankan sistem sekuler yang nyata-nyata rusak dan memproduksi kerusakan.
Dan secara empiris, manifestasi bentuk kehidupan ideal saat Islam diterapkan telah dicatat oleh sejarah selama belasan abad. Yakni di bawah naungan sistem khilafah yang keagungan peradabannya tak bisa dinafikan. Tak hanya umat Islam yang dimuliakan, bahkan nonmuslim, hingga makhluk lainnya pun dijaga sebagaimana tujuan penciptaan
Hari ini, aturan-aturan Islam justru dengan sengaja dicampakkan, hingga wajarlah jika yang berkuasa adalah kekuasaan setan bersama wadya baladdari kalangan manusia yang rakus akan kekayaan dan tak kenal kebaikan. Mereka bahkan berkolaborasi membuat fasad dengan para penjajah yang akalnya diliputi kebencian pada Islam dan umatnya.
Lantas, hingga kapan kita akan menantang aturan Allah, dan rela menerima bencana demi bencana sebagai tanggungannya?
Sungguh, bencana dunia tak seberapa dibandingkan dengan bencana akhirat yang disiapkan bagi para penentang aturan Allah. Akan tetapi tak cukupkah kehinaan yang saat ini mereka rasakan akibat dosa menolak ketaatan?
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha [20] : 124). Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab. [MNews]
_________
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar