Membuka Kedok Ide KG sebagai Proyek Melanggengkan Hegemoni Kapitalisme
Oleh: Siti Nafidah Anshory (Penulis dan Peminat Masalah Perempuan)
(Retrospeksi Hari Perempuan Internasional 2020 Bertajuk “Saya Generasi Setara: Menyadari Hak Perempuan”)
Tak banyak yang tahu bahwa 8 Maret lalu adalah Hari Perempuan Internasional. Para aktivis perempuan sering menggunakan momentum ini untuk mengevaluasi dan menguatkan komitmen perjuangan melawan ketidakadilan berbasis gender yang dinilai belum berbuah keberhasilan.
Tak dinafikan, kondisi kaum perempuan yang jumlahnya lebih dari setengah populasi dunia ini memang masih belum sejahtera. Berbagai persoalan terus membelit kehidupan mereka hingga membuat kondisi mereka terpuruk dan jauh dari kemuliaan.
Kemiskinan, beban ganda, kekerasan, stereotip, diskriminasi, dan marginalisasi kerap dihadapi kaum perempuan. Begitu pun dengan kapitalisasi dan eksploitasi, menjadi hal yang juga lekat dengan kehidupan sebagian perempuan.
Hanya saja kalangan feminis tetap bersikukuh dengan teori bahwa biang keladi persoalan ini adalah akibat disparitas atau ketimpangan gender yang dikonstruksi oleh budaya dan agama. Karena itu mereka gencar menawarkan gagasan perubahan budaya dan agama demi mewujudkan Kesetaraan Gender (KG) sebagai solusi masalah mereka.
Dengan gagasan ini, kaum perempuan didoktrin untuk berpikir bahwa budaya dan agamalah yang bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Dan karenanya mereka harus membebaskan diri dari kungkungan keduanya dan mengalihkan loyalitas pada sekularisme yang mengharamkan keterlibatan agama dalam mengatur kehidupan. Sekaligus menuntut kebebasan (hak) untuk melakukan dan meraih apa saja tanpa harus terhalang batasan-batasan syariat.
Lantas, atas nama pemberdayaan politik dan ekonomi, kaum perempuan pun didorong membuka lebar-lebar dinding sekat rumah mereka yang mereka pandang hanya menjadi penghalang kemajuan.
Harga diri mereka merasa lebih terangkat ketika bisa lebih banyak berkiprah di ranah publik dan bisa menghasilkan materi sebanyak mungkin. Sebaliknya, kebanggaan sebagai ibu sedikit demi sedikit terhapus sejalan dengan kian jauhnya mereka dari cara pandang dan sistem hidup yang dipenuhi nilai-nilai Ilahiah.
Ironisnya, tak sedikit muslimah yang tergiur dengan gagasan KG yang sejatinya hanya racun berbalut madu ini. Terlebih gagasan ini telah diangkat sebagai isu global dan diaruskan penerapannya di level negara melalui berbagai konferensi Internasional atas inisiatif badan dunia PBB.
Nyaris setiap hasil konferensi, baik berupa konvensi, kesepakatan, atau rekomendasi hingga platform program aksi menjadi aturan mengikat bagi negara-negara anggota untuk mengimplementasikannya di level kebijakan masing-masing negara.
Bahkan, poin-poin DUHAM dan poin-poin konvensi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW) menjadi semacam ‘kitab suci’ baik bagi kalangan feminis maupun pemerintahan negara anggota dalam penyusunan undang-undang hingga hari ini.
Begitu pun dengan hasil Konferensi Wanita di Beijing (1995), yang melahirkan Beijing Platform for Action(BPFA) berisi komitmen negara-negara peserta untuk bersama-sama melakukan upaya memperbaiki nasib perempuan terkait 12 bidang kritis, serta hasil KTT Millennium di New York City (tahun 2000) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015, yang kemudian dikenal dengan istilah Millennial’s Development Goals dan beberapa tahun kemudian diperpanjang menjadi Sustainable Development Goals. Semuanya menjadi panduan langkah kebijakan bagi semua negara-negara anggota.
Dalam hal ini, kaum perempuan bukan hanya diposisikan sebagai objek pembangunan saja, melainkan diajak menjadi subjek dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pembangunan di seluruh dunia. Target mereka, menciptakan dunia berkesetaraan sempurna di tahun 2030, yang mereka sebut sebagai Planet 50:50.
Kapitalisme Justru Penyebab Perempuan tak Sejahtera dan Terhina
Jika mau jujur berpikir, apa yang disebut sebagai persoalan perempuan sebenarnya adalah persoalan kita semua, masyarakat dunia secara keseluruhan. Bukan hanya masalah perempuan.
Kemiskinan misalnya. Tahun 2018 saja, angka kemiskinan ekstrem di tingkat dunia masih mencapai 736 juta jiwa (9%). Sementara di Indonesia jumlah penduduk miskin masih sekitar 9,22%. Dan itu yang tercatat, dengan standar BPS yang sangat rendah, yakni Rp440.538/kap/bln.
Di saat yang sama, jumlah orang yang kelaparan di tahun 2018 ada 821 juta (versi PBB). Dan balita pengidap gizi buruk di level dunia mendekati angka 700 juta (2019). Di sana ada laki-laki dan perempuan.
Sejalan dengan kemiskinan, berbagai ketimpangan, baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berdampak pada merebaknya praktik diskriminasi, marginalisasi dan kekerasan juga terjadi di mana-mana. Dan korbannya ternyata bukan hanya kaum perempuan, tapi juga laki-laki.
Realitas ini merupakan hal yang wajar jika dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme. Sistem yang tegak di atas asas sekularisme-liberalisme ini memang memiliki watak imperialistik dan eksploitatif. Dan ini tercermin dalam berbagai aturan hidup bebas yang dilahirkannya.
Di bidang politik, kapitalisme menciptakan situasi di mana negara minimalis perannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Di bidang sosial dan budaya, kemanfaatan dan kebebasan menjadi “agama yang dipuja”.
Di bidang ekonomi, lahir perilaku eksploitatif dan zalim yang melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan di berbagai level.
Semua ini tentu bertolak belakang dengan target berbagai perjanjian internasional maupun deklarasi pengentasan masalah perempuan dengan ide gender dan peningkatan status perempuan yang terus digembar-gemborkan negara-negara adidaya melalui badan dunia PBB.
Rupanya negara-negara penjajah ini telah gagal menutupi topengnya sebagai pahlawan bagi kaum perempuan. Karena faktanya, merekalah penanggung jawab semua karut-marut yang dialami kaum perempuan bahkan umat manusia secara keseluruhan.
Misal dengan kebijakan pasar bebas yang digembar gemborkan dan menjadi alat penjajahan di dunia ketiga hingga mereka berhasil membuat kekayaan 1% penduduk terkaya menguasai 82% kekayaan dunia (2018).
Tapi ironisnya negara-negara inilah yang justru menjadi penggagas dan motor program-program PBB terkait perempuan dan upaya pengentasan kemiskinan dunia ala MDGs/SDGs.
Begitu pun, jebakan krisis ekonomi yang ‘dikelola’ AS dan resep debt swap/jebakan utang yang mematikan ala IMF juga telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar.
Sementara di saat yang sama, sumber-sumber alam dan berbagai aset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat “resep” IMF yang mewajibkan “pasiennya” melakukan program-program antirakyat, semacam privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi, dan liberalisasi.
Ironisnya, pendonor lembaga rentenir IMF juga adalah negara-negara kapitalis yang menggagas dan menjadi motor program-program PBB semacam MDGs dan pengarusutamaan ide KG, termasuk di Indonesia.
Membongkar KG sebagai Proyek Melanggengkan Kapitalisme
Atas realitas bahwa sistem kapitalistik dan neoliberal ini disetir dan dijalankan secara global oleh pemerintah negara-negara adidaya dengan menggunakan alat lembaga-lembaga internasional semacam PBB dan diinisiasi bahkan didanai oleh lembaga-lembaga finansial global semacam World Bank, IMF, ADB, USAID, wajar jika muncul kecurigaan bahwa berbagai perjanjian, deklarasi dan program aksi itu sejatinya hanyalah “mantel ideologi bagi kepentingan neoliberalisme”.
Pengarusutamaan KG misalnya, ditengarai mejadi alat penghancuran masyarakat Islam yang –diakui atau tidak—masih potensial menjadi tantangan bagi langgengnya hegemoni Barat di masa depan.
Sedangkan proyek MDGs/SDGs dan BPFA ditengarai hanya menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggungjawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia sekaligus menjadi alat untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut “keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium” dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini.
Sebagai ideologi, kapitalisme tentu berkepentingan menjaga eksistensi hegemoninya atas dunia. Itulah kenapa, negara penganut kapitalisme semacam Amerika dan negara adidaya lainnya menerapkan strategi politik luar negeri yang bersifat agresif dan imperialistik.
Pasalnya, pascaruntuhnya kekuatan ideologi sosialisme di tahun 90-an, Islam –sekalipun belum diusung oleh negara– menjadi satu-satunya penghalang atas obsesi mereka. Itulah kenapa mereka terus berupaya menghalangi kebangkitan Islam dalam wujud institusi negara dengan berbagai cara, termasuk penjajahan lewat perempuan.
Secara fakta, banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis kapitalis telah secara sengaja ‘memanfaatkan’ kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka menghancurkan Islam melalui penghancuran institusi masyarakat Islam.
Mereka sadar betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan, karena perempuan merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Di sisi lain, mereka pun melihat bahwa upaya menjauhkan umat dari ideologi Islam masih belum berhasil sepenuhnya.
Selama ini, mereka memang telah berhasil menjauhkan umat dari aturan-aturan Islam menyangkut masalah politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan lain-lain.
Akan tetapi masih ada sisa-sisa pemikiran Islam yang hingga kini tetap dikukuhi masyarakat, tetapi dianggap mengandung potensi bahaya bagi hegemoni mereka di masa depan. Yakni hukum-hukum yang menyangkut keluarga, yang pada saat ini menjadi satu-satunya benteng terakhir pertahanan umat Islam setelah benteng utamanya, yakni Daulah Khilafah Islam dihancurleburkan.
Dalam kerangka penghancuran keluarga muslim inilah perempuan muslim dimanfaatkan. Dimana seperti dahulu mereka menghancurkan Daulah Khilafah Islam, mereka pun menggunakan upaya peracunan pemikiran untuk menanamkan akidah sekuler di benak-benak perempuan muslim sebagai strategi utamanya (seperti ide kebebasan, HAM, dll).
Targetnya adalah ’membebaskan’ mereka dari ’kungkungan’ peran-peran keibuan, atau setidaknya menghilangkan aspek strategis-politis peran keibuan, dengan cara menggambarkan peran tersebut sebagai peran tidak penting, menjijikkan, dan merupakan simbol ketertindasan yang layak disingkirkan.
Dalam konteks keluarga, target mereka adalah merobohkan pola interaksi islami yang ada di dalamnya, sehingga keluarga tidak bisa lagi berfungsi sebagai pemelihara ikatan akidah umat sekaligus camp ideal bagi berlangsungnya pendidikan generasi. Hingga akhirnya harapan bangkitnya kembali peradaban Islam yang gemilang di masa depan bisa dihapuskan.
Adapun cara yang mereka tempuh adalah dengan memanfaatkan banyaknya kenyataan buruk yang menimpa perempuan (muslim) hari ini, seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya sebagai alat untuk masuk ke jantung perhatian umat.
Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka jual paket ‘kemajuan perempuan Barat’ dengan ide KG-nya yang rusak dan asumtif itu untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, sekaligus pada saat yang sama melakukan berbagai ’uji kritis’ terhadap aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, nafkah, dan sebagainya.
Tak lupa pula mereka tawarkan paket-paket tambahan berupa ‘program bantuan’, berikut kucuran dana yang sangat besar untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga itu (baca : dunia Islam) dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia semacam PBB sebagai event organizer-nya, serta forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka.
Selanjutnya, atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan, dan program-program ’bermadu’ lainnya, mereka suntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jati dirinya sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi.
Sehingga kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Barat pun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan.
‘Prestasi’ ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran ‘agen misi’ dari kalangan gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim yang berjejaring dengan berbagai LSM komprador lain, yang sengaja disponsori foundationkapitalis untuk ‘berjuang’ pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdescyang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdesc feministik dan liberalistis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam!
Itulah kenapa, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis yang tergabung dalam LSM-LSM tadi –-baik secara lembaga, maupun melalui individu-individu yang mereka blow-up ketokohannya– sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atas nama pembebasan perempuan, yang hakikatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam.
Di samping itu, mereka pun intens melakukan mainstreaming (pengarusutamaan) opini feministik dan liberalis ini di semua lini hingga ke level bawah, termasuk melalui kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai kebijakan publik seperti Undang-Undang berperspektif gender dan anti syariat.
Targetnya, untuk kian menguatkan opini bahwa ide KG adalah solusi, sementara Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan, atau dipeti-eskan.
Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, disahkannya UU Kewarganegaraan dan UU Perlindungan Anak yang memuat materi kontradiktif dengan syariat, hadirnya RUU P-KS dan RUU berbau ide gender lainnya, merupakan bukti ‘keberhasilan’ upaya mereka meraih target ini.
Hanya saja, jika dicermati serangan imperialis kapitalis ini sebenarnya tidak hanya memiliki satu target. Selain target politis-ideologis berupa pencegahan tampilnya kekuatan Islam ideologi, serangan AS ini juga memiliki target ekonomi sebagaimana watak aslinya sebagai negara pengemban kapitalisme.
Dalam hal ini kaum perempuan muslim yang telah –dimiskinkan lahir batin– sengaja dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi kapitalisme global, di mana dengan peracunan pemikiran tadi plus melalui serangan budaya yang dilancarkan secara intens lewat berbagai media milik mereka, kaum muslimah digiring untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme.
Dengan cara ini pula, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketingproduk-produk mereka, di mana perempuan-perempuan muslimah menjadi sasarannya.
Sayangnya, sebagian muslimah pun terjebak dalam kebahagiaan dan kesejahteraan semu yang disuguhkan kapitalisme, yang sejatinya dibuat untuk menutup penderitaan dan kemiskinan hakiki yang diciptakannya.
Kaum Perempuan dan Umat Islam Seharusnya Bisa Mulia dan Sejahtera
Sebagai umat pinilih, tak semestinya umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia menjadi umat yang miskin, terjajah, dan hidup jauh dari kesejahteraan.
Umat Islam memiliki potensi ideologis, yakni ajaran Islam yang sempurna dan siap menjawab tantangan zaman. Umat Islam pun memiliki modal kekayaan alam dan sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan kesejahteraan.
Sayangnya, amanah Allah ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Mereka justru tunduk pada kemauan asing dan berselingkuh dengan para kapitalis hingga membuat negara tergadai dan rakyatnya jatuh miskin.
Oleh karena itu, mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Bukan hanya kaum perempuan yang akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme, tapi umat secara keseluruhan.
Kaum perempuan bahkan akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa Rabbatul Bait, ibu dan pengatur rumah tangga, penyangga kemuliaan generasi umat, dan arsitek peradaban Islam di masa depan.
Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kafah dalam wadah Khilafah Islamiyah.
Aturan-aturan Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia secara adil dan menyeluruh, termasuk masalah kemiskinan berikut dampak turunannya.
Dalam sistem ini, para penguasa dan rakyat akan saling menjaga dan mengukuhkan dalam melaksanakan ketaatan demi meraih keridaan Allah. Tak ada pihak yang dirugikan, termasuk kaum perempuan.
______
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar