Bullying, Kemana Kasih Sayang Berpaling?
Oleh : Rut Sri Wahyuningsih (Muslimah Penulis Sidoarjo)
Menjelang penerapan kurikulum merdeka dan merdeka belajar sebagaimana yang digagas oleh Mendikbud Nadiem Makarim, persoalan generasi justru makin mencuat. KPAI melaporkan trend laporan perundungan (Bullying) terus meningkat. Dalam catatan KPAI kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan.
Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang lalu meninggal (Republika.co.id, 10/2/2020).
Pemicu bullying sangat banyak. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial dan lain-lain. Dampaknya pun tak kalah mengkhawatirkan, bahkan cenderung sadis dan manusiawi. Hilang kasih sayang, padahal rasa itu fitrah ada pada manusia. Nyata dan harus waspada, generasi kita sedang mengalami problem akut akibat sistem sekulerisme. Pemisahan pengaturan agama terhadap kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Maka bullying sebagai problem massif bangsa ini semestinya menyadarkan kegagalan pembangunan SDM dengan landasan sekularisme. Peningkatan prestasi akademik siswa di sekolah tidak menjadi jaminan kemampuan mereka mengatasi masalah pribadi dan interaksi dengan lingkungan.
Kurikulum Merdeka yang kental pemahaman sekuler kapitalis pun takkan bisa diharapkan. Malah akan semakin menjerumuskan generasi penerus bangsa ke dalam jurang materialisme. Mati hati nurani sebab yang ada hanya bagaimana agar berkuasa sehingga memiliki keistimewaan posisi dalam sebuah keluarga atau komunitas.
Terlebih generasi muda hari ini, lebih loyal kepada komunitas. Maka apapun yang mengganggu baik dari dalam maupun dari luar rentan bullying. Semangat mencari jati diri yang bergelora memang butuh disalurkan. Mirisnya, sekuler kapitalisme tak menyediakan ruang tumbuh kesadaran misi dan visi hidup didunia. Ketakwaan dan kepribadian Islami hanya sebagai pemanis ibadah individu. Belum menjadi hal yang penting bagi negara.
Berharap penyelesaian pada sistem kufur yang kita berada di dalamnya adalah hal yang mustahil. Sebab sistem hari ini sangat dipengaruhi oleh standar mereka yaitu manfaat. Bukan halal dan haram. Lantas bagaimana Islam menghilangkan maraknya bullying?
Yaitu dengan kebijakan sistemik negara (khilafah) yang membangun kepribadian utuh generasi melalui sistem pendidikan, penataan media dan pendidikan keluarga.
Allah berfirman dalam QS AT TIN:4 yang artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya".
Maka haram hukumnya mencela, menjadikan apa yang sudah diciptakan Allah sebagai bahan gurauan, pelecehan bahkan hingga bullying. Sistem pendidikan Islamlah kelak yang akan menempatkan akidah dan akhlak beriringan. Sehingga anak menjadi pribadi yang unggul, dan berkepribadian Islam. Dimana perilaku, tutur kata, dan pemikiran, semuanya berdasar Islam.
Islam, melalui Khilafah akan memberlakukan media sosial dan media publikasi lainnya untuk sesuai dengan syariat. Hal-hal yang keji dan mengancam maslahat umat akan dihilangkan. Negara akan berkolaborasi dengan keluarga sebagai institusi negara terkecil untuk bekerja sama menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan Rahmah. Dengan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat dibidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial dan keamanan mudah diakses oleh seluruh keluarga.
Maka, hari ini mau tidak mau kaum muslim harus bekerja sama mewujudkan tegaknya khilafah, sebab ia bagian dari ajaran Islam dan satu-satunya yang sevisi dengan syariat penghilang bullying. Lagipula, pemimpin yang baik adalah sebagaimana yang Rasul sudah menjelaskan :
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Wallahu a'lam Bish Showab.
Posting Komentar