Jangan Tanggalkan Jilbabmu, Sis!
#BuletinTemanSurga
Dear, kalo disuruh milih kamu mau pilih mana, antara donat yang dijajakan di pinggir jalan nggak pake penutup, dengan donat yang dijual di toko dibungkus dan dimasukin etalase? Coba kita tebak ya, kamu pasti pillih donat yang di dalam etalase. Alasannya, juga udah jelas, karena lebih terjaga, higienis, aman. Nah, meski nggak sama-sama amat, ibaratnya seorang muslimah ketika di luar rumah kalo diibaratkan donat, maka seharusnya memilih kayak donat yang dibungkus di dalam toko, dan ditaruh di etalase
Kenapa? Selain itu logis dan bisa diterima akal sehat, karena memang ternyata Islam itu sangat ngelindungin wanita muslimah. Buktinya dalam soal berpakaian (di luar rumah) saja diatur dengan mewajibkan pakaian khusus, berupa jilbab dan kerudung. Ehh…. lha koq miris banget, sampe ada seorang muslim or muslimah bikin pernyataan jilbab nggak wajib bagi muslimah. Duh cilaka tenan iki!
Jilbab Wajib Bagi Muslimah!
Biar man-teman nggak termakan ocehan liberal yang menyatakan jilbab nggak wajib bagi muslimah, maka kita kudu tahu landasan disyariatkannya jilbab untuk menutupi aurat muslimah. Sementara batasan aurat perempuan berdasarkan pada firman Allah Ta’ala dalam Surat An-Nur 31, “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka…”
Menurut Ibnu Abbas ra. yang dimaksud dengan frasa illa maa zhahara minha dalam ayat tersebut adalah muka dan telapak tangan. Hal ini dipertegas berdasarkan pada hadis Nabi Saw.: Dari ‘Aisyah ra. bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah Saw. dengan memakai pakaian yang tipis. Rasulullah Saw. pun berpaling dari dia dan bersabda, “Asma’, sungguh seorang wanita itu, jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangan beliau.” (HR. Abu Dawud).
Dari dalil-dalil tersebut jelas aurat perempuan adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Nggak bener kalo ada yang bilang aurat nggak wajib ditutup, karena nggak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mu’tabar tentang kewajiban memakai jilbab dan khimar bagi Muslimah yang sudah baligh. Sebagaimana Allah sampaikan dalam Surat Al-Ahzab: 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Penjelasan di dalam Kamus Al-Muhith, kalo jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yaitu baju atau pakaian longgar buat perempuan selain baju kesehariannya, baju mihnah. Sedangkan dalam Kamus Ash-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung/gamis).”
Itu tadi, penjelasan tentang jilbab alias bajunya, sementara selain harus pake baju jilbab, maka untuk penutup kepala hingga dada, muslimah wajib pake khimar (kerudung). Hal tersebut juga ada landasan dalilnya, dalam Al-Qur’an Surat An-Nur 31:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.”
Salah satu mufasir, Imam Ali ash-Shabuni, menyatakan kalo khimar (kerudung) adalah ghitha’ ar-ra’si ‘ala sudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dada tidak tampak. Sehingga, jelas bin gamblang, kalo jilbab dan khimar (kerudung) merupakan pakaian syar’i bagi Muslimah utamanya ketika keluar rumah atau bertemu dengan lelaki ajnabiyah (asing). Indikasi kewajiban jilbab ini makin kuat, ketika seorang muslimah nggak memiliki, maka sesama Muslimah harus meminjamkan jilbabnya. Ada hadis yang meriwayatkan hal tersebut, dari Imam Bukhari dan Imam Muslim:
“Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkah dia keluar)?” Lalu Rasul Saw. bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”
Hadits di atas disampaikan oleh Rasulullah, ketika para wanita disunnahkan untuk pergi keluar rumah untuk sholat dan merayakan hari raya idul fitri. Tapi ada beberapa wanita saat itu belum banyak memiliki jilbab, maka Rasulullah memerintahkan sesama muslimah untuk meminjaminya. Jadi, kalo seandainya jilbab itu nggak wajib bagi muslimah, tentu Rasulullah nggak meminta mereka keluar rumah tanpa jilbab. Sehingga dari sini jelas udah, kalo jilbab dan khimar wajib bagi wanita muslimah.
Berjilbab Karena Iman
Kenapa sih kita harus berjilbab karena iman? Ya, sama dengan perintah ataupun larangan (syariat) dari Allah yang lain, kalo nggak kita yakini dengan keimanan, nanti kalo ada kampanye liberal ngajakin lepas jilbab, maka bisa jadi bakal disambutnya dengan suka cita. Tapi kalo kita pake jilbabnya karena dorongan keimanan, bakalan kekeuh berjilbab, walau apapun dan siapapun penghalangnya.
Just info aja, pada saat tulisan ini dibikin, ramai di linimasa Komunitas Hijrah Indonesia dalam lama facebooknya menggelar apa yang mereka sebut sebagai ‘No Hijab Day’, dirayakan setiap 1 Februari. Berdasarkan flyer digital yang beredar, dasar perayannya mereka adalah mensupport apa yang sudah diinisiasi oleh Yasmine Mohammad (YM). Siapa YM? Singkatnya, dia adalah aktivis liberal human rights. Aksi ini diduga sebagai aksi kontra World Hijab Day yang diperingati pada 1 Februari.
Nah, makanya bagi yang berjilbab atau berhijabnya nggak kuat-kuat amat alasannya, maka dengan adanya isu atau kampanye kayak di atas, bisa jadi batu ujian yang berat. Untuk itu, sekali lagi dorongan kita berjilbab haruslah karena iman, karena meyakini ini perintah Allah, dzat yang menciptakan kita, dzat yang memiliki surga-neraka, yang kelak akan meghizab kita di yaumul akhir.
Dear Sis, jangan berjilbab hanya sekedar ngikutin trend, sebab kalo ngikutin trend, nanti kalo trendnya berubah, bisa jadi cara berjilbab kita berubah, atau malah kita berubah nggak pake jilbab lagi. Maka bagi yang merasa awalnya berjilbab karena ngikutin trend, sebaiknya diluruskan niatnya dan coba memperdalam lagi pemahaman Islam, utamanya terkait dengan jilbab ini.
Jujur, kita masih ngeliat nggak sedikit Muslimah yang memutuskan untuk berjilbab karena faktor mode, fesyen. Akhirnya, muncullah fenonema ‘jilbab gaul’ atau ‘kerudung punuk onta’, ‘jilbab legging’, dll. Satu sisi, kita patut bersyukur ada kesadaran sebagian muslimah untuk menutup auratnya, cuman kalo dorongan atau motivasi berjilbab karena alasan mode, fesyen, maka bukan nggak mungkin kita lihat muslimah sudah berjilbab tapi tampilnya tabaruj, atau bahkan seksi binti ketat.
Sehingga, akhirnya terjadi semacam blunder. Iya, kita bahagia dan bangga sebagian muslimah sudah menutup auratnya, tapi di sisi yang lain, kadang muslimah yang hijabnya belum syar’i itu tadi dijadikan representasi atau ‘model’ hijab syar’i. Akibatnya, kalo ada orang-orang yang dalam hatinya ada “penyakit”, akan memanfaatkan atau menjadikan muslimah yang hijjabnya belum syar’i itu sebagai bahan framing, bahan tudingan. “itu lho yang berjilbab aja pacaran”… “itu lho yang berjilbab aja pergi ke diskotik….”, “itu lho yang berjilbab aja selingkuh….” Duh…
Padahal, sekali lagi hal kayak gitu terjadi karena kaum muslimah nggak memahami dengan benar apa itu jilbab dan berjilbabnya bukan karena dorongan iman. Makanya modal semangat aja nggak cukup untuk berjilbab, tapi juga harus dibarengi memahami Islam. Salah paham atau mungkin nggak mau paham mengenai kewajiban menutup aurat dan berjilbab maka kita masih sering mendengar ocehan “Saya belum siap berjilbab. Nanti saja kalau niatnya sudah mantap.”
Yakin aja, pernyataan kayak gitu muncul selain karena ngeles ogah berjilbab, tapi juga karena mereka nggak paham kewajiban menutup aurat dan jilbab. Padahal yang namanya melaksanakan kewajiban siap atau nggak siap, yang namanya kewajiban kudu bin mutlak dilaksanakan dan dosa kalo ditinggalkan.
Jilbab Hati? Jilbab Kontesktual?
Para penolak jilbab itu nggak jauh-jauh pernyataanya pasti seputar ini “… yang penting sekarang hatinya dulu. Buat apa berjilbab kalau hatinya busuk.” Atau “Jilbab fisik itu penting, tapi yang lebih penting kan jilbab hati.” mungkin ini juga “Perintah berjilbab jangan dipahami tekstualnya, kalo dipahami kontekstual, jilbab itu nggak wajib”, dan masih banyak ocehan-ocehan serupa yang lain.
Kalo kita nggak memiliki pemahaman Islam yang mapan, dan iman yang kokoh, bakal termakan isu semacam itu. Pernyataan itu nyeleneh, liberal bin sesat. Coba dengan logika yang sama, kalo standar melaksanakan kewajiban nunggu hati baik, tentu aja nggak bakal ada orang yang mau sholat, dengan alasan nunggu hati baik, atau buat apa sholat kalo hatinya nggak baik. Nah gitu kan jadi kacau.
Maka yang benar, suatu kewajiban yang telah disyariatkan oleh Allah, salah satunya kewajiban menutup aurat dan berjilbab adalah kewajiban setiap Muslimah yang telah balig, baik ia berhati baik atau busuk. Pun kewajiban shalat juga berlaku baik bagi Muslim yang berakhlak baik atau yang kelakuannya masih belum baik. Justru dengan dorongan iman, “memaksakan” diri menutup aurat dan berjilbab, seorang Muslimah akan terdorong untuk terus-menerus memperbaiki hatinya dan memperbagus akhlaknya.
Sis, Jilbab Itu Cermin Rasa Malumu
Di masa para shahabiyah kala itu, para wanitanya amat menjaga kehormatan dan aurat mereka. Salah satu shahabiyah yang memiliki rasa malu yang tinggi adalah Ummul Mukminin Aisyah ra., istri Rasulullah saw., dalam sebuah riwayat diceritakan, setelah Rasulullah saw. wafat, Aisyah ra. terbiasa berziarah ke makam beliau, yang berada di dalam kamarnya, tanpa mengenakan hijab. Ketika ayah beliau, Abu Bakar ra., wafat dan dikebumikan di sebelah makam Rasulullah saw., Aisyah ra. masih leluasa berziarah tanpa mengenakan hijab.
Namun, kebiasaan itu berubah ketika Umar bin al-Khaththab ra. dikuburkan di kamarnya bersebelahan dengan makam Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. Setiap kali masuk ruangan itu, Aisyah ra. mengenakan hijab secara sempurna. Itu ia lakukan karena Umar ra. bukanlah mahram-nya. Padahal Umar ra. telah meninggal dan jasadnya terkubur di dalam tanah (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mawta wa al-Qubur. Beirut: Dar ar-Rasyid, 1916).
So, Sis jangan tanggalkan jilbabmu karena jilbabmu adalah cerminan dari rasa malumu. Sebab kalo jilbabmu sudah kau tanggalkan, bukan hanya hilang rasa malumu, tapi juga adzab di yaumul akhir menunggumu, naudzubillah min dzalik. []
Posting Komentar