Meraih Aspirasi Rakyat Melalui Influencer, Efektifkah?
Oleh : Rifdatun Aliyah
Jakarta- Direktur Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra, mengatakan sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang kerap mengundang relawan atau pendukungnya untuk bicara keputusan politik penting menunjukkan sikapnya yang bias. Menurut dia, Jokowi terkesan tidak menghormati pimpinan-pimpinan formal, seperti staf ahli atau menteri terkait (nasional.tempo.co/24/02/2020).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengatakan anggaran Rp 72 miliar untuk influencer akan merogoh kocek APBN 2020. Pemerintah juga akan menggelontorkan Rp 103 miliar untuk promosi, Rp 25 miliar untuk kegiatan wisata, Rp 98,5 miliar untuk maskapai dan agen perjalanan (cnnindonesia.com/26/02/2020).
Dua hal diatas menunjukkan bahwa rezim lebih banyak menarik aspirasi dari kelompok pendukungnya. Tidak hanya itu, rezim juga memberikan banyak fasilitas agar program-program pemerintah bisa berjalan maksimal dengan dukungan opini dari kelompok tersebut khususnya influencer (atau orang yang memiliki pengaruh) yang telah dipilih rezim.
Ini dilakukan dengan harapan bahwa segala kebijakan rezim akan dianggap positif ditengah-tengah masyarakat. Sebab telah mendapatkan dukungan yang rupanya merupakan dukungan dari para pendukungnya. Sehingga akan meminggirkan suara kelompok yang berbeda pandangan atau kritis terhadap rezim. Hal tersebut sangat berbeda dengan pandangan Islam dalam meraih aspirasi masyarakat.
Islam memandang bahwa semua warga negara berhak memberikan pengaduan terhadap kezoliman yang dilakukan oleh negara. Bahkan seorang Muslim juga berhak mengoreksi kebijakan pemerintah jika hal tersebut bertentangan dengan syariat Islam. Adalah Asma Bin Umais seorang muslimah Madinah yang telah mengkoreksi sahabat. Umar Bin Khattab. Umar diketahui adalah salah satu muawin atau pembantu Rasulullah SAW dalam mengurusi urusan pemerintahan. Asma telah mengadukan ucapan Umar yang telah membandingkan antara Muslim Mekkah dan Madinah. Rasulullah SAW kemudian merespon keluhan Asma Bin Umais.
Umar Bin Khattab saat menjadi Kholifah di Madinah juga pernah mendapatkan kritik dari seorang Muslimah yang menentang patokan mahar yang boleh diminta bagi muslimah. Umar pun mengakui kesalahannya. Kisah ini juga tertuang dalam kitab tafsir lain meski dengan redaksi yang berbeda-beda, seperti al-Kasysyâf karya Syekh Zamakhsyari, Lubâbut Ta’wîl fî Ma‘ânit Tanzîl karya al-Khazin, dan Mafâtihul Ghaib karya ar-Razi. Namun, tak ada yang menyebutkan siapa nama perempuan asal Quraisy tersebut.
Selain warga negara berhak mengkoreksi langsung, rakyat juga dapat mengoreksi kebijakan pemerintah melalui majelis umat. Majelis umat merupakan representasi dari umat sebab majelis umat berisi para tokoh yang dipilih dan dipercaya umat menjadi penghubung antara umat dengan pemerintah. Sehingga, pemerintahan Islam sangat terbuka terhadap kritik dan saran dari warga negaranya. Semua itu telah diterapkan sejak Rasulullah SAW mendirikan Daulah Islam di Madinah dan dilanjutkan dengan kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan para Kholifah dalam pemerintahan Khilafah Islamiyah.
Posting Komentar