Bukan Kelas Mantra
Oleh : Nyai Dalang
"Ada ketidaktahuan dalam tahumu" adalah kutipan sederhana yang harus ter-install dalam diri siapa saja yang hendak menuntut ilmu. Sebab, memasukkan pengetahuan ke dalam kepala yang berisi hanya akan menguar dan ambyar. Maka, boleh jadi kutipan singkat diatas menjadi wasilah mengosongkan gelas, agar ilmu apapun yang hendak diraih menjadi berbekas.
Ini adalah kisah Nyai yang duduk di kelas opini untuk pertama kali. Heran? Pastinya. Wong dibelantara per opinian, nama Nyai bukanlah pendatang baru. Jam terbang menulis opini juga tak bisa dibilang anak bawang, sudah lebih dari 50 artikel gentayangan di laman media digital.
Terus, kalau sudah pintar, ngapain ikut-ikutan kelas menulis segala? Kan butuhnya para penulis opini itu bisa mejeng di beranda koran online. Kalau dipikir-pikir, Nyai sudah lulus uji kompetensi bukan? ngapain harus mundur mencari ilmu yang sudah berhasil diterapkan. Tapi, disinilah Nyai justru berkeinginan kuat untuk berbagi sepenggal kisah pengalaman Nyai di dunia literasi. Simak saja ceritanya, semoga kawan semua mendapat ibroh dari cerita pendek ini.
Diawali dengan emoticon senyum, salam, sapa, yang sudah mirip jargon Pertaminul, sang mentor memulai percakapan di kelas online WCWH#15 Opini. Di pertemuan perdana ini, berbagai motivasi dicurahkan oleh guru untuk menghajar semangat murid yang masih anteng di dalam sangkar.
Salah satu pesan yang ditularkan oleh beliau adalah meraih amal saleh melalui tulisan, yang bahkan jika kematian sudah meminang sang penulis, masih bisa meninggalkan amal jariyah yang terus mengalir. Cikgu mengajari para murid agar berbisnis dunia-akhirat dengan Allah sebagai harta kekal bonus laba berlipat ganda.
Sampai disini ruangan mulai hangat, satu persatu mulai membuka kedok kelemahannya dalam menulis. Nyai membahasakannya sebagai mental block. Yakni kondisi dimana penulis mengalami kebuntuan karena sebab-sebab yang berikutnya dibahas juga oleh sang guru.
Untuk menularkan semangat pada teman-teman seangkatan, Nyai sengaja membuat gaduh di kelas, dengan bercerita pengalaman selama mengirim tulisan di salah satu media milik mentor. Mulai disuruh memangkas tulisan yang jumlahnya mirip rel kereta api, hingga 'kedodolan' Nyai yang dengan polosnya membalas email redaktur, karena hasil karya Nyai yang sudah di edit oleh redaksi, berasa nggak cetar menurut Nyai. Duh! Padahal hak editor memang menyunting isi tulisan, terserah dong, naskahnya mau dibikin pecel juga sah-sah aja. 'koplak' banget Nyai waktu itu..hehe.
Tapi tak mengapa, begitulah adanya. Nyai berharap dari sedikit pengalaman konyol itu, dapat memacu semuanya untuk tak takut memahat aksara, mengirimkan dengan segala bentukannya. Mengalami gagal dan penolakan adalah hal biasa. Anggap saja jurus jitu ala Nyai. Hihi
Bisa dibilang, kelas pertama kemaren adalah Writing Energy. Yakni, segala hal yang menjadi kekuatan dalam menulis, mulai dari ide, mengalahkan mood, menyusun kalimat yang cemerlang, mengatur waktu, sehingga dapat mengatasi mental block. Wah, banyak juga amunisi untuk sekedar menulis.
Tapi Nyai suka menjadi penulis, sebab satu-satunya profesi yang tidak membuat ditertawakan walau tidak menghasilkan uang. Betul bukan? Hehe. Tapi karena disini Nyai dibina menjadi penulis Islam, maka boleh kutipan ini menjadi pesan:
_Setiap orang yang secara serius hendak menggeluti bidang ilmu apapun hendaknya mengetahui bahwa di atas pintu gerbang menuju bait ilmu, ada tertulis "engkau harus memiliki iman"_
Disinilah yang menjadi pembeda, apakah tulisan kita memiliki ruh atau sekedar tulisan viral menyesatkan.
Menulis itu mudah, tinggal tulis aja apa yang disuka. nggak peduli bagus atau tidak dalam berbahasa yang penting jadi naskah, sudah bisa dikatakan penulis, sebab menulis artinya ya merangkai kata. Selesai.
Berbeda kalau ingin terjun sebagai penulis profesional, artinya harus siap dengan standar penulisan. Tujuannya agar diterima masyarakat dan bisa bermanfaat. Banyak penulis tapi bukan kategori tulisan berfaedah. Seperti yang kita lihat di medsos, mulai hoax, fitnah, ujaran kebencian, hingga sindiran.
Penulis profesional sendiri berarti orang yang menggunakan tulisannya sebagai profesi. Dia mencari uang dengan mengandalkan tulisan. Ini yang diharapkan, bisa hidup cuma modal nulis doang. Hehe.
Yang jelas, pemaparan cikgu Hasni semalam tak boleh disia-siakan. Sebab, berbagai artikel tentang kepenulisan dituangkan dalam loyang besar untuk disantap bersama. Tinggal mau baca atau dibiarkan begitu saja. Nyai jelas melahap semua karya dari masta. Hingga akhirnya terperah menjadi ide menulis juga. Keren bangetkan!
Terkait seni menggali ide, Nyai menyusun beberapa amunisi. Diantaranya, tulis saja hal yang ringan-ringan untuk melemaskan jari sebelum naik kasta nulis opini. Jadi, kalau misalkan idenya mentok disitu yaudah berhenti aja. Ibarat nabrak tembok nggak usah ditungguin, malah bikin stress. Yang penting kumpulkan, walau sekecil apapun, nanti jiwamu bakal berontak untuk mengeksekusi dengan sendirinya. sebab ide itu seperti nyamuk, nempel sangat dekat, tapi begitu dikibas langsung minggat.
Hmm...terus bagaimana agar ide membludak ya? Sejauh apa yang sudah Nyai baca, akhirnya punya kesimpulan yang bisa kalian simak. Perhatikan baik-baik ya.
1. Baca baca baca
Semakin banyak membaca semakin kaya informasi tulisan kita.
"Saya suka nulis, tapi cuma mau baca buku tertentu"
Ya berarti siap siap _stuck_ karena informasi dalam otak sudah keluar semua.
Bagi penulis, membaca dan menulis adalah napas. Membaca adalah bagian menarik napas, dan menulis saat kita mengeluarkan napas. Gimana mau ngeluarin napas kalau kita nggak pernah ambil napas? Lama lama paru paru bakal kering. Tumbang deh jadi penulis.
2. Cari sumber informasi yang banyak
Tidak hanya dari membaca novel, bisa melalui film, lagu, lukisan, ilustrasi, komik, kartun, bahkan hasil fotografi. Setiap hasil seni berasal dari pemikiran mendalam Sang kreator. Demikian juga menulis.
Nyai penikmat musik klasik, orchestra, dan akustik. Sumur idenya kebanyakan dari sini. Jadi Nyai mengambil contoh alunan *Fur Elise* karya tersebut tercipta karena sang kreator patah hati. Ealah patah hati aja jadi duit dan dipajang sebagai maha karya yang indah. Tampil di gedung-gedung Opera. Semoga tulisan Nyai bisa membahana kayak JK Rowling yang cetakannya sudah lebih dari 30 juta.
3. Peka dan empati terhadap lingkungan bisa menjadi karya unik
Tak jarang dengan melihat sekelumit masalah dari teman, tetangga dan keluarga. Disana kita belajar memahami dan berempati, tanpa disadari kita menggali ide untuk memberi solusi. Iya apa iya? Ujung-ujungnya jadi karya literasi.
4. Belajar Dari Senior
Untuk itulah gunanya Nyai berada dikelas opini. Belajar dengan pola yang benar dari suhu yang sudah menikmati asam garam dunia literasi.
Sekarang, saatnya mengantisipasi mental block sebelum bersiap masuk ke step menulis opini. Nah kira-kira apa saja penghalang dalam menulis? Nyai mencoba merangkum dari apa yang Nyai pahami. Cekidot ya!
*1. Males.*
Ini penyakit nomer Wahid di muka bumi. Nggak ada obatnya. Kalau sudah dilanda mager, susah diapa apain. Jangankan nulis, napas aja males. Nanti kalau pas ditagih, isinya berjuta alasan. Hayo ngaku! Wkwkwk.
*2. Takut.*
Takut yang berlebihan sampai khawatir dikomentari orang. Padahal kita diam aja juga pasti ada aja kan yang komentar? Mending berbuat daripada diam ditempat. Justru komentar orang ini kita jadikan pelecut untuk menguatkan mental. Kalau belum berbuat sudah merasa nggak kuat, mending pulang aja deh, balikin dulu mentalnya. wkwkwk
*3. kurang Riset.*
Yang namanya menulis apa aja itu pasti butuh riset. Contoh mau nulis tentang Alaska, tapi pengetahuannya sebatas Alaska itu bersalju. Akhirnya yang ditulis ya muter muter disitu melulu. Boring kan? Mutung akhirnya.wkwkwk
*4. Otaknya Kering*
Sebab nggak pernah diisi dengan bacaan bacaan bermutu, dan tidak upgrade dengan dunia kepenulisan. Jadinya stagnan. Nah, salah satu upgrading Itu dengan mengikuti kelas-kelas menulis seperti di WCWH ini.
Nah, agar terhindar dari mental block, kita harus rajin nulis, walau cuma satu kalimat, rajin membaca buku, jangan memasukkan hal negatif pada pikiran, sesekali Nyai juga nulis di kertas ( doddle, mewarnai, menggambar), dan terus berada di lingkaran orang orang yang suka menulis.
Yang terakhir, Menulislah karena panggilan hidup.
Level tertinggi dari tujuan menulis adalah karena panggilan hidup. Artinya, orang menulis karena baginya menulis merupakan jalan untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Menulis merupakan salah satu cara baginya untuk memberikan perubahan ke arah yang lebih baik bagi orang banyak. Tanpa menulis, bagaimana mungkin ide/pikiran yang ada di kepalanya bisa disebar dengan cepat dan bisa dinikmati oleh ribuan bahkan jutaan manusia. Gagasan yang disampaikan melalui lisan memiliki keterbatasan, tetapi melalui tulisan akan lebih efektif, praktis dan ekonomis.
Menulis karena panggilan hidup mempunyai makna yang sangat tinggi, karena tujuan menulis bukan hanya sekedar mencari ketenaran, mencari uang atau urusan duniawi semata, melainkan lebih mengarah spiritual, yaitu menulis demi berjuang untuk kebaikan umat manusia. Jika sudah sampai pada level ini, maka menulis menjadi pekerjaan yang menyenangkan karena dilakukan dengan hati yang ikhlas demi kepentingan orang lain.
Pada hakikatnya, apapun tujuan kita menulis, sepanjang dilakukan dengan tujuan yang baik, Insya Allah akan menghasilkan kebaikan. Di mana pun kita berada, apapun atribut yang kita sandang tidak perlu dipermasalahkan, yang penting kita menulis sesuatu secara maksimal sesuai dengan apa yang menjadi kesukaan kita sambil terus menerus belajar dan memperbaiki kualitas tulisan kita sepanjang waktu. Mungkin cuplikan hadits berikut ini bisa menjadi bahan renungan kita, “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (H.r. Bukhari)
Dunia saat ini diliputi kemaksiatan, kepongahan dan lisan yang dibungkam serta dijegal, maka pena-penalah yang seharusnya berbicara. Mengambil peran untuk membela hak Allah SWT dan rasul-Nya. Untuk itu, jadikan pena sebagai senjata dan kata katalah pelurunya.
Hingga di masa depan, alam semesta boleh berkata: " kami saat ini berada dalam kenyamanan sejati, dalam ketaatan sepenuh hati, kami bersuka cita menikmati ketundukan di hadapan ayat ayat Al Qur'an yang kami jalani. Dan kau tau siapakah yang membuat kami bisa menikmati kelegaan ini? Merekalah.. para muslimah pemanggul pena yang mewujudkan hari ini"
Sebagai pesan terakhir, Nyai mengutip pesan sang guru, yakni "menulis merupakan aktivitas menjaring jariyah lewat aksara. Maka menulislah!"
Nah, sampai disini dulu ya. Jangan lupa, nantikan tulisan sehat ala Nyai di part berikutnya. Oiya, ini bukan kelas mantra! Yang dengan bergabung kamu langsung bisa nulis opini. Tapi, tetep kudu ada praktik dari setiap teori yang sudah dijabarkan cikgu Hasni. Nah, tulisan Nyai ini salah satu cara mengikat makna kulwa sebagai pemompa semangat dikala niat mulai cacat. So, katakan gudbay zona nyaman! Hehe.
#WCWHBatch15Meeting1
#WritingClassWithHas
Posting Komentar