Kapitalisme Rusak Kesehatan Jiwa Keluarga
Oleh : Ustadz Iwan Januar
Pernah dengar remaja bernama Kip Kinkel?
Belum?
Saya ceritakan sedikit. Pada tahun bulan Mei 1998, Kinkel melakukan penembakan massal terhadap sejumlah pelajar di SMA Thurston High School di Springfield, Oregon, Amerika Serikat. Sebelum melakukan penyerangan di sekolah, Kinkel yang saat itu berusia 15 tahun terlebih dahulu menembak mati ayahnya yang sedang minum kopi. Lalu menembak ibunya di garasi setelah mengucapkan, “I love you, mom.”
Lalu pada 21 Mei, dengan menggunakan Ford Explorer ibunya ia berangkat ke sekolah menengah. Kinkel menyiapkan lima senjata; dua pisau berburu, senapan, pistol Glock 19 9x19mm , dan pistol Ruger MK II kaliber .22. Dia membawa 1.127 butir amunisi. Kinkel pun mulai melakukan penembakan yang menghantam 37 siswa dan menewaskan dua orang, sebelum dibekuk sejumlah pelajar lain dan polisi. Penembakan oleh Kinkel di Thuston High School adalah salah satu tragedi penembakan massal oleh pelajar yang terburuk. Masih ada sejumlah kasus lagi yang pelakunya juga remaja.
Nah, sekarang bandingkan dengan kejadian pembunuhan balita oleh seorang remaja putri usia 15 tahun di Sawah Besar, Jakarta. Tentu Kinkel jauh mengerikan. Tapi bukan itu poin yang ingin kita bahas. Kinkel dan gadis pelaku pembunuhan sama-sama memiliki gangguan kejiwaan karena berasal dari keluarga bermasalah.
Ternyata, jumlah keluarga yang bermasalah secara kejiwaan di tanah terus bertambah. Mari perhatikan kejadian demi kejadian di tanah air; Setelah seorang remaja usia 15 tahun membunuh bocah lima tahun tetangganya, di Malang pasangan suami istri bunuh diri bersama. Beberapa waktu lalu juga kita mendapati kejadian anak membunuh ayah kandung dan istri membunuh suami, seperti pembunuhan terhadap hakim di Medan.
Ini adalah gambaran yang menunjukkan keluarga Indonesia rawan alami gangguan kejiwaan. Gangguan jiwa yaitu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia seperti perasaan tidak nyaman, kurang percaya diri, tidak aman, emosi labil, dsb. (https://www.halodoc.com/kesehatan/gangguan-jiwa).
Menurut WHO, data pengidap gangguan jiwa di seluruh dunia makin meningkat tiap tahun. Di tahun 2020 diperkirakan sekitar 264 juta juta orang mengidap depresi di seluruh dunia. Bahkan, World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia yang diakibatkan oleh depresi.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr Eka Viora, SpKJ, mengatakan untuk di Indonesia di tahun 2019 terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi.
Sementara itu menurut pengamat psikologi sosial dan budaya dari Universitas Indonesia Endang Mariani Rahayu, tingkat stres warga di kota-kota besar terutama kaum ibu terus meningkat setiap tahunnya.
Dari hasil survei, 49 persen dari seluruh wanita yang disurvei mengatakan stres mereka telah meningkat selama lima tahun terakhir dibandingkan dengan empat dari 10 pria atau hanya 39 persen. Begitu halnya dengan ibu ibu di daerah, mereka menderita stres tetapi dengan bentuk lain terutama dipicu masalah ekonomi dan sifat konsumtif.
Prihatinnya, gangguan kejiwaan atau stress juga mulai menjangkiti anak-anak. Di tahun 2012, lembaga konseling Personal Growth menemukan empat dari lima anak yang datang berkonsultasi mengalami indikasi stres atau tekanan jiwa berat.
Meningkatnya stres terhadap anak ini juga bisa dilihat dari banyaknya upaya percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak. Jumlah yang tercatat di KPAI selama 2011 sebanyak 182 percobaan bunuh diri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat 800 ribu orang yang tercatat melakukan bunuh diri tiap tahunnya dan sebagian kasus terjadi di kalangan anak muda.
Di Amerika Serikat, bunuh diri telah meningkat secara dramatis di kalangan anak muda berusia 10 hingga 24 tahun. Menjadi penyebab kematian terbanyak kedua setelah kecelakaan, melansir The Insider. Di Korea Selatan, angka bunuh diri menempati ranking tertinggi ke-10 di dunia. Setelah lansia, anak usia sekolah berada di peringkat kedua kasus bunuh diri.
Meningkatnya stress dan gangguan jiwa pada keluarga dan anak-anak, mulai dari perasaan tidak nyaman, gelisah, cemas, lalu emosi yang labil yang menyebabkan KDRT, tindak kekerasan pada orang lain sampai bunuh diri, disebabkan banyak hal. Namun bila kita telusuri semuanya mengerucut pada satu hal: sistem kehidupan kapitalisme telah merusak kesehatan mental keluarga.
Mengapa kapitalisme bertanggung jawab atas meningkatnya gangguan kesehatan jiwa keluarga di tanah air, juga di seluruh negara yang setia dengan ideologi ini?
Pertama, kapitalisme meniscayakan sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Faktanya, banyak keluarga di tanah air yang dibangun bukan dengan landasan agama. Banyak muslim yang akhirnya frustrasi dan stress karena tak paham makna ikhtiar, sabar, dan tawakal. Akibatnya gangguan jiwa meningkat lalu memicu konflik serta kekerasan dalam kehidupan keluarga.
Seorang muslim yang kuat akidahnya, maka selain berikhtiar ia akan bersabar dan menyerahkan segala urusan pada Allah. Keyakinannya pada prinsip qadarullah, ketetapan Allah, membuatnya bisa bertahan menghadapi berbagai problematika kehidupan. Ini yang dipuji oleh Nabi SAW. dalam sabdanya:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Kedua, kapitalisme menanamkan nilai hedonisme ketimbang moral, kasih sayang dan agama dalam kehidupan sosial dan keluarga. nilai materi dan prestise lebih mendominasi kehidupan sosial masyarakat kapitalisme, ini tercermin di media sosial dimana orang sering mengupload gaya hidupnya semisal makan-makan, pakaian, traveling, dsb. Keadaan ini akhirnya menimbulkan gangguan kejiwaan pada masyarakat.
Selain itu, kapitalisme juga menumbuhkan karakter individualisme yang menggerus kasih sayang dan kebersamaan. Hubungan antar pasangan sering didominasi saling ego, istri tak paham ketaatan pada suami, dan suami tak paham mengayomi dan melindungi istri dan anak-anak. Karenanya perceraian terus meningkat, dan tentu saja perempuan dan anak-anak sering menjadi korban.
Ketiga, dalam kapitalisme negara tidak menjamin kebutuhan pokok warganya. Masyarakat dibiarkan memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dengan prinsip survival of the fittest. Di Indonesia berbagai subsidi pada rakyat mulai dikurangi, bahkan jaminan kesehatan harus warga sendiri yang membayar dan saling menanggung meski tidak semua warga sanggup membayar iuran bulanannya.
Penghasilan suami pas-pasan membuat banyak istri terpaksa bekerja membantu nafkah keluarga. Akibatnya anak-anak minim mendapatkan perhatian dan perlindungan, sementara hubungan antara kedua orangtua juga rawan konflik. Stress yang berlanjut pada disharmonisasi keluarga banyak terjadi pada keluarga miskin. Di Indonesia ada 24,79 juga warga miskin yang rawan gangguan kesehatan jiwa.
Sebagai perbandingan lihatlah Amerika Serikat, induk kapitalisme, sudah lebih dulu alami semua ini. Bahkan menurut polling Gallup Pol yang ditayangkan di situs New York Times pada April 2019, AS adalah negara dengan tingkat stress tertinggi di dunia. Hasil polling itu mendapati bahwa 45 % rakyat Amerika sering merasa amat cemas setiap hari (https://www.nytimes.com/2019/04/25/us/americans-stressful.html).
Amerika Serikat menempati peringkat ketujuh dalam tingkat bunuh diri di dunia. Pada tahun 2018, bunuh diri terjadi pada 14.2 orang setiap 100 ribu jiwa, dengan rata-rata terjadi 132 kasus bunuh diri setiap harinya.
Bagaimana dengan Indonesia? Bukankah Indonesia negara relijius, mayoritas beragama Islam, Pancasila sebagai dasar negara?
Itu benar, namun faktanya Indonesia adalah negeri yang kapitalistik dengan gaya hidup liberal. Gaya hidup hedononisme yang mendewakan materi dan prestise menjadi norma sebagian besar masyarakat. Kesenjangan sosial si kaya dan miskin sudah amat dalam. Banyak keluarga mengalami disharmoni dan disfungsi.
Makin banyak keluarga bermasalah, maka makin berpotensi mencetak anak-anak bermasalah. Apalagi muatan pendidikan di sekolah dan kampus tidak membantu anak-anak dan pelajar memiliki mental yang sehat.
Karenanya umat harus cepat bangun, sadar, bahwa negeri ini bermasalah. Dan permasalahan itu datang dari sistem hidup kapitalisme-liberalisme yang berlaku di tanah air. Satu-satunya obat adalah kembali pada agama Allah yang hanif, yang sesuai fitrah manusia; Islam.
Posting Komentar