Haruskah Solusi Keluarga Bahagia Adalah Bercerai?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Muslimah Penulis Sidoarjo)
Pernikahan adalah sebuah peristiwa yang sakral dalam kehidupan anak manusia. Dalam sebuah pernikahan pastilah setiap pasangan berharap ada kebahagiaan yang terus menerus terjadi. Namun, seringnya, fakta tak sesuai kenyataan, harapan tak sesuai impian.
Perceraian menjadi solusi. Jika melihat tren pasangan yang menikah ditahun 2018 kemudian sepanjang 2019 adalah bercerai, benarkah perceraian mampu menumpas habis persoalan keluarga dan pernikahan itu sendiri?
Berita memprihatinkan dilansir sebuah media online tanah air, nyaris setengah juta pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan.
Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan (detik.com, 28/2/2020).
Ada banyak penyebab perceraian seperti ekonomi, medsos, cekcok hingga pasangan memiliki orientasi seksual yang berbeda, sebagaimana diberitakan di Makasar. Dan mirisnya terbanyak kasus perceraian dilakukan oleh istri (detik.com, 23/2/2020).
Karena rentannya keluarga dari kemungkinan perceraian inilah, DPR memandang usulan pengesahan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga ini untuk bisa segera disahkan. Namun ternyata menuai kritikan dan penolakan dari masyarakat.
Menurut International for Criminal Justice Reform (ICJR) ada tiga poin soal RUU ini yang perlu dikritisi. Pertama RUU Ketahanan Keluarga ini menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahyu , mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis. Pasalnya, RUU Ketahanan Keluarga dinilai terlalu mengatur ranah privat warga negara, terutama hubungan suami-istri dalam keluarga.
Kedua karena ada diskriminasi gender, menurut Anggara, dengan adanya RUU ini, maka Pemerintah Indonesia harusnya marah, karena upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik.
Ketiga karena dinilai menghina kelompok orang miskin. Sebab, dalam RUU tersebut diatur bahwa orang tua diwajibkan memberikan kehidupan yang layak kepada anak.Apabila orang tua gagal memberikan kehidupan yang layak terhadap anak, maka dapat dinilai sebagai pelanggaran hukum ( kompas.com, 27/2/2020).
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, Indonesia belum membutuhkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Justru saat ini lebih membutuhkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Komnas Perempuan sudah bikin pernyataan publik ya press release bahwa kita tidak butuh RUU ini dengan berbagai argumentasinya ya," kata Sulis dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (kompas.com26/2/2020).
Berbagai solusi dikemukakan dalam rangka memperbaiki keadaan. Namun, baik RUU ketahanan keluarga maupun RUU PKS sama-sama berangkat dari cara pandang sekuler. Yaitu mengedepankan pendapat manusia sebagai pembuat UU, padahal secara fitrah, manusia lemah.
Semestinya, UU diatur sesuai dengan pengaturan yang baku. sesuai fitrah, menentramkan hati dan memuaskan akal. Sehingga setiap permasalahan yang muncul bisa diselesaikan dengan tuntas. Aturan yang disusun tidak lagi menciptakan debatable alias masih membuka peluang diperdebatkan yang artinya masih belum final.
Dan hari ini, rezim sekuler tidak mampu memberi solusi tuntas atas problem keretakan rumah tangga. Karena akar masalahnya sistemis dan penyelesaiannya parsial. Bahkan cenderung kontraproduktif atau memunculkan masalah baru dalam rumah tangga.
Ketahanan keluarga hari ini menjadi pertaruhan, bisa hancur atau bertahan namun menanggung beban yang berat. Sebab, institusi terkecil dalam masyarakat hari ini sedang mengalami pergeseran makna. Keluarga dalam sistem sekuler bukanlah berdiri sebagai peletak dasar generasi dan masyarakat yang berkualitas.
Namun , keluarga tak beda dengan individu-individu dalam sistem kapitalisme, yaitu sebagai mesin uang atau komoditas. Peran ayah dan ibu direduksi, ayah sulit mendapatkan nafkah yang halal dan layak, kebutuhan asasiyah yang semestinya dibebankan kepada negara, kini beralih ke pundak ayah sebagai kepala keluarga. Jelas berat, akhirnya ibu terpaksa ditarik dari zona wajibnya sebagai Ummu wa rabbatul bait dan beralih menjadi pekerja, mendapatkan penghasilan dengan meninggalkan anak dalam pengasuhan orang lain.
Pernikahan dalam pandangan kapitalisme sungguh sangat jelas perbedaannya. Islam memandang pernikahan adalah media terdasar dalam pembentukan keluarga ideologis, atau keluarga yang sukses menyatukan visi dunia akhirat. Maka negara harus berdiri memastikan visi ini berjalan dengan seharusnya.
Keluarga kuat, otomatis negara juga akan kuat. Dan itu sudah pasti harus keluar dari sistem sekuler yang nyata-nyata tidak bisa menutup celah kegagalan ini. Saatnya beralih kepada pengaturan Islam, sebab Islam tak hanya pengatur ibadah mahdoh, namun juga terkait keluarga, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya.
Wallahu a' lam bish showab.
Posting Komentar