Khilafah dan Corona, Apa Hubungannya?
Sikap pemerintah dalam menangani pandemi corona memunculkan banyak perdebatan, tak terkecuali di dunia maya. Mayoritas masyarakat tampaknya sepakat memandang bahwa pemerintah negara +62 ini terlalu lamban, bahkan terkesan meremehkan.
Tengok saja, saat dunia ramai-ramai melakukan berbagai upaya maksimal termasuk kebijakan lock down, pemerintah masih membuka pintu lebar-lebar untuk para wisatawan, terutama dari Cina.
Pemerintah saat itu bahkan rela membayar para buzzer dan influencerdemi menarik sektor pariwisata yang diharapkan bisa menambah pundi-pundi kas negara yang menipis sejak lama. Seraya terus bersikukuh menyebut bahwa Indonesia akan aman dari corona.
Beberapa kasus pun awalnya terkesan ditutup-tutupi. Hingga dua warga depok diketahui tertular warga jepang gegara dansa dan salah seorang pejabat negara terkena juga. Wajar jika warga kian resah. Dan mendesak pemerintah untuk mau bersikap terbuka.
Nyatanya, benar saja. Tak perlu waktu lama, hari ke hari catatan kasus corona di Indonesia meningkat secara eksponensial. Bahkan, Indonesia pun langsung jadi juara dunia untuk kasus kematian sebagai dampak corona.
Tampaknya, banyak hal yang membuat pemerintah galau dan sangat gagap menghadapi kasus wabah corona. Buruknya kualitas kepemimpinan, parahnya kondisi keuangan negara serta kuatnya ketergantungan kepada asing nampak menjadi alasan utama.
Namun ironisnya yang selalu jadi alasan adalah kepentingan rakyat banyak. Jika Indonesia benar-benar lock down, maka terlalu banyak risikonya. Ekonomi akan mandek. Dan ujung-ujungnya, rakyatlah yang akan menderita. Begitu katanya.
Akibatnya, rakyat dibiarkan dalam ketidakpastian. Edukasi dan informasi yang kurang membuat mereka mengambil sikap yang beragam. Sosialisasi protokol kesehatan yang lamban disampaikan dan setengah-setengah ditegakkan pun tak efektif membantu langkah pencegahan.
Selain karena ada masyarakat yang “terpaksa” wara-wiri untuk mencari penghidupan, tak sedikit pula yang berkeliaran karena kebodohan.
Sekolah diliburkan. Tapi sebagian malah memakainya untuk jalan-jalan dan liburan. Mal, pasar, warnet, bioskop tetap saja ramai dikunjungi warga termasuk anak-anak sekolah tanpa rasa bersalah.
Bahkan tak hanya rakyat biasa. Ada beberapa pejabat BUMN daerah yang malah nekat jalan-jalan ke Eropa. Narsis pula. Padahal, Eropa merupakan daerah yang diketahui termasuk zona merah corona.
Maka ketika pandemi corona melanda, negara +62 pun gelagapan. Bukan saja karena fasilitas dan layanan kesehatan yang serba terbatas dan lamban disiapkan, tapi juga karena corona sudah merebak di mana-mana.
Wajar jika sebagian warga panik. Dan bertindak irasional dengan memborong berbagai barang keperluan. Masker, sanitizer, dan alkes lainnya pun akhirnya jadi barang langka di pasaran hingga harganya melonjak di luar kewajaran.
Penyebabnya seperti biasa. Di negeri +62 ini memang banyak makhluk egois yang sangat hobi menimbun barang demi keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan akhirnya diketahui, masker dan sanitizer jadi langka karena beberapa bulan terakhir diekspor gede-gedean ke negeri Cina, HK, dan Singapura.
Jangan heran jika akhirnya para petugas kesehatan di dalam negeri pun berjuang tanpa fasilitas dan alat pelindung diri (APD) yang layak dan memadai. Sampai-sampai ada rumah sakit yang menunda operasi karena tak ada masker memadai.
Ada pula rumah sakit yang petugasnya terpaksa bertugas memakai jas hujan keresek sebagai alat pelindung diri. Padahal mereka bukan sedang tugas biasa, tapi sedang bertarung nyawa.
Betul bahwa pada akhirnya pemerintah +62 mengambil beberapa langkah “kebijakan”. Termasuk arahan agar impor masker dan sanitizer dihentikan, menetapkan status kedaruratan, meliburkan sebagian pegawai, masifikasi sosialisasi protokol kesehatan, mengiming-imingi insentif tambahan pada tenaga medis yang bergelut dengan corona dan –tidak lupa– melakukan shooting untuk iklan “ucapan terima kasih” buat para pejuang corona di Indonesia.
Namun tetap saja, masyarakat telanjur kecewa dan menilai pemerintah telah ketinggalan langkah, sementara virus corona sudah menyebar kemana-mana. Apalagi program rapid test massal yang akhirnya dicanangkan pun, hanya dibatasi untuk daerah paling rawan. Sementara tes mandiri yang dianjurkan, nyatanya berbiaya mahal.
Di luar itu, pemerintah pun terkesan asal jalan. Alih-alih menggunakan uang negara yang terbatas untuk membeli APD dan kebutuhan dasar yang dibutuhkan para nakes seperti masker dan sanitizer, pemerintah malah membeli jutaan obat yang jenisnya justru sempat ditolak Korea Selatan. Bahkan kemanjurannya justru jadi perdebatan.
Tapi jika dipikir-pikir, jangankan untuk menghadapi wabah corona. Sejak pemerintah menerapkan skema penjaminan, layanan kesehatan untuk rakyat pun memang sudah benar-benar ala kadarnya.
Bahkan kesehatan di negeri ini sudah lama menjadi bagian sektor industri yang diperjualbelikan. Hingga rakyat kebanyakan sulit mendapat akses layanan yang layak kecuali harus membayar dengan mahal.
Menelisik apa yang terjadi, tampak bahwa sikap penguasa yang sedemikian memang terkait dengan paradigma kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang diterapkan. Bagi negara pengekor seperti Indonesia, mengambil keputusan itu pasti sulit luar biasa.
Bukan rahasia jika negeri ini sudah lama sangat bergantung pada dunia luar utamanya Cina dan Amerika. Maka jika menyangkut kepentingan keduanya, Indonesia seolah tak punya pilihan apa-apa. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang makin jeblok. Tepatnya dibuat jeblok.
Untuk memutuskan lock down saja, galaunya luar biasa, serba dilema. Hari ini, banyak rakyat yang marah, karena dalam situasi gawat seperti ini pemerintah masih melegalkan puluhan tenaga kerja asal Cina –wilayah sumber wabah corona– masuk ke Indonesia.
Semua ini adalah dampak sistem hidup yang diterapkan penguasa. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya yang terbukti telah sukses menjatuhkan Indonesia pada multi krisis. Sehingga anugerah kelebihan yang Allah beri, mulai dari SDM, SDA, posisi geopolitik dan geostrategis, tak berhasil membuat negeri ini kuat dan berdaya. Malah jadi sasaran empuk penjajahan.
Posisi rakyat di negeri ini pun mirisnya luar biasa. Bak tikus mati di lumbung padi. Jauh dari kata sejahtera. Kesehatan, pendidikan, keamanan, semua serba mahal. Rakyat bahkan harus membeli haknya kepada penguasa atau pada pengusaha yang dibeking dan membekingi penguasa.
Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat.
Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan.
Inilah realitas sistem khilafah yang pernah mewujud belasan abad lamanya. Sistem yang tegak di atas landasan keimanan sangat berbeda jauh dengan sistem yang tegak di atas landasan kemanfaatan segelintir orang.
Sistem Islam, betul-betul menempatkan amanah kepemimpinan selaras dengan misi penciptaan manusia dan alam semesta. Yakni, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, tanpa batas imajiner bernama negara bangsa.
Dan misi ini terefleksi dalam semua aturan hidup yang diterapkan, termasuk sistem ekonomi yang kukuh dan menyejahterakan.
Sistem ekonomi Islam akan membuat negara punya otoritas terhadap berbagai sumber kekayaan untuk mengurus dan membahagiakan rakyatnya. Di antaranya menerapkan ketetapan Allah swt bahwa kekayaan alam yang melimpah adalah milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada umat.
Bayangkan jika seluruh kekayaan alam yang ada di negeri ini dan negeri Islam lainnya diatur dengan syariat, maka umat Islam akan menjadi negara yang kuat, mandiri dan memiliki ketahanan secara politik dan ekonomi. Bukan seperti sekarang, negara malah memberikannya kepada asing.
Dengan demikian, negara akan dengan mudah mewujudkan layanan kebutuhan dasar baik yang bersifat individual dan publik bagi rakyatnya, secara swadaya tanpa bergantung sedikitpun pada negara lain. Bahkan negara lainlah yang bergantung kepada negara khilafah.
Sehingga saat negara dilanda wabah penyakit, sudah terbayang negara akan mampu mengatasinya dengan kebijakan tepat dan komprehensif. Lock down akan mudah diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tanpa khawatir penolakan, tanpa halangan egoisme kelokalan dan tanpa khawatir kekurangan banyak hal.
Rakyat pun akan taat karena paham kepentingan dan merasa tenteram karena semua kebutuhannya ada dalam jaminan negara. Sementara tenaga medis akan bekerja dengan tenang karena didukung segala fasilitas yang dibutuhkan dan insentif yang sepadan dengan pengorbanan yang diberikan.
Bahkan riset pun memungkinkan dengan cepat dilakukan. Hingga ditemukan obat yang tepat dan wabah pun dalam waktu cepat bisa ditaklukkan.
Inilah yang pernah terjadi di masa saat sistem Khilafah ditegakkan. Beberapa wabah yang terjadi bisa diatasi karena adanya peran aktif dan serius dari negara, sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan-arahannya.
Sehingga Khilafah yang kekuasaannya menganut prinsip sentralisasi menjadi sebuah otoritas yang terbukti kredibel sekaligus kapabel untuk menyelesaikan semua persoalan. Hingga umat Islam pun mampu keluar dari berbagai ujian yang menimpanya dengan penanganan yang cepat dan tepat.
Wajar jika saat itu Khilafah selalu menjadi tumpuan negara-negara lain. Sekaligus mampu tampil sebagai teladan dan menjadi pemimpin peradaban yang menebar kebaikan.
Termasuk ketika mereka menghadapi bencana seperti yang menimpa Irlandia. Saat itu, Khilafah memberi bantuan yang memberi kesan abadi pada rakyat Irlandia, hingga simbol Khilafah mereka sertakan dalam benderanya.
Dengan demikian, amat jauh berbeda antara sistem sekuler yang sekarang diterapkan dengan sistem Khilafah ajaran Islam. Wajar jika hari ini, makin banyak orang yang merindukannya.
_____
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar