Istilah kufur nikmat mendadak banyak diperbincangkan dan dibahas, terutama dalam media sosial. Ramainya perbincangan ini sebagai reaksi terhadap ungkapan presiden yang melarang kita kufur nikmat.
Soal kufur nikmat ini disampaikan Jokowi menyangkut laju pertumbuhan ekonomi kita yang 5,02% pada tahun lalu. Itu angka terendah dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya pada 2018 sebesar 5,17% dan tahun 2017 sebesar 5,07%.
Di antara media yang memberitakan pernyataan kontroversial tersebut adalah cnbcindonesia.com: “Alhamdulillah, ini patut kita syukuri bahwa pertumbuhan ekonomi masih di atas 5%, 5,02%. Patut kita syukuri. Yang lain bukan turun, anjlok. Kita inikalau engga kita syukuri artinya kufur nikmat,” tegas Jokowi.
Pertanyaannya, apakah menyampaikan keluhan dan kritikan tanda kufur nikmat? Atau sebaliknya, kita harus bersyukur ketika mendapatkan kritik dan nasihat? Karena dengan nasihat itulah kita melakukan evaluasi, introspeksi, dan punya kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Kritik dan Masukan bukan Kufur Nikmat
Perbandingan merupakan perkara yang relatif, tergantung standar pembandingnya. Membandingkan capaian pertumbuhan ekonomi negeri ini dengan bangsa lain yang lebih kecil raihannya tentu saja akan menghasilkan kesimpulan bahwa negeri ini relatif lebih ‘baik’.
Namun jika pembandingnya diganti dengan angka pertumbuhan yang lebih besar, maka hasilnya bangsa inilah yang mengalami keterpurukan. Apalagi jika kita membandingkan dengan standar yang ideal, ukuran kesejahteraan dan kemajuan sebuah bangsa sesuai yang ditetapkan Islam, seperti terpenuhinya kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan perumahan) setiap individu rakyat secara layak; adanya jaminan dari negara bagi terpenuhinya kebutuhan kesehatan, keamanan, dan pendidikan seluruh warga negaranya; juga terjaganya kedaulatan dan kemandirian negara sebagai bangsa yang berdaulat tanpa intervensi asing, maka sungguh negeri ini sangat jauh dari posisi sejahtera rakyatnya.
Juga sulit membuktikan sebagai negara yang mandiri dan bebas dari campur tangan pihak lain. Angka kemiskinan yang terus meningkat, jumlah penderita gizi buruk yang kian membesar, kenaikan iuran BPJS, penjualan aset negara dan harta milik umum kepada asing sekian fakta yang menguatkan bahwa negeri sedang dikepung berbagai masalah.
Tuduhan “kufur nikmat” bagi siapa saja yang mempermasalahkan capaian kinerja pemerintahan saat ini boleh jadi upaya untuk memandulkan sikap kritis rakyat. Merupakan cara untuk menghentikan evaluasi dan nasihat sehingga borok-borok kegagalannya tetap tertutupi, dan yang nampak di permukaan hanyalah keberhasilan semu.
Pemimpin Islam Tidak Alergi terhadap Kritikan dan Masukan
Sebenarnya tidak aneh jika ada orang yang mempermasalahkan capaian kinerja pemerintahan sekarang. Wajar juga jika muncul kritikan terhadap kondisi kehidupan kini yang dirasakan semakin sulit. Salah satunya ditunjukkan oleh angka laju pertumbuhan ekonomi yang menurun dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya.
Bagi siapa pun yang peduli terhadap nasib bangsanya tentu saja tidak akan rela menyaksikan negerinya terus dalam kondisi terpuruk yang akan berujung pada kehancuran. Mereka tidak akan tinggal diam.
Pemahaman terhadap kondisi ideal yang semestinya diraih serta kesadaran tentang buruknya realitas yang sedang terjadi akan mendorongnya senantiasa melakukan kritikan dan tuntutan ke arah perubahan yang lebih baik, keluar dari kondisi buruk dan meninggalkan semua penyebabnya.
Sebaliknya, sikap diam dan tak acuh dengan keadaan bisa dipahami sebagai wujud ketidakpedulian terhadap masa depan bangsanya, tidak bertanggung jawab, pura-pura tidak tahu, atau boleh jadi gambaran kebodohan yang luar biasa.
Mereka tidak mengerti standar kebaikan yang harus dicapai. Ujung-ujungnya, tetap tidak bergeming dengan nasib yang dialami. Bahkan sekalipun seluruh haknya telah dirampas dan berbagai kezaliman terus ditimpakan, mereka tidak berani melawan. Inilah kondisi yang membahayakan.
Jadi, bagi seorang pemimpin Islam banyaknya kritikan dan masukan tidak akan dicap sebagai “kufur nikmat”, justru semestinya dihadapi dengan penuh syukur. Bahwa masih ada orang yang peduli. Ada orang yang memperhatikan tegaknya kebenaran dan keadilan. Kehadiran mereka akan membantunya menjalankan amanah dengan benar. Kalaupun pernah terjadi kesalahan maka tidak akan dibiarkan berlarut-larut.
Pemimpin yang baik akan senang dengan nasihat dan kritikan. Bahkan kedatangannya sangat diharapkan demi menjaga amanah terlaksana secara sempurna. Sebuah hadis Rasulullah Saw menjelaskan terkait pentingnya nasihat:
عَنْ تَمِيْمٍ الدَّارِىِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ. (رواه مسلم)
Dari Tamim Ad-Dari, bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Agama itu nasihat.”Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?” Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, serta imam-imam kaum muslim dan rakyatnya.” (HR Muslim).
Kebutuhan pemimpin Islam terhadap nasihat ditunjukkan Umar bin Khaththab dalam salah satu poin pidatonya di awal pengangkatan beliau sebagai Khalifah kaum muslimin, beliau mempersilakan rakyatnya untuk menyampaikan nasihat dan masukan.
Allah SWT juga menyampaikan pertanyaan retorik untuk membandingkan antara orang yang peka terhadap nasihat kebenaran berupa ajaran Islam dengan orang yang hatinya keras dan tidak mau menerima nasihat yang akan menjerumuskannya pada kesesatan:
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allâh hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya keras)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allâh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS az-Zumar [39]: 22)
Mengingat Allah Kunci untuk Bersyukur, Ketaatan Total Wujud Rasa Syukur
Bersyukur atas nikmat yang diberikan merupakan salah satu kewajiban seorang mukmin, sementara kufur nikmat adalah perkara yang diharamkan. Banyak dalil yang membahas terkait kewajiban bersyukur, di antaranya adalah firman Allah SWT:
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan kalian memaklumatkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (TQS Ibrahim ayat 7). “Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu, bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan kufur (dari nikmat-Ku).”(TQS Al Baqarah ayat 152)
Senantiasa mensyukuri atas karunia yang dilimpahkan Allah SWT tidaklah mudah. Perlu dorongan dan kesadaran kuat untuk membiasakannya. Dalam nasihatnya kepada Muadz bin Jabal Rosulullah memberikan contoh kepada kita agar senantiasa memohon pertolongan kepada Allah agar senantiasa mengingat-Nya, selalu bersyukur, dan memperbaiki ibadah:
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ : اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Aku pesankan kepadamu wahai Muadz, jangan pernah engkau tinggalkan di belakang setiap shalat membaca, Allaahumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, tolonglah aku untuk menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah yang baik untuk-Mu).” (HR Abu Dawud, Al-Nasai, dan Ahmad)
Senada dengan nasihat Nabi saw kepada Muadz, Nabi Sulaiman pun berdoa pada Allah supaya diberi ilham untuk beryukur atas nikmat dan dimudahkan dalam ketaatan yang akan mendatangkan keridaan Allah SWT:
“Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. (TQS. An-Naml: 19).
Hadis di atas juga doa Nabi Sulaiman as memberikan pelajaran bahwa orang yang mengingat Allah, menyebutkan nama-Nya, mengenal sifat-sifat-Nya, merasakan limpahan kenikmatan-Nya, maka dia akan mampu bersyukur. Sementara puncak dari wujud syukur adalah memperbaiki kualitas ibadah dan ketaatan sesuai dengan petunjuk syariat demi untuk meraih keridaan-Nya.
Bukti nyata syukur berupa ketaatan juga disampaikan Ibnu Qudamah rahimahullah,
“Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305). Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan tobat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.” (Al Fawa’id, hal. 124-125)
Lawan syukur nikmat adalah kufur nikmat. Penampakan kufur nikmat bisa dalam bentuk menggunakan kenikmatan yang telah Allah berikan pada jalan yang tidak diridai Allah dan enggan mengucapkan Alhamdulillah, demikianlah pendapat Imam Al Ghazali.
Alhasil, umat harus waspada terhadap penggunaan istilah agama yang disampaikan dengan makna yang tidak sesuai, di antaranya tuduhan “kufur nikmat”.
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita semua agar memiliki pemahaman yang benar sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, menjadi orang yang bersyukur, dan tidak masuk ke dalam jebakan para pembenci Islam. Aamiin. Wallahu a’lam. [MNews]
________
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar