ERA DISRUPSI : PELUANG ATAU ANCAMAN?
Oleh : Zahida Arrosyida
Dunia tempat kita berpijak hari ini tengah mengalami perubahan yang sangat spektakuler.
Zaman sekarang disebut era disrupsi. Revolusi Industri 4.0 mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengertian disrupsi adalah hal tercabut dari akarnya. Atau dapat diartikan perubahan yang mendasar atau fundamental.
Secara praktis disrupsi adalah perubahan berbagai sektor akibat digitalisasi dan "Internet of Thing"(IoT) atau "Internet untuk Segala".
Contoh disrupsi adalah media cetak menjadi media online atau situs berita, ojek pangkalan menjadi ojek online, taksi argo menjadi taksi online, mall atau pasar menjadi marketplace atau toko online (e-commerce) dan digitalisasi lainnya dalam semua aspek kehidupan seperti aspek pendidikan, politik dan lain-lain.
Dalam teori bisnis dikenal istilah "inovasi disruptif" yaitu inovasi yang menciptakan pasar baru dan jaringan nilai yang akhirnya mengganggu pasar dan jaringan nilai yang ada, menggantikan perusahaan, produk, dan aliansi terkemuka di pasar yang sudah mapan. (Wikipedia).
Disrupsi merupakan sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disrupsi menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien dan juga lebih bermanfaat.
Clayton Christensen, Professor di Harvard Bussiness School mengatakan, "Disruption menggantikan 'pasar lama' industri dan teknologi yang menghasilkan suatu pembaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan kreatif!"
Beginilah fenomena era disrupsi dalam sistem kapitalis sekuler. Kecanggihan dan kemajuan teknologi dapat menghantarkan menjadi hal yang melahirkan kreatifitas sekaligus bersifat destruktif. Bisnis yang tidak mampu beradaptasi dengan era ini akan redup, kolaps bahkan bangkrut sehingga melakukan PHK terhadap para karyawan.
Setahun terakhir ini pemutusan hubungan kerja (PHK) di dunia usaha semakin masif. Baik perusahaan baja manufaktur hingga telekomunikasi. Bahkan Startup yang sudah menjadi Unicorn pun tak luput dari badai PHK ini.
Seperti yang terjadi pada PT Indosat yang melakukan PHK terhadap 677 karyawan. Bukalapak juga melakukan PHK dengan alasan menata diri secara terbatas. Sementara Net TV melakukan PHK dengan alasan efisiensi.
Krakatau Steel sejak 1 Juni 2019 merumahkan 300 karyawan outsource. Dan akan terus berlanjut hingga Juli dengan merumahkan 800 karyawan. Angka itu belum termasuk karyawan organik di BUMN baja tersebut.
PHK massal juga terjadi di Batam, kepulauan Riau. Sebanyak 2500 orang terpaksa kehilangan pekerjaan akibat PHK karena tutupnya dua pabrik. Dinas tenaga kerja kota Batam Rudi Sakyakirti mengatakan dua pabrik itu ialah PT Foster Electronic Indonesia dan PT Unisem Batam.
Saat ini Indonesia sudah mulai menggarap konsep revolusi industri 4 kosong secara serius. Terlihat mempesona dan bergengsi namun tanpa disadari perubahan yang dibawa oleh revolusi industri 40 ini sangat besar.
PHK massal sebenarnya sudah dapat diprediksi sebagai dampak dari era disrupsi dan tren digitalisasi namun pemerintah tidak antisipasif terhadap hal ini.
Ironis, era yang diharap mampu mensejahterakan rakyat malah menjadi ancaman untuk rakyat. Rakyat kembali menjadi korban rezim yang mengadopsi tren global dengan tangan kosong tanpa persiapan konsep yang gamblang.
Kegagapan pemerintah dalam merespon era disrupsi sesungguhnya telah mengkonfirmasi betapa rapuhnya sistem politik dan ekonomi yang diterapkan di negeri ini.
Pemerintah dalam memberikan solusi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat selalu mengembalikan kepada satu aspek yaitu aspek individu. Misalnya ketika cabe mahal direspon dengan tanamlah cabe dihalaman sendiri, ketika daging mahal gantilah dengan daging bekicot, ketika beras mahal solusinya adalah diet. Sungguh ini adalah bentuk solusi yang meniadakan sikap seorang negarawan, yang menunjukkan lemahnya rasa tanggung jawab seorang pengurus masyarakat terhadap urusan rakyat.
Termasuk dalam hal pengangguran. Masyarakat terlanjur menganggap tingginya angka pengangguran karena problem individu saja. Seperti rendahnya kualitas SDM, skill yang tidak mumpuni, pendidikan yang rendah, rasa malas, cacat fisik dan lain-lain. Padahal hal itu tidak semata problem individu namun hakekatnya problem sistem ekonomi yang diterapkan negara.
Misalnya serapan tenaga kerja yang lesu akibat tidak seimbangnya jumlah tenaga kerja dan lapangan kerja, pengembangan sektor ekonomi financial assets, hingga banyaknya tenaga kerja wanita. Semua problem sistem ekonomi tersebut terjadi karena kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat. Negara hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan ekonomi.
Saat ini cara yang paling umum untuk melihat keberhasilan atau kegagalan perekonomian sebuah negara cara adalah menggunakan indikator makro ekonomi yaitu; pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi angka pengangguran dan kestabilan nilai tukar mata uang )Todaro, 2003). Akibat kebijakan yang keliru di bidang politik dan ekonomi, Indonesia menghadapi berbagai persoalan ekonomi serius. Salah satunya adalah tingkat pengangguran. Berbagai kebijakan dan langkah pemerintah tidak mampu mendorong iklim investasi yang sehat di sektor riil sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru. Sebaliknya pemerintah justru lebih berpihak dan mendorong tumbuhnya sektor non riil seperti sektor perbankan dan keuangan ribawi yang justru berakibat pada masuknya Indonesia pada perangkat krisis moneter yang berlanjut pada krisis ekonomi. Akibatnya pemutusan hubungan kerja adalah hal yang tidak terelakkan.
Jika dicermati pada dasarnya akar masalah pengangguran ada dua:
1) Pemerintah mengabaikan penciptaan lapangan kerja, pendidikan rakyat dengan keterampilan dan penyediaan jaminan sosial terutama pendidikan dan kesehatan.
2) Eksploitasi buruh oleh sistem kapitalis dengan gaji murah. Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini tugas negara lebih pada fungsi regulasi. Karenanya sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak. Jika ia terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi.
Untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan politik ekonomi Islam menetapkan diantaranya:
1) Negara wajib mencerdaskan rakyat dalam menciptakan lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan sesuai pendidikan dan skillnya.
Rasulullah bersabda "Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan-urusan (rakyatnya); ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Suatu ketika Amirul Mukminin Umar Bin Khattab memasuki sebuah masjid diluar waktu salat 5 waktu. Di depannya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah Swt adalah bertanya; "Apa yang sedang kalian kerjakan sedangkan orang-orang yang sedang sibuk bekerja?"
Mereka menjawab ; " Ya Amirul mukminin Kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah,"
Mendengar jawaban tersebut marahlah Umar ra seraya berkata; "Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.
Kemudian Umar mengusir mereka dari masjid seraya memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau berkata kepada mereka; " tanaman ini dan bertawakallah kepada Allah."
2) Negara juga memiliki proyek-proyek pengelolaan kepemilikan umum antara lain sumber daya alam yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan menjalankan strategi terkoordinasi antara sistem pendidikan dengan potensi ekonomi di berbagai area.
Mekanisme yang demikianlah yang membuat serapan lulusan pendidikan akan sejalan dengan kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan korporasi.
3) Terkait akses modal, negara melalui sistem keuangan Baitul Mal akan turun tangan langsung memberi bantuan modal tanpa riba atau bahkan hibah kepada individu usia produktif. Sehingga individu tersebut memiliki akses ke pergerakan ekonomi.
Diantara faktor penting bagi ekonomi untuk tumbuh adalah ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan pasar domestik yang cukup besar. Melihat kondisi ini dunia Islam memiliki angkatan kerja usia produktif 15-50 tahun. Untuk mendorong ekspansi ekonomi, mendapatkan produksi biaya rendah dan mendapatkan keunggulan kompetitif di pasar, salah satu faktor penting adalah adanya tenaga kerja produksi yang melimpah. Pada hari ini masyarakat Eropa cemas karena sebagian besar negara anggota Uni Eropa melihat penurunan populasi akibat laju pertumbuhan populasi yang negatif. Mereka juga akan memiliki masalah penuaan penduduk seperti di Jepang. Ide kompetensi biaya produksi telah menyoroti pentingnya outsourcing buruh yang murah oleh negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Ini jelas menyoroti peran tenaga kerja dalam pembangunan ekonomi. Selain itu masuknya imigrasi di Amerika Serikat Australia dan negara-negara Eropa juga menyoroti bagaimana putus asanya negara-negara tersebut untuk menjaga agar tersedianya jumlah tenaga kerja cukup besar bagi kebutuhan produksi Industri.
Selain menetapkan politik ekonomi untuk mengantisipasi masalah pengangguran, Islam juga memandang bahwa kemajuan teknologi merupakan peluang besar untuk menjadikan negara akan memiliki industri maju. Teknologi akan digunakan untuk mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi terpenting yaitu bidang pertanian, perdagangan, jasa dan industri. Dalam hal ini sistem ekonomi Islam memiliki konsep terkait kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan hak milik serta distribusi kekayaan bagi setiap warga negara.
Kemajuan teknologi, berkembang pesatnya media internet, digitalisasi dalam semua ranah kehidupan bukanlah ukuran maju mundurnya suatu negara, bangkit tidaknya suatu masyarakat. Sesungguhnya yang menentukan kebangkitan suatu peradaban adalah konsep pemikiran ideologis yang dianut dan sistem aturan yang diterapkan negeri tersebut.
Inilah keunggulan politik ekonomi Islam dalam mengelola urusan kesejahteraan rakyat. Islam memandang bahwa kemajuan teknologi, tingginya jumlah populasi penduduk dan besarnya jumlah angkatan kerja bukanlah ancaman di era disrupsi yang akan membebani negara dan menggilas kehidupan ekonomi rakyat.
Islam justru memandang hal tersebut sebagai peluang emas untuk mempercepat proses revolusi ekonomi menuju negara adidaya yang sejahtera dan mengemban tugas sebagai penyebar risalah Islam di muka bumi.
Negara Khilafah saat kembalinya nanti akan mengambil kontrol penuh atas alam dan ekonomi sumberdayanya, diikuti dengan kebijakan politik pertahanan yang berbasis pada industri berat, ketersediaan tenaga kerja yang unggul dan memiliki bagian global yang sangat besar pada ekonomi dunia, dengan sistem politik ekonominya yang siap menghadapi berbagai tantangan zaman.
Insyaa Allah
Posting Komentar