Kasus Nurhadi, mantan Sekretaris Mahkamah Agung yang kini menjadi tersangka dan buron, merupakan bukti terbaru betapa tumpulnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Komisi tak berdaya saat berhadapan dengan tersangka kakap yang berpotensi menyeret pelaku-pelaku besar lainnya.
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Desember 2019. Ia diduga menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar pada 2014-2016. Pria 62 tahun ini menjadi tersangka bersama menantunya, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto, Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal. Ketiganya sempat beberapa kali dipanggil untuk diperiksa, tapi mangkir. KPK lantas memasukkan mereka ke daftar pencarian orang (DPO) pada 13 Februari 2020.
Penetapan DPO ini sempat menuai kritik. Direktur Kantor Hukum Lokataru, Haris Azhar, menyebut KPK terkesan takut dan main aman. Sebab, penetapan itu tak didahului usaha untuk menjemput paksa atau mencari tersangka yang oleh mantan pengacaranya disebutkan ada di Jakarta. Tudingan Haris ini, meski sudah dibantah KPK, bisa jadi mewakili perasaan anggota masyarakat yang prihatin melihat perkembangan KPK. Lembaga antirasuah ini kian mencederai harapan masyarakat yang mendambakan penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu.
Perkara Nurhadi sudah mencuat sejak 2016. Saat itu, KPK sudah menggeledah rumah yang bersangkutan dan menyita duit Rp 1,7 miliar. Pengusutan kasus ini awalnya diharapkan bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar sepak terjang kelompok pencoleng yang berkeliaran di Mahkamah Agung. Nyatanya jauh panggang dari api. Pengusutan kasusnya sangat lambat. KPK baru menetapkan Nurhadi sebagai tersangka tiga tahun kemudian, pada 2019. Setelah Nurhadi menjadi tersangka, KPK malah gagal memeriksa dan menangkapnya.
Hal ini sangat disayangkan. Lembaga pemberantasan korupsi seharusnya sigap dan mampu mencegah pelaku menghilangkan jejak kejahatannya, juga penuh terobosan dan tidak hanya pasif menanti informasi. Pembelaan diri Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, yang menyebutkan KPK memiliki keterbatasan sumber daya dan jaringan dalam menangkap para buron, juga terkesan mengada-ada. Bukankah mereka bisa bekerja sama dengan polisi yang memiliki jaringan luas?
Kasus buronnya Nurhadi dan Harun Masiku menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini juga menjadi bukti merosotnya kualitas KPK di bawah undang-undang baru. Lembaga ini kian tak bertaji karena sudah dilemahkan secara struktural dan dipimpin sosok-sosok pilihan Presiden Joko Widodo yang integritasnya dipertanyakan.
Posting Komentar