Hijab: Lebih Dari Sekedar Body Positivity
Oleh : Najmah Millah (Pengasuh MT Asmaul Husna)
Baru-baru ini sempat viral foto setengah telanjang dari aktris Andi Mutiara Pertiwi Basro atau lebih dikenal dengan Tara Basro di akun Instagramnya. Foto tersebut diunggah dengan menyertakan caption yang lumayan panjang. “Andaikan kita lebih terbiasa untuk melihat hal yang baik dan positif, bersyukur dengan apa-apa yang kita miliki dan make the best out of it daripada fokus dengan apa yang tidak kita miliki”. “Setelah perjalanan yang panjang gue bisa bilang kalau gue cinta sama tubuh gue dan gue bangga akan itu”, lanjutnya sambil merujuk bagian perutnya.
Berbagai komentar dari netizen baik yang pro dan kontra bermunculan. Mulai dari dukungan karena kampanye body positivity, memperjuangkan martabat wanita dengan segala bentuk tubuh dan rupanya hingga ada yang mendukung namun menyayangkan. Meski tujuannya baik dan positif, namun cara mengekspresikan body positivity ini bertentangan dengan norma masyarakat Indonesia. Indonesia tidak sama dengan masyarakat Barat. Karena itu, arusnya Tara bisa menyampaikannya dengan cara ala Indonesia.
Kominfo sendiri melalui Plt kabiro Humas, Fernandus Setu, menganggap bahwa unggahan Tara Barso ini melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1, yang kemudian direvisi Kemenkominfo, bahwa Kominfo hanya melihat teks ketelanjangan dalam foto Tara Basro tanpa menilik konteks edukasi body Positivity.
Kampanye Body Positivity
Ajining diri dumunung ing lathi, Ajining raga saka Busono. Pepatah Jawa ini begitu jelas menggambarkan bahwa harga diri seseorang ditentukan oleh ucapannya. Sementara nilai fisik sangat ditentukan oleh pakaian yang dikenakannya. Ini selaras dengan wacana bahwa peradaban manusia zaman pra-sejarah hingga manusia modern ditandai salah satunya dengan belum mengenalnya mereka pada busana hingga mereka menemukan busana modern dengan alat jahit yang modern. Dari yang tadinya berbahan kulit hingga berbagai bahan semisal katun, rayon, nylon dsb. Artinya kemajuan peradaban manusia salah satunya ditandai dengan bagaimana mereka berfikir bahwa penutup tubuh adalah sesuatu yang vital, bahkan menunjukkan identitas serta kelas sosial.
Dewasa ini dunia industri memandang bahwa wanita adalah aset berharga yang bernilai kapitalis sebagai penyokong iklan-iklan produk Negara maju. Produk fashion branded seperti Tas, sepatu, baju, topi, syal dll. Produk elektronik, seperti jam tangan, computer, hp, bahkan produk automotif yang tidak berhubungan dengan wanita sekalipun semisal mobil maupun sepeda motor. Dari sananalah dimulai definisi cantik ala kapitalis, yakni wanita yang berkulit putih, tinggi semampai, hidung mancung, berambut panjang dan lurus serta sederet definisi lain. Yang inti definisi tersebut hanya bernilai materi semata untuk mendukung nilai jual produk. Dan sejak saat itulah wanita menjadi bagian dari produk yang dijual sensualitasnya untuk memenangi pasar bagi Negara maju. Pada akhirnya terjadilah pergeseran nilai cantik ditengah masyarakat. Bagi wanita dengan tubuh yang tidak ideal dilayar kamera, maka bersiap-siaplah hanya bisa menjadi penonton.
Paradoks yang ditampilkan industrialisasi kapitalis ini menjadikan wanita yang memiliki pandangan berbeda melakukan aksi menolak definisi tersebut dengan gerakan body positivity. Yakni gerakan agar wanita menghargai bentuk tubuhnya sendiri dan menilai bahwa penampilan fisik seseorang tidak ada yang sempurna. Bangga dengan tubuh yang unik, serta merasa nyaman dan percaya diri dengan tubuh sendiri. Gerakan ini dimulai benihnya sejak tahun1850-an. Di Indonesia pegiat body positivity pun sudah sejak lama bermunculan seperti Candrika Soewarno yang mempromosikan #pelukdiri, sebuah proyek body positivity yang diwujudkannya lewat ilustrasi dan narasi. Dalam proyek ini, Candrika mengajak para wanita untuk menyadari bahwa merekalah yang punya kuasa atas tubuh mereka sendiri, bukan orang lain.
Di tahun 2016, Kartika Jahja merilis video klip bertema body positivity sebagai sebuah pesan untuk publik. Stigma-stigma negatif terkait bentuk tubuh dan penampilan perempuan yang ingin dipatahkan adalah gol dari video bertajuk “Tubuhku Otoritasku”.
Salah Pandang Arti Kecantikan
Permasalahan sebenarnya muncul akibat dari industrialisasi yang memanfaatkan sisi cantik ala kapitalis dengan definisi tersebut diatas. Wanita seolah hanya sebagai obyek sensualitas yang dapat dijual untuk menarik konsumen dan meningkatkan daya jual produk.
Permasalahan menjadi semakin parah ketika ada kampanye body positivity yang seolah untuk menjawab tuduhan bahwa nilai wanita memang dari tubuhnya terlepas cantik atau tidak. Ini terbukti dari slogan, unggahan foto maupun video aktifis pejuang body positivity. Yang akhirnya justru lebih menonjolkan sisi tubuh wanita dan kewanitaannya. Seakan wanita memang bernilai karena bangga dengan tubuhnya yang akhirnya diidentikkan dengan ketelanjangan.
Ketelanjangan bukanlah kebanggaan melainkan ketertinggalan dari peradaban dan kerendahan berfikir. Sekilas kampanye body positivity ini sangat indah akan tetapi jika ditilik secara dalam tampak absurd dan rapuh. Ide ini berangkat dari sudut pandang yang subyektif dan lemah, maka wajar banyak ditolak ditengah masyarakat. Terlebih bagi seorang muslim yang punya sudut pandang tersendiri terhadap hakekat kecantikan.
Cantik Dengan Islam
Islam adalah agama sempurna yang diturunkan oleh Yang Maha Sempurna sebagai pengatur bagi makhlukNya yang serba terbatas dan jauh dari kesempurnaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat Al-Maa-idah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkanNya”.
Termasuk dalam memandang arti cantik bagi seorang muslimah, mestinya kaum muslimin tidak lantas latah turut dalam kampanye kebebasan ala barat. Islam punya aturan yang khas dalam mengatur kehidupan. Sesungguhnya Islam memandang wanita adalah makhluk yang indah dan menyebut wanita sebagai aurat sehingga perlu dijaga. Dalam sebuah hadits Rasul SAW bersabda:
“Wanita adalah aurat. Apabila dia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi, al-Misykat no. 3109, dan al-Irwa’ no. 273).
Lantas bagaimana Islam menjaga kecantikan wanita tersebut? Apakah dengan berpose telanjang membanggakan lekuk tubuh tanpa busana dengan segala kondisinya ataukah Islam punya cara lain yang lebih terhormat? Jawabnya adalah dengan menutup keindahan tersebut, menutup aurat wanita.
Jumhur ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [QS. an-Nuur: 31]
Menurut Imam Thabariy, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram.
Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw pun berpaling seraya berkata: “Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.” [HR. Muslim]
Bagian kepala ditutup dengan kerudung hingga dada. Sementara untuk bagian bawah tubuhnya wanita mengenakan baju gamis atau jilbab sebagaimana firman Allah dalam quran surat al Ahzab 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Demikianlah penjagaan Islam atas wanita. Menjaga tanpa mengeksploitasi, menjaga dengan sepenuhnya sehingga makna cantik akan kembali kepada kodratnya bukan bernilai materi semata. Jadi, bentuk penghargaan atas tubuh yang paling tinggi levelnya adalah dengan mengikuti aturan yang menciptakannya, yaitu dengan berhijab sesuai perintahNya. Sudah pasti cantik dan menebar ‘positivity’.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar