Keteladanan yang Menakjubkan
Di bawah naungan Khilafah Islam pada masa lalu, kisah-kisah keteladanan para wali Allah subhanahu wa ta'ala yang menakjubkan seperti di bawah sungguh luar-biasa banyaknya. Keteladanan mereka rasanya sukar kita bayangkan terjadi di alam sekular seperti saat ini.
________________________________________
Oleh: Arief B. Iskandar (Khadim Ma'had An-Nahdhah al-Islamiyah)
Al-Qasim bin Nu’man al-Ju’i adalah ulama shalih. Ia hidup semasa dengan Imam Ahmad. Suatu saat di Damaskus ia berbicara di sebuah majelis mengenai itsar (altruisme), yakni sikap mengutamakan orang lain meski yang bersangkutan membutuhkan.
Tak disangka, saat Al-Qasim berbicara, seseorang dari luar majelis tiba-tiba masuk dan menghampiri dirinya. Kemudian lelaki tak dikenal itu meminta surban yang dipakai Al-Qasim. Tanpa pikir panjang, Al-Qasim pun melepaskan surbannya. Lalu memberikan surbannya kepada laki-laki tersebut. Selanjutnya Al-Qasim tetap melanjutkan nasihatnya (Thabaqat al-Awliya’, hlm. 395).
Begitulah al-Qasim. Sikapnya sama dengan ucapannya.
===
Al-Khair bin Na’im dikenal sebagai hakim Mesir yang adil. Suatu saat datanglah kepada dia dua orang yang bersengketa mengenai unta cacat. Pembeli melihat unta itu cacat saat ia beli. Karena itu ia ingin membatalkan jual-beli unta tersebut. Sebaliknya, si penjual menolaknya karena tidak melihat adanya kecacatan saat menjual unta itu.
Keduanya datang kepada Al-Khair saat waktu shalat magrib tiba. Karena itu sang hakim menunda proses hukum hingga esok harinya agar tidak terlewatkan waktu shalat.
Penjual dan pembeli itu pun menginap. Tanpa diduga, pada malam hari unta yang disengketakan mati. Pagi harinya, kedua orang itu datang kepada hakim menyampaikan status unta, siapa yang harus mengganti harga unta yang mati itu? Al-Khair pun menjawab, “Putraku, bukan penjual atau pembeli yang mengganti, tetapi hakim yang menunda proses hukum yang harus mengganti.”
Akhirnya, Al-Khair pun mengganti harga unta itu (Ad-Durrar al-Munadzdzam, hlm. 231).
===
Qadhi Nuh bin Maryam adalah pemimpin sekaligus qadhi di Marwa yang memiliki putri yang sangat cantik. Karena kecantikan sang putri, banyak tokoh dan pembesar yang ingin memperistri putrinya itu.
Sang qadhi memiliki pembantu yang bertugas menjaga kebunnya. Suatu saat Qadhi Nuh pergi ke kebun. Ia lalu meminta sang pembantu agar memetik anggur untuk dirinya. Sang pembantu pun memetik dan memberikan anggur itu kepada dia. Ternyata rasanya masam. Qadhi Nuh berkata, “Berikan yang manis!”
Sang pembantu kembali memetik anggur lain. Ternyata rasanya juga masam. Sang Qadhi mulai merasa jengkel, “Engkau tidak tahu mana yang manis dan yang masam?”
Sang pembantu pun menjawab, “Ya, karena Anda memerintahkan saya untuk menjaga kebun anggur ini, tidak untuk memakannya. Siapa yang tidak makan, dia tidak tahu (rasanya).”
Sang Qadhi merasa takjub dengan pernyataan sang pembantu. Ia menilai sang pembantu memiliki sifat jujur dan amanah. Akhirnya, sang Qadhi menikahkan pembantu itu dengan putrinya. Dari pasangan pembantu dan putri qadhi itu, lahirlah Ibnu Mubarak, ulama besar yang dikenal dengan keshalihan dan keilmuannya (An-Nur as-Safir, hlm. 442).
===
Qadhi Suraih pernah menyatakan bahwa jika ia tertimpa musibah maka ia mengucapkan hamdalah sebanyak empat kali. “Pertama, aku mengucapkan hamdalah karena tidak tertimpa musibah yang lebih berat. Kedua, aku mengucapkan hamdalah karena aku dianugerahi kesabaran atasnya. Ketiga, aku mengucapkan hamdalah karena dengan itu aku mengucapkan kalimat istirja’ hingga aku memperoleh pahala. Keempat, aku mengucapkan hamdalah karena musibah itu tidak menimpa agamaku,” katanya (Siyar A’lam an-Nubala, IV/101).
===
Imam Syamsuddin ar-Ramli adalah ulama besar Syafiiyah Mesir. Murid-muridnya kebanyakan adalah murid ayahnya, Imam Syihabuddin ar-Ramli yang telah wafat. Salah seorang muridnya adalah ulama besar, Syaikh Nashiruddin ath-Thablawi. Saat itu usia Imam Syamsuddin ar-Ramli setaraf dengan usia putra Syaikh ath-Thablawi.
Karena berguru kepada orang yang usianya jauh lebih muda, banyak cibiran yang ditujukan kepada ath-Thablawi, namun tidak ia hiraukan. “Aku tidak berguru kepada dia jika memang aku telah memperoleh ilmu yang tidak aku ketahui.” (Khulashah al-Atsar, III/329-333).
===
Imam ats-Tsauri suatu saat menyantap menu makan malam hingga kenyang. Usai makan, ia berkata, “Sesungguhnya seekor keledai, jika pakannya ditambah, maka kerjanya pun lebih lama.”
Setelah itu Imam Ats-Tsauri pun melaksanakan shalat malam lebih lama dari biasanya hingga datang waktu subuh. (Manaqib Imam Ats-Tsauri, hlm. 48).
===
Di bawah naungan Khilafah Islam pada masa lalu, kisah-kisah keteladanan para wali Allah subhanahu wa ta'ala yang nenakjubkan seperti di atas sungguh luar-biasa banyaknya. Keteladanan mereka rasanya sukar kita bayangkan terjadi di alam sekular seperti saat ini.
Selayaknya generasi umat ini merindukan hidup dalam asuhan para orangtua yang paham agama, di bawah didikan para ulama yang bertakwa, dalam lingkungan masyarakat yang islami dan di bawah naungan sistem pemerintahan Islam. Hanya dengan itulah akan banyak lahir generasi yang tak hanya luas ilmu agamanya, tetapi juga tinggi adab dan akhlaknya.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. []
===
Sumber: t.me/ariefbiskandar
Posting Komentar