Corong-Corong Rezim
Oleh: Retno Sukmaningrum
Belum genap sepekan menjabat, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi membuat pernyataan kontroversional. Dia menuding ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingan pribadi dan menyebut musuh terbesar Pancasila adalah agama, bukan kesukuan.
“Si minoritas ingin melawan Pancasila dan mengklaim diri sebagai mayoritas. Ini berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” kata Yudian (12/2/2020).
Menyikapi pernyataan Yudian, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai seorang pejabat harus cermat dalam membuat pernyataan ke publik. Nashir menegaskan, secara subtansi, agama positif untuk Pancasila karena dalam Pancasila ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan itu diakui UUD 45 Pasal 29.
Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menilai Yudian membenturkan Pancasila dengan agama. Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu juga ikut berkomentar terkait kasus ini. Ia menganggap pernyataan itu menggiring pemahaman kalau umat beragama menjadi musuh Pancasila.
Hidayat Nur Wahid dalam akun twitternya menyatakan pernyataan radikal Ketua BPIP itu ahistoris dan irasional. Tak hanya kritik, MUI dan beberapa organisasi bahkan menuntut BPIP dibubarkan.
Sadar ucapannya menuai kontroversi, Yudian mengklarifikasi pernyataannya dan tidak bermaksud mempertentangkan antara agama dan Pancasila. Dia bakal menguatkan dukungan terhadap Pancasila melalui pendekatan agama (13/22020).
Alasannya, dukungan terhadap Pancasila terus menurun dalam 13 tahun terakhir. Merujuk pada survei LSI Denny JA pada 2018, publik yang pro-Pancasila mencapai 85,2 persen pada 2005. Pada 2010, angkanya menurun menjadi 81,7 persen. Kemudian pada 2015, angkanya menjadi 79,4 persen. Angka semakin menurun pada 2018 menjadi 75,3 persen.
Tapi bukan Yudian namanya kalau tidak menimbulkan gaduh kembali. Dia lantas mengimbau semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas kitab suci dalam berbangsa dan bernegara. Adapun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat.
Masih menurutnya, imbauan itu bukan berarti merendahkan agama. Sebab, kitab suci dan konstitusi merupakan perpaduan antara ilahi dan wadh’i yang diselesaikan dengan kesepakatan atau ijmak. Hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial politik bukanlah kitab suci, tapi adalah konsensus atau ijmak.
Yudian juga mengatakan, Pancasila merupakan anugerah terbesar Allah SWT kepada sejarah abad 20. Jika bangsa Indonesia tidak pandai bersyukur atas nikmat itu, negara akan hancur.
Sekulerisme Musuh Islam
Klarifikasi Yudian makin menggambarkan apa yang ada di dalam kepalanya selama ini. Sungguh merupakan kelancangan dan kecongkakan seorang hamba saat meletakkan agama –yang notabenenya merupakan risalah Allah Sang Pencipta– di bawah konstitusi.
Jika sedikit saja menggunakan akal sehatnya, seorang manusia akan tertuntun pada kesadaran akan fitrahnya sebagai makhluk yang terbatas. Rasa terbatas, lemah, dan kurang pada dirinya merupakan potensi yang akan mengantarkan manusia pada situasi di mana dia butuh dan bergantung pada Zat yang Mahahebat, yakni Allah SWT.
Di sisi yang lain, Allah SWT mengaruniai manusia dengan fitrah naluri beragama. Naluri ini cukup mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya sebagai “realitas yang hebat dan tak terbatas” itu.
Namun sayangnya, dua kenyataan di atas tidak otomotis membuat manusia mengenal Allah SWT dan tunduk patuh kepada-Nya. Hal tersebut terjadi karena mereka tak berpikir rasional, tidak menggunakan akalnya.
Justru mereka lebih tunduk kepada hawa nafsunya, yang mengantarkannya pada sikap pengingkaran total terhadap eksistensi sang Pencipta. Atau pengingkaran secara “setengah hati” terhadap eksistensi Tuhan.
Ini tergambar pada manusia yang berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak mengakui otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Yang dianggap punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri.
Sekularisme ini kemudian menjadi landasan ideologi Kapitalisme. Ideologi inilah sejatinya yang ada di mayoritas kepala petinggi negeri ini. Pancasila yang mereka gembar-gemborkan tak lebih untuk menutupi topeng buruk ideologi sekuler mereka.
Secara umum, ideologi (Arab: mabda’) adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya (M. Muhammad Ismail, 1958).
Dari definisi tersebut, jelas bahwa yang menjadi ideologi rezim adalah sekulerisme, bukan Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai semata, belum menjadi pemikiran dasar. Wajar jika hari ini rezim kelojotan dengan pemikiran-pemikiran Islam yang menyebar di kalangan umat melalui dakwah Islam.
Mengapa? Karena pemikiran yang sebanding untuk melawan ide kapitalisme sekuler hanyalah Islam dan sosialisme. Sosialisme telah tumbang, tak perlu diperhitungkan. Justru hari ini Islam yang makin menggeliat hebat, baik di Indonesia maupun dunia.
Kapitalis sekuler dunia tidak akan bakal diam melihat geliat ini. Genderang perang permusuhan mereka tabuhkan ke seluruh dunia termasuk ke negeri-negeri kaum muslimin. Perang terhadap agama Islam ini berjalan simultan pada dua sasaran, yakni terhadap institusi keislaman dan umatnya.
Para Corong Rezim
Ironisnya, sebagian pemeluk agama Islam malah ikut melemahkan agamanya baik dalam hal mengacaukan pemikiran keislaman maupun ikut menghancurkan kekuatan umat Islam sendiri. Bahkan mereka menjadi corong musuh Islam dengan membantu musuh Islam melalui cara tidak langsung, samar.
Seperti menyebut tidak ada serangan pada agama Islam, bahwa pertikaian pemikiran itu adalah hikmah dan penyerangan fisik-militer seperti kejadian di negeri-negeri muslim yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dan qadarullah, di satu titik akhirnya secara jelas mereka menyatakan “memusuhi ISLAM”.
Kita tak dapat menduga secara pasti, apa penyebab seorang ilmuwan bahkan ulama sanggup menjadi musuh Islam. Yang jelas, program deradikalisasi itu mendapatkan dana besar dari Barat. Entah sudah miliar atau triliun yang telah mereka gelontorkan untuk proyek besar ‘membunuh Islam’ ini.
Kekuatan uang ini bahkan laksana sihir yang mampu mengubah iman seseorang di pagi hari, menjadi kafir di sore hari. Mengubah para pembela Islam menjadi musuh Islam. Mereka gambarkan begitu buruk dan menakutkannya Islam hingga masuk di ruang-ruang masjid melalui kebijakan yang mereka buat.
Misalnya, salah satu kebijakan yang akan mereka luncurkan adalah terkait sertifikasi khatib. Mereka katakan perlu ada sertifikasi khatib yang dikeluarkan Ikatan Khatib DMI (Dewan Masjid Indonesia). Ceramah agama yang disampaikan para khatib di setiap ibadah shalat Jumat harus memuat nilai-nilai Pancasila dan prinsip NKRI.
Mereka katakan bahwa sistem Khilafah yang menerapkan Islam sebagai ideologi bernegara, secara otomatis akan tertolak di Indonesia, karena negara Indonesia sudah menyepakati Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Ajaran moderasi Islam-lah yang mereka usung, demi membentuk profiling khatib sebagai figur moderat yang menjaga toleransi, baik kepada sesama umat Islam maupun umat agama lain. Bukan lagi penjaga Islam kafah yang semestinya dilekatkan pada diri muslim.
Ketundukan Itu pada Syariat Allah
Bumi yang kita injak, udara yang kita hirup, seluruhnya milik Allah yang dengan rahmat-Nya Allah karuniakan pada manusia. Tidak ada satu pun di dunia ini menjadi milik manusia, kalau bukan karena izin-Nya.
Dengan karunia-Nya berupa akal pula, manusia diberi wewenang untuk mengurusi bumi sesuai dengan syariat-Nya. Syariat (aturan) Allah tersebut telah terangkum dengan sempurnan dalam Alquran dan Sunah.
Di dalam Alquran sendiri tidak akan ditemukan adanya pertentangan antarsatu ayat dengan ayat lain, atau antarsatu aturan dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa.
Kesempurnaan aturan Islam sudah ditegaskan Allah dalam QS Al-Maidah ayat 3. Bagian dari ayat itu memiliki redaksi yang berbunyi: “al-yawma akmaltu lakum dînakum” (pada hari ini bagi kalian telah Kusempurnakan agama kalian).
Dengan kesempurnaannya, Islam sebagai tuntunan cara hidup (‘way of life’) haruslah dipatuhi secara keseluruhan (kafah), tidak sepotong-sepotong, supaya hidup manusia berhasil dunia akhirat. Cara hidup Islami memang khas, berbeda dengan cara hidup penganut keyakinan yang bukan berasal dari Islam. Cara hidup Islami acuannya juga jelas yakni Alquran dan Sunah Nabi Muhammad SAW.
Islam tidak hanya memandu cara hidup terkait masalah ibadah ritual (‘mahdhah’) seperti salat, puasa, atau doa saja, namun juga memberi tuntunan bagaimana mengurus keluarga, mengelola masyarakat, bangsa, dan negara.
Oleh karena itu, ketaatan pada hukum Allah SWT adalah refleksi akidah yang lurus pada seorang Muslim. Ia tidak akan menjadikan syariat Islam sebagai perkara yang boleh dipilih sesuka hati. Ia memahami bahwa memilih hanya syariat Islam adalah kewajiban.
Ia pun akan menjauhkan diri dari sikap sombong dan meremehkan hukum-hukum Allah. Tak mungkin ia membanggakan sistem demokrasi dan kapitalisme yang notabene lahir dari hawa nafsu manusia.
Tak mungkin pula seorang muslim mengatakan syariat berada di bawah konstitusi manusia. Jika ia mengklaim berakidah Islam, maka tak ada hukum atau aturan yang wajib ia laksanakan selain aturan-aturan Allah SWT atau syariat Islam.
Cukuplah menjadi pengingat bagi kita, apa yang disampaikan Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi dalam Syarh Aqidah Thahawiyah (2/267): “Sungguh jika seseorang meyakini bahwa hukum yang Allah turunkan tidak wajib, bahwa boleh dipilih, atau ia merendahkannya, padahal ia meyakini itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kekufuran yang besar.” [MNews]
______
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar