KAMPUS MERDEKA, TERSANDERA PENGUSAHA
Oleh: Ummu Syaakir
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim meluncurkan empat program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk "Kampus Merdeka" ini terdiri atas, pertama, kemudahan membuka program studi baru untuk menjawab kebutuhan industri dengan bekerja sama dalam penyusunan kurikulum, program magang, dan perjanjian kerja sama dari sisi rekrutmen. Kedua, perubahan sistem akreditasi kampus yang bersifat otomatis. Ketiga, mempermudah Kampus Negeri menjadi Badan Hukum. Keempat, mahasiswa boleh kuliah 3 semester di prodi lain (Tempo.co, 25/01/20).
Menurut Nadiem, meningkatkan kualitas perguruan tinggi merupakan cara tercepat untuk membentuk SDM yang unggul. Perguruan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yang bergerak cepat, sebab perguruan tinggi begitu dekat dengan dunia pekerjaan, dia harus yang berinovasi tercepat dari semua unit pendidikan.
Sejalan dengan hal ini, Wakil Presiden, Ma'ruf Amin meminta lembaga pendidikan lebih jeli melihat kebutuhan dunia industri agar tidak banyak sarjana yang menganggur. Menurutnya, saat ini banyak sarjana yang belum terserap jadi tenaga kerja handal. Hal ini akibat tidak jelinya lembaga pendidikan menangkap kebutuhan pasar tenaga kerja dalam sambutannya di acara wisuda sarjana strata satu angkatan ke XXIII Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi, di Gedung Serbaguna I, Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Ahad, 26 Januari 2020 (Tempo.com, 28/01/20).
Kebijakan baru yang diluncurkan oleh Mendikbud kali ini semakin mengukuhkan bahwa intelektual memang dicetak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kolaborasi 3 in 1 antara kampus, perusahaan dan pemerintah, menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator semata. Sedangkan, perusahaan dengan leluasa menjadi penentu berbagai kebijakan sesuai kebutuhan pasar, melalui campur tangannya dalam pembuatan kurikulum sesuai permintaan pasar.
Bukan tidak mungkin jika ke depan kampus akan menjadi mesin pencetak buruh intelektual. Industri yang menjadi basis pengembangan berbagai program studi, membuktikan bahwa kampus nantinya hanya akan dijadikan pusat pengembangan berbagai penemuan yang sesuai dengan kebutuhan industri, bukan masyarakat. Di tengah ekonomi yang semakin sulit, mau tidak mau opini di masyarakat pun menjadikan intelektual hanya berorientasi profit dari hasil kuliahnya. Hasilnya, intelektual dicetak untuk menopang perputaran roda kapital, berinovasi untuk kemajuan industri. Sedangkan masyarakat, sudah pasti menjadi target pembeli atas inovasi yang ditemukan. Jika intelektual menjadi inovator bagi kebutuhan industri, maka bisa dipastikan masyarakat akan kehilangan problem solver bagi permasalahannya.
Padahal sejatinya, posisi intelektual dalam Islam adalah problem solver bagi masalah umat. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan untuk mengatasi permasalahan, misalnya di bidang pertanian, di bidang kesehatan, maka intelektual kampuslah harapan mereka. Intelektual selama ini diharapkan mampu menjadi garda terdepan untuk menjadi problem solver, ketika kembali ke masyarakat. Intelektual menjadi tempat bertanya bagi masyarakat.
Mu’adz bin Jabal berkata: “Tuntutlah ilmu, karena mempelajarinya adalah sebuah kebaikan, mencarinya adalah ibadah, mendialogkannya merupakan tasbih, mengkajinya adalah jihad, mencurahkan kemampuan untuknya merupakan taqarrub. Dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya sebagai sebuah shadaqah.”
Kampus pun seharusnya menjadi pusat penelitian untuk mencari solusi terbaik bagi masalah negeri ini. Misalnya saja banjir. Bukankah permasalahan ini seharusnya dapat dicari solusinya? Dengan menggerakan intelektual kampus untuk berinovasi membuat sistem drainase yang tangguh, sehingga permasalahan tak terus terulang.
Namun, akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme saat ini, intelektual menjadi tersandera oleh kepentingan para pemilik modal. Tersandera yang disengaja karena adanya legalisasi oleh negara, yang menggadaikan peran kampus dengan semestinya. Negara berlepas tangan dalam memberdayakan intelektual, sehingga membuka peluang sebesar-besarnya bagi pengusaha, baik swasta maupun asing untuk mengelolanya. Padahal seharusnya pemerintah bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari).
Sudah seharusnya negara mengembalikan fungsi intelektual sesuai Islam, yang dengannya akan menjadikan ilmu yang dimiliki bermanfaat bagi umat, bukan sekadar komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan semata.
Wallahu'alam.
Posting Komentar