Megaskandal Jiwasraya, Sinyalemen Runtuhnya Rezim Kapitalisme
“Deretan skandal keuangan mendera negeri ini. Mulai dari kasus koperasi Cipaganti yang merugikan masyarakat senilai Rp3 triliun, First Travel yang menggondol uang jamaahnya sebesar Rp1 triliun, dan yang terbaru adalah terbongkarnya megaskandal asuransi Jiwasraya sebagai kecolongan keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia, yang merugikan negara dan masyarakat sebesar Rp13,7 triliun. Situasi ini, cukup membuktikan berakhirnya rezim kapitalisme dan anak cucunya.”
Oleh: Rabihah Pananrangi
Kinerja Asuransi Jiwasraya
Sejak lama Jiwasraya dibelit masalah keuangan, perusahaan auransi itu terbelit utang pada periode sembilan bulan pertama 2019, kerugian setelah pajak tercatat menyentuh angka Rp13,74 triliun dan kerugian semakin membengkak pada tutup buku 2018 dengan mencapai Rp15,89 triliun setelah pajak, (Tirto, 12/11/2019).
Akhirnya, nilai aset pun mulai tergerus. Klaim Jiwasraya mengenai nilai aset yang dimiliki pada 2017 mencapai angka Rp45,69 triliun terus menyusut, hingga September 2019 Jiwasraya berada di angka minus Rp23, 92 triliun berdasarkan salinan catatan evaluasi kinerja Jiwasraya yang disampaikan pada komisi XI DPR.
Runtuhnya Kapitalisme
Kerakusan kaum kapitalis ternyata tak pernah terpenuhi. Mereka telah menjelma menjadi Erisychthon, tokoh dalam mithologi Yunani yang dikutuk para dewa tidak akan pernah kenyang.
Kutukan yang dialami Erisychthon, seorang tukang kayu kaya tetapi serakah ini gara-gara ia nekat menebang pohon kayu kesayangan para dewa yang dipergunakan tempat beribadah.
Akhirnya Erisychthon memakan semua yang ada, sampai akhirnya tak ada satu pun yang bisa dimakan kecuali dirinya sendiri. Eriscychthon pun kemudian memakan dirinya sendiri.
Ruh dari sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem riba sebagai keuntungan atas penjualan uang. Oleh karena itu, bagi kapitalis uang bukan hanya bernilai sebagai alat tukar tetapi uang merupakan komoditas.
Filosofi riba sesungguhnya adalah sebuah mekanisme yang satu pihak menjadi kaya raya sedangkan pihak lain mejadi semakin miskin dan terpuruk.
Bail Out bukan Solusi
Pemerintah masih mencari jalan keluar penyelamatan Asuransi Jiwasraya yang terjerat kasus gagal bayar polis asuransi nasabah. Penyelamatan asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini harus berpacu dengan waktu mengingat jumlah dana nasabah yang jatuh tempo sekitar Rp13,7 triliun.
Pengamat asuransi, Hotbonar, meminta pemerintah menolak usulan manajemen untuk memberi dana talangan. Ia bilang solusi itu tidak mendidik dan malah akan membuat BUMN asuransi lain akan ikut merongrong dengan cara yang sama bila terbelit masalah.
Hotbonar menyarankan pemerintah menutup rapat pintu mempailitkan Jiwasraya. Ia bilang rencana ini dipastikan akan berakhir buruk karena akan memengaruhi kepercayaan masyarakat secara keseluruhan dan berdampak negatif pada industri asuransi secara luas.
“Saya bilang jangan memenuhi permintaan Jiwasraya. Harus selain bail out dan dana talangan. Jangan dipailitkan juga karena ini ada kepercayaan masyarakat,” ucap Hotbonar. (Tirto, 14/11/2019).
Lanjutnya, ia mengatakan kasus serupa sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Namun, OJK selalu kebobolan. Ia pun mencontohkan seperti kasus penggelapan dana nasabah Rp4 triliun di koperasi Pandawa, Depok, Jawa Barat. Bahkan, sebelumnya juga ada kasus koperasi Cipaganti, yang menghilangkan uang masyarakat mencapai Rp3 triliun. Hingga kasus First Travel, yang menghilangkan uang masyarakat hingga Rp1 triliun.
Asuransi dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama yang bersifat komprehensif dan holistik mengatur semua aspek kehidupan umat manusia baik dari sisi hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, sebagaimana perintah Allah Swt. dalam firman-Nya yang artinya
“Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kafah (menyeluruh) dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqarah: 208).
Dalil di atas menunjukkan inStruksi Allah Swt. untuk manusia agar senantiasa mengamalkan ajaran Islam secara total dan menyeluruh. Artinya manusia yang mengamalkan hanya sebagian atau pun memilih perintah Allah Swt. merupakan pengikut setan.
Postulat di atas pun menegaskan bahwa apabila manusia melanggar perintah Allah Swt. maka ia akan menerima konsukensi logis dari perbuatannya dalam bentuk siksaan dan azab Allah Swt..
Maraknya pelanggaran atas perintah Allah Swt. semakin menguat setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah, di mana nampak jelas bahwa pemahaman manusia tentang agamanya mengalami kemunduran besar bahkan mereka mengikuti aturan-aturan yang bertentangan syariat Islam, termasuk asuransi.
Menurut Taqiyyuddin An-Nabhani, praktek asuransi yang berkembang di masyararakat adalah haram, baik dari aspek akad atau transaksi, maupun aspek jaminan atau janji perusahaan asuransi kepada pihak tertanggung.
Pendapat Taqiyyuddin senada dengan ulama kontemporer, yaitu Sayyid Sabiq, Yusuf Qardhawidan Abdullah al- qalqii bahwa asuransi itu haram dengan segala bentuknya.
Alasan keharaman asuransi adalah bahwa asuransi sama dengan judi, asuransi mengandung unsur ketidakpastian, mengandung riba, premi yang dibayarkan akan diputar dalam praktik riba, serta hidup dan matinya manusia dijadikan aspek bisnis yang artinya mendahului takdir Allah Swt. (Hasan Hamid, Asuransi dalam Hukum Islam, Insan Media, 2008).
Menurut Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Hizb al-Tahrir menyatakan bahwa seseorang dalam melakukan sesuatu maka sudah tentu memiliki tujuan atas perbuatannya tersebut.
Tujuan ini yang disebut nilai perbuatan (qimatul al-amaal), jika tidak tentulah perbuatannya menjadi sia-sia, dan sebaliknya ia harus memperhatikan tercapainya nilai-nilai perbuatan yang melatarbelakanginya. (Taqiyyuddin An-Nabhani, Mafahim Hizbuttahrir, HTI Press, 2005).
Dalam pembahasanya masalah asuransi, Taqiyyuddin An-Nabhani melakukan kajian dan analisis terhadap ide dasar dari transaksi (akad) dalam asuransi tersebut. Karena faktanya banyak kaum muslimin yang terlibat dalam transaksi asuransi. Dalam hal ini Taqiyyuddin An-Nabhani lebih memfokuskan dalam kajian akad, jaminan yang diberikan persahaan asuransi kepada pihak tertanggung.
Kedua pihak harus saling menjaga dan mengaitkan diri dalam akadperjanjian yang telah disepakati. Sedangkan pada aspek jaminan menurut Taqiyyuddin An-Nabhani adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu hak. (Taqiyuddin An-Nabhani, an Nidzamu al-Islam al-Iqtishadi fi al-Islam).
Dalam konteks jaminan terhadap jiwa baik perorangan maupun individu, menurut Taqiyyuddin An-Nabhani yang dibenarkan hanyalah jaminan risiko yang dialami oleh seseorang, dalam hal ini jika pihak tertanggung meninggal maka pihak asuransi memberikan sejumlah uang kepada anak, istri, atau ahli waris dari pihak yang tertanggung.
Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara jaminan risiko dengan jaminan jiwa, di mana jaminan jiwa telah diberikan oleh Allah Swt., di mana tidak ada seorang pun yang bisa menunda maupun mempercepat datangnya ajal seseorang. Sebagaimana fiman Allah Swt. yang artinya:
“Tiap-tiap umat punya batas waktu, maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaat pun dan tidak (pula) mampu memajukannya.” (TQS Al A’raf: 34)
Hukum Asuransi menurut Taqiyyuddin An-Nabhani
Setelah melakukan pengkajian mendalam dan menyeluruh dan berpedoman pada konsep syariat, maka Taqiyyuddin An-Nabhani menarik kesimpulan bahwa secara keseluruhan asuransi hukumnya haram.
Polis asuransi adalah janji batil. Dengan demikian, perolehan harta dari jenis transaksi in adalah haram dan termasuk kategori harta kotor. (Taqiyuddin An-Nabhani, an Nidzamu al-Islam al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 188).
Akad atau transaksi dalam asuransi dikatakan batil karena akad tidak memenuhi syarat yang dibenarkan syariat bahwa transaksi yang dibenarkan adalah dalam bentuk barang atau berupa jasa.
Asuransi pula merupakan janji atau jaminan pertanggungan (garansi) dan zatnya tidak dapat dipakai dan tidak bisa diambil manfaatnya. Bahwa diperolehnya sejumlah uang berdasarkan janji tetapi janji tidak bisa dijadikan jasa, namun sebagai akibat dari muamalah. (Taqiyuddin An-Nabhani, an Nidzamu al-Islam al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 184).
Oleh sebab itu, Taqiyyuddin An-Nabhani pun menegaskan jika terdapat hak dan wajib yang diterima oleh pihak yang mendapatkan jaminan atas pihak yang dijamin maka jaminan tersebut tidak sah. Sebagaimana keterangan Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitab an Nidzamu al-Islam al-Iqtishadi fi al-Islam.
“Jika terdapat hak wajib yang berbeda yang diterima oleh pihak yang mendapatkan jaminan atas pihak yang dijamin, maka jaminan tersebut tidak sah. Sebab, disyaratkan bagi pihak penjamin agar menjamin barang. Jika barang tersebut hilang atau rusak atau menjamin utang dengan jaminan praktis, atau menjamin dengan kemampuan (kekayaan). Jika belum jatuh tempo pemenuhannya baik pada saat itu ataupun kekayaan pihak penjamin maka jaminan tersebut tidak sah.”
Dalam keterangan di atas, maka jaminan dikatakan sah apabila dalam jaminan ada pihak penjamin dan dalam rangka menunaikan hak tanpa ada kompensasi atau imbalan apa pun.
Oleh karena itu, pada realitasnya perusahaan asuransi kepada pihak tertanggung tidahk memenuhi syarat ketentuan jaminan dalam hukum syariat. Selanjutnya asuransi tidak menyediakan pemindahan hak kepada orang lain secara mutlak.
Perusahaan asuransi juga tidak menjamin hartanya kepada seseorang dalam menunaikan kewajibannya kepada pihak tertanggung. Olehnya jaminan yang disediakan dalam asuransi adalah jaminan batil.
Bila diperhatikan secara teliti, perusahaan asuransi tidak menanggung hak harta apa pun hingga jaminan yang diberikan tidak memenuhi hukum syariat. Dengan demikian perusahaan asuransi menjamin sesuatu yang tidak wajib untuk dilaksanakan baik secara tunai maupun kredit.
Berdasarkan pendapat penulis dengan mengacu pada pendapat dan pemikiran Taqiyyuddin An-Nabhani, maka rentetan kejadian bobroknya sistem ekonomi negeri ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Megaskandal Jiwasraya sebagai pelajaran berharga bagi umat untuk tidak terlibat dalam transaksi keuangan yang batil, sehingga terhindar dari kerugian. Sumber masalah dalam negeri adalah umat secara sukarela mengikuti sistem yang cacat.
2) Terjadinya kerugian umat sebagai isyarat lemahnya pemahaman agama pascaruntuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Artinya umat tidak memiliki sistem yang dapat menjamin kehidupan secara keseluruhan.
3) Haramnya asuransi karena ada perbedaaan antara ijab dan kabul. Apalagi dengan jaminan keselamatan nyawa manusia, yang sesungguhnya hanya Allah Swt.-lah yang telah menentukan batas-batasnya. Bukan manusia apalagi perusahaan asuransi.
4) Negara gagal menyelesaikan kondisi keuangan asuransi Jiwasraya, negara lalai memenuhi janji-janjinya. Negara yang berkiblat dan hidup dalam sistem kapitalisme tidak mampu memberi manfaat.
5) Megaskandal Jiwasraya sebagai akhir dari rezim kapitalisme dan umat mesti menyadari dan disadarkan untuk bergerak bersama menegakkan Islam secara kaffah demi jaminan kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat. [MNews]
________
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar