Ketika Sibuk Menuntut Ilmu Jadi Alasan Meninggalkan Dakwah
Oleh: M. Taufik NT
Sebagian orang ada yang meninggalkan aktivitas dakwahnya ketika merasa kurang ilmu, ditambah dengan celaan orang, “lulusan umum kok dakwah”, “ilmu kunci seperti nahwu, shorof, adab, bayan, badi’, ma’ani saja masih belepotan kok ngajari orang”, ungkapan seperti ini kata al Habib Abdullah bin ‘Alawi al Haddad adalah talbîs (pengkaburan) Setan, kesannya baik agar seseorang berjibaku dalam menuntut ilmu, namun sebenarnya adalah keliru, beliau menyatakan:
وعليك) بتعليم الجاهلين وإرشاد الضَّالين وتذكير الغافلين)
“Hendaklah engkau mendidik orang-orang yang bodoh, menunjukkan jalan lurus kepada mereka yang tersesat dan mengingatkan orang-orang yang terlena (dengan segala tipuan dunia).
واحذر أن تدع ذلك قائلاً إنما يعلّم ويذكر من يعمل بعلمه وأنا لست كذلك، أو إني لست بأهل للإرشاد لأنه من أخلاق الأكابر، وهذا كله تلبيس من الشيطان
Hati-hatilah engkau dari meninggalkan yang demikian (dakwah), dengan berkata, “yang (berhak) mengajar dan mengingatkan hanyalah ulama yang mengamalkan ilmunya, sedangkan aku tidaklah demikian”, atau “aku bukanlah orang yang pantas untuk menunjukkan jalan pada orang lain, karena yang pantas untuk itu adalah para tokoh agama.” (ucapan-ucapan) itu semua adalah pengkaburan (talbîs)nya setan.
فإن التعليم والتذكير من جملة العمل بالعلم، والأكابر ما كانوا أكابر إلا بفضل الله والعمل بطاعته وإرشادهم عباد الله إلى سبيل الله، وإذا لم تكن أهلاً فليس لك طريق إلى حصول الأهلية إلا فعل الخير والدعاء إليه.
Sesungguhnya, (memberikan) pendidikan dan peringatan termasuk dalam kategori mengamalkan ilmu. Dan para tokoh, mereka tak akan menjadi tokoh (agama) kecuali dengan anugerah Allah dan mengamalkan ilmunya dengan taat kepada-Nya dan membimbing hamba-hamba Allah ke jalan Allah. Jika engkau merasa tidak pantas untuk hal itu, maka tidak ada jalan bagi engkau untuk mendapatkan kepantasan tersebut kecuali dengan melakukan kebaikan dan menyeru (berdakwah) kepada kebaikan tersebut. (Risâlah al Mu’âwanah, hal 67)
===
Solusi kurang ilmu bukan dengan meninggalkan dakwah, namun dengan makin giat menuntut ilmu, dan mengamalkan ilmunya. Salah satu bentuk pengamalan ilmu adalah dengan mendakwahkan apa yang sudah diketahuinya, sebagaimana penjelasan di atas. Jika ini dilakukan, Allah akan membuka pintu-pintu ilmu yang sebelumnya tidak diketahuinya, tentu jika dijalani dengan benar.
Di sisi lain, dakwah tidak identik dengan ceramah, ngisi pengajian ataupun menjadi pembicara dalam suatu kegiatan saja. Mengajak orang shalat, azan, mengantar surat undangan untuk kajian, menyiapkan peralatan, memviralkan kegiatan, mengedit dan mengupload video pengajian, menyumbang dana untuk konsumsi peserta, mengangkati meja dan kursi untuk jamaah, itu juga termasuk dalam kerangka dakwah, yang bisa jadi pahalanya lebih besar daripada pahalanya pembicara, apalagi kalau pembicaranya terjangkit penyakit riya’ atau ‘ujub.
Bahkan ikut aktif dalam organisasi dakwah, menyiapkan diri dan waktunya untuk melancarkan agenda organisasi dakwah tersebut, menghadiri acaranya walau sekadar hadir, itu juga termasuk dakwah jika dilakukan untuk mengajak dan mempengaruhi opini masyarakat agar mencintai Islam. Mungkin dia tidak pernah sekalipun berbicara dan ngisi pengajian, namun dia akan mendapatkan bagian pahala dakwah yang dilakukan oleh pembicara.
Menyeru ke jalan Islam itu tidak melulu dengan mulut, namun lebih dari itu, membentuk opini dan kesadaran umum hingga masyarakat mendapatkan informasi yang benar terkait Islam juga merupakan dakwah.
===
Oleh karena itu, sekadar hadir dalam kegiatan yang bertujuan untuk membentuk opini, sambil menunjukkan akhlak yang baik, itu juga termasuk dakwah, sebagaimana pula seorang sahabat yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu anhu, ketika ikut dalam perang al Qadisiyyah, beliau juga terhitung berjihad, walaupun logika menyatakan tidak mungkin secara riil beliau terjun dalam peperangan. Beliau berfikir sederhana, dengan hadirnya beliau, paling tidak memberikan opini bahwa pasukan kaum muslimin itu banyak, harapannya, bisa menggentarkan musuh.
Ketika Anas bin Malik bertanya kepadanya:
أليس قد أنزل الله عذرك؟
Bukankah Allah telah memberi uzur kepadamu?
Beliau menjawab,
بلى، ولكني أكثر سواد المسلمين بنفسي
“Benar, namun aku ingin memperbanyak jumlah pasukan kaum muslimin dengan (kehadiran) diriku.”[2]
===
Jika dengan butanya mata, beliau radhiyallahu anhu tidak ingin ketinggalan memberikan peran yang lebih untuk Islam dan mendapatkan kemuliaan dari amal yang hampir ‘mustahil’ dilakukan orang buta, apakah dengan kekurangan ilmu kita–padahal pintu belajar senantiasa terbuka– kita tidak ingin mendapatkan kemuliaan dakwah, dimana satu orang yang mendapatkan hidayah dengan perantaraan kita, langsung atau tidak, itu lebih baik dari dunia dan isinya?
Begitu juga dengan berorganisasi, kita berharap ikut kecipratan kemuliaan dakwah yang dilakukan para ustaz, karena sedikit banyak, kita juga berperan baik langsung atau tidak.
Tidak ada yang jelek dengan dakwah ke arah kebaikan, baik dilakukan oleh orang yang mumpuni keilmuannya, ataupun orang yang kurang dari itu.
وإنما الشؤم في الدعوى والدعاء إلى غير الحقّ
Yang jelek adalah tuntutan dan seruan kepada jalan yang tidak benar. (Risâlah al Mu’âwanah, hal 67)
===
Namun begitu, sifat inshaf mesti ada pada diri siapa saja yang melakukan dakwah, tidak sembrono menyampaikan sesuatu yang tidak diketahui, apalagi berlagak tahu terhadap sesuatu yang belum dikaji dan verifikasi datanya. Berapa banyak orang tertipu dengan banyaknya sanad ilmu yang dimiliki, hingga akhirnya gampang mencap-ini, mencap itu, tanpa verifikasi informasi yang diterima.
Kadang, yang jadi kendala psikologis, ketika ilmu ketinggalan jauh dari popularitas, sudah terlanjur dikenal, namun ilmu tidak nambah-nambah, lalu muncul sikap malu untuk mengaji, malu untuk berkata tidak tahu ketika ditanya permasalahan yang dia tidak tahu. Rasa malu seperti inilah yang perlu dibuang jauh-jauh, bukankah Malaikat saja juga bilang tidak tahu ketika ditanya Allah tentang nama-nama sesuatu?.
Tidak tahu akan suatu masalah bukanlah aib. Al Khatib al Baghdadi (w.463 H), dalam kitabnya, al Faqîh wa al Mutafaqqih[1], menceritakan dari Abdurrahman bin al Mahdi bahwa seseorang dari penduduk Maghribi (Afrika) datang untuk bertanya kepada Imam Malik tentang suatu masalah, maka Imam Malik menjawab “laa adry” (aku tidak tahu), maka orang tersebut berkata:
يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ: تَقُولُ لَا أَدْرِي؟
“wahai Abu Abdillah, engkau mengatakan tidak tahu?”
Maka Imam Malik menjawab:
نَعَمْ، فَبَلِّغ مَنْ وَرَاءَكَ أَنِّي لَا أَدْرِي
“Ya, sampaikan kepada orang yang di belakang engkau (kaum yang mengutusmu dari Afrika ke Madinah untuk bertanya) bahwa sesungguhnya aku tidak tahu (jawabannya)”.
Solusi tidak tahu adalah dengan bertanya ke yang lebih tahu, mengkaji, membaca, dan menelaah berbagai literatur terkait, bukankah jika itu terjadi dan dilakukan, dengan izin Allah, ilmunya juga akan bertambah? Allâhu A’lam.
===
Sumber: https://mtaufiknt.wordpress.com/2018/02/07/ketika-sibuk-menuntut-ilmu-jadi-alasan-meninggalkan-dakwah/
Posting Komentar