Awal tahun baru dibuka dengan berbagai skandal mega korupsi. Publik dikejutkan dengan PT Asuransi Jiwasraya yang mengalami gagal bayar. Belum kering masalah Jiwasraya, publik kembali dibuat tercengang dengan tertangkapnya komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang juga menyerat kader PDIP dan mantan anggota bawaslu.
Harun Masiku mendadak naik daun karena ia ketahuan menyuap Wahyu Setiawan dalam penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024 melalui proses PAW (Pergantian Antar Waktu). Ia diduga menerima suap dari Harun sebesar Rp900 juta. Nama Hasto Kristiyanto pun mencuat seiring ditetapkannya Harun Masiku, Saeful Bahri, dan Agustiani Tio Fridelia. Mereka terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Kasus suap yang melibatkan kader PDIP pun berbuntut panjang. Perburuan kepada para tersangka begitu dramatis dan menyusahkan. Bahkan sempat terjadi perselisihan di kantor PDIP lantaran KPK dicegah melakukan penggeledahan. Belakangan diketahui, PDIP mengancam akan melaporkan penyidik KPK ke Dewan Pengawas KPK. Mereka menuding penyidik KPK melakukan penyalahgunaan wewenang atas kasus Wahyu Setiawan. Sungguh respons yang tidak biasa. KPK seperti pasrah dan kalah menghadapi partai penguasa berlambang moncong putih itu.
Skandal mega korupsi yang juga menyita perhatian publik adalah dugaan korupsi PT Asabri. Nilai kerugian negara ditaksir hampir Rp10 triliun. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tengah mendalami kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Hal ini dilakukan setelah BPK menemukan potensi kerugian perusahaan sebesar Rp16,7 triliun. Perhitungan kerugian tersebut berasal dari kesalahan penempatan investasi Asabri pada dua instrumen investasi yakni saham dan reksadana. Di mana kerugian investasi reksadana sekitar Rp6,7 triliun, sedangkan saham Rp9,7 triliun. (kontan.co.id, 17/1/2020).
Terkuaknya kasus megakorupsi mengindikasikan bahwa salah kelola BUMN berakibat fatal bagi negara. Pertama, kasus korupsi tak pernah mati. Penyakit bawaan demokrasi ini memang sulit diberantas. Sebab, korupsi sudah menjadi tabiat dalam sistem demokrasi. Di mana ada pusaran uang, proyek, dan kekuasaan, di situlah potensi korupsi bisa terjadi.
Sistem demokrasi berbiaya mahal menuntut seseorang mengembalikan modal. Sebagai contoh kasus suap Wahyu Setiawan. Demi menjadi anggota DPR, mereka lakukan rekayasa agar Harun Masiku masuk dalam bursa anggota legislatif.
Karena korupsi adalah cacat bawaan, maka mustahil memberantasnya hingga ke akar. Sebab, pemberantasan korupsi yang selama ini terjadi hanyalah sisi permukaan. Sementara skandal-skandal korupsi yang melibatkan ‘orang besar’ tak pernah diusut tuntas oleh KPK. Alhasil, membersihkan negara dari para tikus berdasi bagai mencari jarum di tumpukan jerami.
Kedua, megakorupsi yang menyeret perusahaan plat merah membuat BUMN di ambang krisis. Sejauh ini, Jiwasraya masih memuncaki klasemen sementara liga korupsi Indonesia. Kerugian negara mencapai Rp13,7 triliun.
Berikutnya Asabri mencapai Rp10 triliun, Bank Century Rp8 triliun, Pelindo II Rp6 triliun, BLBI Rp4, 5 triliun, e-KTP Rp2,3 triliun. Bukan tak mungkin menyusul BUMN lain yang jauh lebih dahsyat nilainya. Angka yang begitu fantastis untuk perusahaan berplat merah. Negara benar-benar dirugikan oleh ulah para koruptor.
Belum lagi persoalan gagal bayar polis seperti yang dialami Jiwasraya, Asabri, dan AJB Bumiputera. Ketiganya adalah perusahaan asuransi yang salah kelola investasi. Seakan mengonfirmasi bahwa perusahaan asuransi memang rawan mengalami kerugian gagal bayar kepada nasabah. Bermain-main dengan saham ala kapitalis di sektor nonriil menjadi tanda kelemahan transaksi dalam kapitalis.
Ketiga, korupsi itu bagai gurita. Menyentuh siapa saja yang menginginkan kuasa dan harta berlimpah. Karena sistem yang ada melahirkan manusia-manusia serakah. Rakus dalam harta, tak amanah menjalankan kewajiban sebagai pejabat negara. Tinta hitam gurita korupsi siap menyembur siapa pun dan apa pun.
Tak dipungkiri, kehidupan politik dan ekonomi saat ini sedang berada di pusaran kapitalis demokrasi. Jadi, tak mengherankan bila berita korupsi selalu hadir seperti sarapan pagi. Godaan korupsi itu akan semakin besar tatkala ia memegang jabatan dan kekuasaan yang besar pula. Seperti yang dialami PDIP, partai penguasa hari ini. Dulu sangat nyaring teriak anti korupsi. Setelah di puncak kekuasaan, kadernya banyak yang dicokok KPK.
Keempat, posisi KPK lemah. Revisi UU KPK menjadi salah satu sebabnya. Proses administrasi hukum yang lebih rumit menjadikannya tak lagi leluasa melakukan penggeledahan. Harus menunggu persetujuan Dewan Pengawas KPK. Selama 18 tahun berdiri, KPK bahkan belum berhasil mengungkap dalang skandal mega korupsi. Hanya menyentuh kasus-kasus kelas teri dan mini.
Di satu sisi publik mengapresiasi, di sisi lain publik juga gemas dengan sikap KPK yang tebang pilih kasus. Hukum menjadi lemah tak berdaya bila menyangkut penguasa. Penindakan dan sanksi yang diberikan pada pelaku koruptor juga seakan tak berarti. Mereka tak kapok berulah. Sanksinya tak memberi efek jera. Bahkan masih bisa mendapat remisi pula.
Solusi Sistemis Korupsi
Babak penyisihan kasus korupsi, akankah memasuki masa “injury”? Tak dipungkiri, sistem kapitalisme demokrasi memang berperan besar. Persoalan korupsi bukan sekadar karena upaya pemandulan KPK atau kongkalikong pejabat negara.
Persoalan korupsi adalah masalah sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Di sinilah Islam mampu menjawabnya. Dalam sistem Islam, salah satu poin penting dalam penanganan korupsi adalah pengawasan. Sebelum penindakan, Islam memberi solusi pencegahan, yaitu melalui pengawasan individu, masyarakat, dan negara.
Pertama, pengawasan individu. Spirit ruhiyah yang terbangun dalam kehidupan Islam akan membentuk rasa takut setiap hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan merasa selalu diawasi oleh Allah, ia sadar bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban.
Kedua, pengawasan masyarakat. Ketika kehidupan islam terbentuk, aturan Islam diberlakukan, maka terciptalah kebiasaan beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Masyarakat sendirilah yang menjadi pengontrol dan pengoreksi para pejabat negara. Sehingga celah untuk melakukan praktik korupsi semakin minim.
Ketiga, pengawasan negara. Tanpa peran negara, pengawasan individu dan masyarakat menjadi tak berarti. Sebab, negaralah yang menetapkan kebijakan dan memberlakukan hukum syariat secara legal. Sistem sanksi memberi efek jera bagi para pelaku koruptor. Mereka akan berpikir seribu kali bila nekat bertindak korupsi.
Negara Khilafah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pejabat negara. Sistem penggajian yang layak, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pelarangan setiap pejabat negara menerima hadiah adalah diantara upaya pencegahan negara adanya praktik suap.
Membersihkan korupsi itu akan tuntas bilamana persoalan sistem yang memberi peluang korupsi diganti. Apa hebatnya demokrasi kalau ujung-ujungnya korupsi? Apa hebatnya kapitalisme jika pada akhirnya memberi peluang para perampok negara leluasa bergerak?
Sistem Islam adalah jawaban atas persoalan sistem yang sudah rusak. Babak injury time korupsi akan berakhir manakala sistem Islam diterapkan dalam bingkai Negara Khilafah Islamiyah.
______
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar