Perempuan Mesin Ekonomi, Ekses “Point of View” Kapitalisme
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si. (Koordinator LENTERA)
Isu tentang perempuan dan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan telah menjadi perhatian dunia dengan kecenderungan yang semakin menguat. Secara yuridis (de jure) hak-hak perempuan di bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik yang menjadi substansi dari Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women), telah diakui dunia internasional. Ini termasuk oleh Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi tersebut pada 1984 dan sekaligus berkewajiban untuk melaksanakannya.
Setelah disahkannya Konvensi CEDAW, pertemuan kaum perempuan sedunia dilanjutkan dalam Konferensi Perempuan II tahun 1980 di Kopenhagen, III di Nairobi pada tahun 1985 dan tahun 1995 yang IV di Beijing. Perjuangan kaum perempuan serta aktivis perempuan sedunia terus aktif dalam mengikuti perkembangan dunia dengan mengikuti pertemuan-pertemuan internasional, seperti Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro tahun 1992, Hak Asasi Manusia tahun 1993, Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, dan pertemuan internasional lainnya.
Setelah Konvensi CEDAW diratifikasi oleh negara-negara peserta, maka negara yang bersangkutan berkewajiban untuk melaporkan secara periodik pelaksanaan Konvensi CEDAW yang berupa National Report ke Komisi Status Wanita (Commission on the Status of Women/ CSW). Namun demikian, ternyata diskriminasi terhadap perempuan di dunia masih tetap berlangsung.
Hal tersebut dilaporkan dalam Konferensi Wanita di Beijing tahun 1995. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk mengeluarkan “Beijing Platform for Action” (BPfA), yang mengkritisi 12 area kritis yang dihadapi perempuan sedunia.
Setelah Deklarasi Beijing Platform for Action dan Plan for Action (BPfA-Rencana Aksi) tahun 1995, Komisi Status Perempuan/CSW pada tahun 2000 dalam sesi ke-23 Sidang Umum PBB melaporkan perkembangan negara-negara peserta Konvensi CEDAW.
Konvensi CEDAW diratifikasi Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1984. Hal tersebut mengikat Indonesia untuk melaksanakan perlakuan dalam rangka tidak membeda-bedakan hak-hak perempuan dan laki-laki di segala bidang kehidupan.
Hak tersebut seperti yang telah disepakati dunia internasional dimasukkan dalam Konvensi CEDAW, seperti yang disebutkan di atas, yaitu hak dalam keluarga (perkawinan), politik, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kewarganegaraan, ekonomi dan sosial, dan persamaan di muka hukum.
Hak-hak perempuan yang diakui secara de jure tidak diperlakukan secara diskriminatif oleh negara. Namun secara de facto, perlakuan diskriminatif justru masih seringkali terjadi. Ini membuktikan bahwa UU No. 7 Tahun 1984 yang telah berlaku puluhan tahun, ternyata belum dapat berbuat banyak.
Walaupun Konvensi CEDAW tidak langsung dapat diimplementasikan dan tidak diakomodasi dalam perangkat peraturan perundang-undangan tersendiri (undang-undang tentang perempuan), namun dalam setiap peraturan perundang-undangan nasional secara umum dapat dilihat doktrin para ahli hukum ketika membuat undang-undang tersebut dalam suatu Naskah Akademis.
Sejenak merefleksi ke belakang, hak-hak perempuan yang diperjuangkan sejak abad ke-18, dimulai dengan merumuskan “feminisme” oleh seorang feminis asal Inggris, Mary Wollstonecraft (1759-1799). Pada rumusan Wollstonecraft tersebut, hak perempuan dianalisis dan hak perempuan terbatas pada hukum dan adat (budaya) yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan suatu negara.
Kupasan feminisme menurut Wollstonecraft berperspektif pada kurangnya pendidikan pada perempuan, sehingga mereka tidak mampu untuk melaksanakan hak-haknya yang tertinggal dari kaum laki-laki.
Kiprah perempuan dalam keluarga pada masa itu dalam melaksanakan hak-haknya, baik sebagai individu (sebagai warga negara), sebagai ibu, sebagai istri, wajib dilaksanakan dalam bingkai sistem hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Yang tak lain adalah feminisme liberal.
Yang bereaksi terhadap feminisme liberal ini adalah feminisme Marxisme, yang menekankan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Alasan terbesarnya bukan karena tindakan individu secara sengaja tapi akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme.
Ini artinya, pelibatan kaum perempuan yang salah satunya di sektor ekonomi, alias sebagai pelaku utama ekonomi, semata-mata sebagai ekses tegaknya ideologi kapitalisme itu sendiri.
Tapi bagaimana pun, baik ideologi kapitalisme maupun induk Marxisme, yaitu ideologi sosialisme-komunisme, keduanya sama-sama belum pernah sekalipun menemukan solusi tuntas permasalahan global perempuan. Tak heran, jika pada akhirnya sejak kurang lebih 10 tahun belakangan ini, pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi fokus perhatian utama di kalangan para kepala negara dari seluruh dunia.
Tak terkecuali di Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini, fokus perhatian upaya pengentasan kemiskinan pemerintah RI juga terarah pada ekonomi perempuan. Yakni melalui program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP).
Hal ini disebut-sebut cukup beralasan. Karena perempuan dianggap lebih teliti dari kaum laki-laki. Perempuan juga lebih cakap dalam mengelola keuangan, sehingga berpotensi besar untuk bisa membantu menurunkan angka kemiskinan keluarga maupun bangsa.
Namun yang terjadi di lapangan, sungguh jauh dari impian. Iming-iming indah kapitalisme nyatanya hanya lipstick untuk menjebak kaum perempuan. Yang ada, mereka malah terperosok menjadi bumper dan mesin ekonomi kapital sekaligus menjauhkan para perempuan dari fungsi fitrahnya sebagai ibu generasi (ummu al-ajyal).
Buktinya, posisi perempuan sebagai tulang rusuk yang wajib dinafkahi, justru digeser orientasinya sehingga menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Lebih lanjut, hal ini diopinikan menuju pengentasan kemiskinan. Padahal dalam sistem kapitalisme ini, kemiskinan juga merupakan perkara yang tak kalah kompleks.
Meski demikian, konsep dan program-program PEP masih manjur untuk meneteskan air liur kaum perempuan di negeri ini. Jargonnya, perempuan yang berpenghasilan mandiri akan meningkatkan posisi tawar dirinya di tengah-tengah keluarga. Masalahnya, bagaimana pun PEP adalah program internasional milik PBB. Yang artinya, ada proyek kerja sama antara pemerintah dengan PBB. Dan tentu saja, hal ini sifatnya tidak “gratis”.
Ketika suatu program ekonomi atau pengentasan kemiskinan digulirkan, maka ada timbal balik; di mana negara pelaksana dituntut untuk melaksanakan program lain yang berbeda. Terkait PEP, maka program lain yang dituntut oleh PBB adalah pencapaian kesetaraan gender (KG). Padahal program KG ini justru menjerumuskan kaum perempuan dalam jerat liberalisme, alih-alih menjadi perempuan berkemajuan.
Indikator keberhasilan PEP harus disertai dengan keberhasilan penanaman pemikiran-pemikiran tentang KG. Tak ayal, PEP hanyalah program pemajuan semu bagi kaum perempuan. Semua itu dalam rangka makin menekan negara-negara dunia ketiga, agar makin tunduk pada negara pertama.
Di antara hal dalam PEP yang membahayakan kaum perempuan adalah ketika produktivitas mereka diukur secara materi. Perempuan yang produktif dihormati dengan sejumlah nominal. Makin produktif, makin tinggi insentif. Seorang ibu rumah tangga biasa, jelas dipandang tak produktif oleh program ini. Dianggap parasit malah.
Asal tahu saja, jika orientasi kaum perempuan yang sekaligus kaum ibu ini terpalingkan dari ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga) dan ummu al-ajyal (ibu generasi), maka tunggulah kehancuran institusi keluarga berikut generasi di dalamnya. Na’udzu billaahi.
Cara pandang seperti kapitalisme ini tentu jauh berbeda dengan cara pandang Islam. Untuk bisa mewujudkan jaminan pemenuhan kebutuhan primer kaum perempuan, Islam telah menetapkan jalur-jalurnya.
Ini berlandaskan pada hukum syariat yang telah diturunkan oleh Allah SWT, di antaranya dalam ayat-ayat berikut ini:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (TQS Thaha [20]: 132).
Di samping itu, Islam sebagai ideologi yang diemban oleh Negara Khilafah Islam, akan memberikan mekanisme tertentu sehingga jalur pemenuhan nafkah kaum perempuan dapat terjamin sempurna. Yakni agar perempuan tetap terjaga pada posisinya selaku tulang rusuk, bukan tulang punggung keluarga.
Mekanisme tersebut, pertama, mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya. Seorang perempuan ketika belum menikah terjamin nafkahnya melalui ayahnya. Setelah menikah, maka nafkah itu dijamin oleh suaminya. Dalam kondisi yang lain, nafkah seorang perempuan bisa dijamin oleh saudara laki-lakinya, atau anak laki-lakinya.
Kedua, jika seorang perempuan tidak memiliki empat jalur sebagaimana poin pertama di atas, maka nafkahnya dijamin oleh kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Ini dengan catatan, kerabat dekatnya ini memiliki kelebihan harta. Karena, orang yang disebut mampu oleh hukum syariat adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhan primer dan kebutuhan pelengkap.
Ketiga, jika seorang perempuan tidak memiliki pihak-pihak yang menanggung nafkahnya sebagaimana poin pertama dan kedua, maka kewajiban memberi nafkah itu beralih kepada negara, melalui Baitul Maal.
Maa syaa Allah, demikian lengkap Islam telah mengatur jalur nafkah kaum perempuan. Aturan ini telah berlaku sejak 14 abad yang lalu. Namun oleh sistem kehidupan sekuler, jalur nafkah ini tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Ketika ada perempuan tak bekerja, sistem sekuler menganggapnya beban ekonomi. Kapitalisme-sekuler secara arogan terus-menerus memaksa mereka untuk berpartisipasi penuh (full participation of age) dalam roda ekonomi.
Tak jarang perempuan harus menjadi tumbal bagi mesin ekonomi kapitalistik demi tetap tegaknya peradaban sekuler itu sendiri. Hingga mereka harus rela diperlakukan tak sesuai fitrah keperempuanannya semata-mata demi penghargaan beralas rupiah. Inilah ekses dari kebobrokan point of view (sudut pandang) peradaban kufur. Astaghfirullah.
Karena itu, kini saatnya merekonstruksi tegaknya sistem Khilafah. Belasan abad Khilafah terbukti memuliakan kaum perempuan dengan menempatkan mereka sesuai fitrah dan tata aturan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Perannya sebagai ummun wa robbatul bayt dan ummu al-ajyal justru dioptimalkan sepenuhnya, demi upaya revitalisasi generasi cemerlang pengisi peradaban secara simultan. Tanpa mereka harus pusing dengan masalah ekonomi dan kesulitan keuangan.
_____
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar