Rupiah Ambyar, Akankah Corona Bikin Buyar?
Oleh: Henyk Nur Widaryanti, S.Si., M.Si.
Pasar Indonesia kembali dirundung duka setelah 22 tahun lamanya. Kurs rupiah yang sebelumnya mulai diperbaiki setelah tahun 1998, kini kembali kronis hingga ke titik yang paling parah. Sejak merebaknya virus corona baru atau Covid-19 ini, nilai mata uang rupiah terus “ndlongsor“.
Melemahnya rupiah ini sempat menjadi trending topic di jagat maya Twitter. Tagar #RupiahAmbyar menjadi hiasan cuitan warganet disertai tangkapan layar berita media mainstream hingga meme dari Google untuk menguatkan tagar mereka.
Penting diketahui, untuk mengetahui kondisi realitas, kita harusnya melihat melalui pasar spot yang ditentukan oleh Bank Indonesia (BI). Di mana Bank Indonesia mematok melalui Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDoR.
Dilansir Kumparan.com, JISDoR merupakan harga spot USD atau Rupiah yang disusun berdasarkan kurs transaksi dolar AS terhadap Rupiah antarbank di pasar valuta asing Indonesia, melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah di Bank Indonesia secara real time.
Hingga hari Jumat (20/3/2020) pukul 10.06 WIB, di pasar spot, Rupiah berada di posisi Rp16.308,- per dolar AS. Melemah 0,79 persen dibandingkan penutupan kemarin pada Rp15.913,-. Sementara itu, untuk kurs referensi JISDoR, rupiah berada di level Rp6.273 per dollar AS. Melemah 3,57 persen dibandingkan sebelumnya pada Rp15.712. (Kompas.com)
Efek Melemahnya Rupiah
Lemahnya rupiah sangat dapat berdampak ke mana-mana, baik positif maupun negatif. Meski memiliki dampak positif, tetap saja dampak negatif lebih mendominasi. Sebagai contoh, bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menyebabkan pendapatan dari ekspor naik. Namun, beban pembayaran utang luar negeri justru membengkak. Apalagi subsidi energi justru bertambah dan belanja dalam dolar AS juga naik.
Bidang usaha pun terkena imbas dari melemahnya Rupiah ini, yakni harga bahan impor yang naik. Perusahaan yang menggunakan bahan baku impor dan penjual produk dalam Rupiah akan mengalami tekanan. Akhirnya, karena penjualan terlalu mahal, sedang daya beli menurun, maka perusahaan akan melakukan PHK agar tetap bisa hidup.
Harga jual elektronika, automotif, dan produk berbahan baku impor pun semakin mahal. Terbebani rugi selisih kurs dan mendapat beban pembayaran utang valas membengkak. Risiko gagal bayar meningkat.
Dengan kondisi saat ini, serangan wabah Covid-19 yang makin membesar membuat banyak masyarakat yang panik. Akhirnya mereka menukar rupiah dengan dolar demi menyelamatkan aset. Ditambah lagi investor yang selama ini menanamkan saham menarik dana mereka, yang disebabkan situasi yang tidak menentu dan kondisi yang tidak kondusif bagi investasi.
Bahkan menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, sepekan terakhir nett selldi bursa menembus Rp780 miliar. (Liputan6.com, 17/3/2020)
Bhima menambahkan pelemahan ini juga dipengaruhi imbas penurunan suku bunga The Fed. Bank sentral AS atau The Fed melakukan quantitative easing, yaitu satu kebijakan moneter untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar, sehingga mempengaruhi pasar ekonomi global juga.
Adanya wacana lock down atas antisipasi virus corona serta adanya pembatasan akses menambah daftar buruk perekonomian. Surplus perdagangan dinilai semu dan impor bahan baku pun menurun. Jika demikian, industri manufaktur pun ikut bisa saja ikut turun. Di samping itu juga bertepatan sebagian waktunya untuk membayar utang dalam bentuk dolar.
Akibat wabah corona ini, pemerintah akhirnya juga harus banyak mengimpor alat-alat dan bahan kesehatan, yang tentunya semua perbelanjaan dalam bentuk dolar. Maka, mereka lebih cenderung menjual rupiah. Akibatnya supply banyak.
Sedangkan dolar jumlahnya tetap dan diburu banyak orang. Apalagi tidak ada pemasukan dari devisa maupun ekspor secara besar-besaran. Walhasil, dengan supply dolar yang tetap dan demand dolar yang tinggi, membuat rupiah nyungsep dihajar dolar.
Pada krisis moneter 1998 yang lalu, kondisi yang sama juga terjadi. Saat itu rupiah melemah hingga kisaran Rp16.800,-. Pada saat itu pelemahan rupiah juga dikarenakan kondisi negeri ini yang tidak stabil, banyak terjadi kekacauan. Nah, jika saat ini kondisi panik terus terjadi dan penanganan wabah dinilai tidak memuaskan, bisa saja nilai rupiah terus terkapar.
Jika hal itu terjadi, dampaknya bisa ke mana-mana. Maka sebelum rakyat yang menjadi korbannya, pemerintah harus serius menyelesaikannya. Atau Covid-19 ini akan membuat kondisi semakin buyar.
______
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar