BPfA+25 dan Kesetaraan Gender: Sebuah “Injury Time”
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si. (Koordinator LENTERA)
Perempuan dan kesetaraan gender masih saja menjadi komoditi propaganda Barat menyerang Dunia Islam. Karenanya, hal ini pun menjadi sesuatu yang rutin diproyeksikan di negeri-negeri Muslim. Tak terkecuali di Indonesia.
Akhir November 2019 lalu, Komnas Perempuan mengeluarkan Siaran Pers tentang “Refleksi 25 Tahun Pelaksanaan Beijing Platform for Action (BPfA+25) di Indonesia: Komitmen Negara dalam Menjawab Tantangan 12 Bidang Kritis Kehidupan Perempuan”.
Dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, BPfA adalah kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Discrimination Against Women) pada tahun 1995 di Beijing.
Dalam konferensi dunia tentang perempuan yang dilaksanakan di Beijing tanggal 4 hingga 15 September 1995 ini, seluruh negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi BPfA menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPfA.
BPfA menghasilkan 12 bidang kritis dan setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara. Berikut adalah 12 bidang kritis tersebut:
1) Perempuan dan kemiskinan; 2) Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap perempuan; 5) Perempuan dalam situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM perempuan; 10) Perempuan dan media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; dan 12) Anak perempuan.
Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi CEDAW, bersama dengan negara-negara lain yang juga menyepakati BPfA, wajib membuat review implementasi BPfA sejak tahun 1995. Indonesia juga melaporkan perkembangan pelaksanaan BPfA di forum Asia Pasifik setiap lima tahun, yang kemudian di-review secara utuh oleh Commission on the Status of Women (CSW) yaitu pada tahun 2000, 2005, 2010, 2015, dan selanjutnya tahun 2020 ini. Setiap review akan menghasilkan dokumen keluaran yang mendorong komitmen global untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan serta menegaskan aksi-aksi prioritas untuk lima tahun selanjutnya.
Dalam laporan independen yang diserahkan Komnas Perempuan kepada PBB pada 30 September 2019, Komnas Perempuan menyampaikan analisis capaian dan tantangan sejak 2015, kemajuan yang sudah dicapai sejak tahun 2014 terkait 12 bidang kritis, serta emerging priorities yang sudah diintegrasikan dalam analisis 12 bidang kritis tersebut.
Oleh karena itu, review implementasi 25 tahun BPfA pada 2020 di Indonesia ini juga diharapkan dapat mengangkat berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam 12 isu kritis, tantangan yang masih dihadapi, termasuk beberapa isu baru yang belum tercatat dalam area kerja BPfA. Laporan yang komprehensif diyakini akan dapat mendorong pemenuhan kesetaraan gender dan pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia.
Pasalnya, dalam laporan independen tersebut, Komnas Perempuan juga merekomendasikan hal-hal terkait masih perlu diimplementasikannya instrumen HAM terkait CEDAW, perlindungan kelompok minoritas, penghapusan kebijakan yang diskriminatif, penghapusan praktik yang membahayakan termasuk FGMC (sunat perempuan) dan perkawinan anak, perlu dilaksanakannya protokol penggusuran dan membangun protokol femisida, implementasi bisnis dan HAM bagi korporasi, serta instrumen HAM lainnya.
Bagaimana pun, sejauh ini pelaksanaan BPfA belum maksimal. Setelah 25 tahun berlalu sejak 1995, progresnya lambat. Sejumlah pejuang feminis liberal pun ‘marah’, akibat outputperjuangan mereka yang masih jauh dalam pencapaian kesetaraan gender.
Ketimpangan kekayaan, kekuasaan, dan sumber daya menjadi lebih besar dari sebelumnya. Tersebab hal itu, BPfA+25 pada 2020 ini diharapkan dapat menghasilkan review,pembelajaran dan langkah-langkah signifikan untuk pemajuan HAM perempuan ke depan.
Dalam pertemuan pemerintah di konferensi Perempuan Beijing+25, pernyataan yang disampaikan oleh Danty Anwar sebagai perwakilan dari delegasi pemerintah Indonesia menyebutkan ada beberapa keberhasilan yang dicapai Indonesia dalam soal keadilan dan kesetaraan gender yaitu pendidikan bagi perempuan, kuota perempuan di dalam parlemen yang melebihi 30% dan rencana pembahasan Rancangan Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) walau sempat tertunda. (Yang sekarang dikenal dengan sebutan Kesetaraan Gender/KG, ed.)
Masalahnya, problematik perempuan selama ini semata-mata akibat tegaknya ideologi sekuler kapitalisme. Tak ayal, BPfA+25 hanya ibarat injury time (Pol.: perpanjangan waktu dari waktu normal) dalam mencari solusi global permasalahan perempuan. Fakta yang menjadi titik asal masalah hanya diselesaikan dengan fakta yang baru, tanpa dihilangkan akar masalahnya.
Tentu saja solusi hakiki tidak akan pernah didapatkan. Karena sumber masalah bagi kapitalisme adalah sekularisme itu sendiri. Dan bukan tidak mungkin, ideologi kapitalisme itu pulalah yang sedang membunuh dirinya sendiri.
Pascaruntuhnya Khilafah pada 1924 masehi, kaum perempuan diatur dengan aturan sekuler. Profil mereka kian bebas dieksploitasi. Media massa dan ide Barat yang liberal memberi ruang lebar kebebasan berekspresi.
Dalihnya, demi aktualisasi hak asasi dan kesetaraan gender. Seolah mereka selama ini ‘terkekang’ dengan aturan Islam yang diopinikan udik, yang ditegakkan oleh Khilafah yang dianggap tak kalah kuno. Padahal upaya ini bertujuan menjauhkan kaum perempuan dari Islam.
Mencermati hal ini, Dunia Islam harus berbenah. Tiba masa mengganti arah pandang tentang nasib kaum perempuan. Sungguh urgen bagi Dunia Islam untuk terus mengampanyekan narasi positif tentang kemuliaan perempuan dalam Islam. Bahwa kemuliaan itu hanya tercapai dengan terikat pada syariat Islam.
Kampanye ini hendaklah bertujuan untuk menentang narasi dominan tentang kesetaraan gender dan klaim-klaimnya dalam memajukan hak-hak kaum perempuan dan kemajuan bangsa; dan menyajikan cetak biru Islam yang komprehensif dan unik tentang prinsip-prinsip, hukum, dan sistem secara terperinci, sebagaimana diimplementasikan oleh sistem politiknya yaitu Khilafah yang berdasarkan metode kenabian.
Khilafah akan menyediakan sebuah alternatif visi yang kredibel. Kiprah Khilafah selama 13 abad telah terbukti dalam sejarah untuk meningkatkan status perempuan, mengamankan hak-hak perempuan, meningkatkan standar hidup mereka, serta mencapai kemajuan sejati dalam sebuah negara.
Inilah yang harus disadari!
Gunakan masa yang masih tersisa ini untuk menjadikannya injury time yang bermakna. Agar injury time ini dapat berlaku sebagai bagian dari strategi kemenangan Islam.
Fenomena kerusakan dan eksploitasi perempuan di seluruh dunia adalah akibat tegaknya ideologi kapitalisme. Itulah akar masalahnya. Kapitalisme beserta segala derivatnya –demokrasi, liberalisme, sekularisme, termasuk kesetaraan gender– adalah sistem destruktif yang cepat atau lambat pasti menghancurkan masyarakat.
Untuk menghentikan destruksi ini secara permanen, Dunia Islam jelas butuh ideologi baru yang diemban melalui Khilafah tadi.
Karena hanya Khilafah, negara yang memiliki kehormatan yang sebanding untuk menolak ketundukan pada aturan kapitalistik buatan manusia. Yang dengan Khilafah tersebut, aturan Allah SWT dapat diterapkan secara kafah. Sekali lagi, hanya Khilafah yang mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menebarkan Islam selaku rahmatan lil ‘alamin.
Firman Allah SWT:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha [20]: 124).
________
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar