Jelmaan Doa
Oleh : Khaulah Binti Suri
Penamabda.com- Meskipun dikelilingi lisan yang tajam, meskipun diri tak kuat lagi dengan segala yang menyakitkan hati, meskipun setiap detik yang berakumulasi menjadi hari selalu didominasi kerapuhan jiwa, meskipun selalu ada alasan untuk pulang, tapi tetap saja bertahan. Sebab dia adalah penampakan dari Do'a, sebab dia yang Allah tetapkan untuk menjadi qawwam.
Teringat, dua tahun lalu saat diri gagal mengikuti aksi, dan hanya bisa menatap iri ketika salah satu stasiun tv menyiarkan langsung suasana aksi di ibu kota, para pejuang berkumpul disana, wajah-wajah dengan guratan lelah, namun senyum tetap merekah sempurna, sebab jiwa dinaungi kesyahduan akan pemandangan yang menakjubkan.
Masih dalam dekapan dengki, andai aku turut serta dalam gelombang lautan manusia itu, takbir bareng memuji kebesaran pencipta manusia, meniti jalan untuk tercapainya peradaban gemilang, namun realita tak berbanding lurus dengan harapan, aku meringkuk didepan tv pondok, air mata Menjadi saksi sunyi dalam ruangan pengurus ponpes berukuran tiga kali tiga meter ini.
Tuing..Tuing..
Gawai itu entah sudah berapa kali berbunyi, pertanda ada pesan masuk, namun aku hiraukan, aku enggan hengkang dari aktivitasku kali ini, hingga jeda iklan memaksaku untuk meraih handphone yang berada tak jauh dariku.
"Haiba, anti posisi dimana? Ini mbak berada di kerumunan peserta aksi, dideket taman Monas sebelah barat,"
"Haiba, mbak telpon berkali-kali nggak di angkat?"
"Ntar temui mbak ya, mbak tunggu di pintu keluar, ntar pulang bareng sama rombongan mbak,"
Pesan beruntun dari mbak Sindi, dan juga riwayat panggilan tak terjawab sebanyak 12 kali. Ya Allah, egoisnya aku, hanya karena gagal ikutan aksi, baper melihat tayangan aksi di TV, hingga aku tak peduli dengan orang yang begitu peduli seperti mbak Sindi ini.
Sontak aku balas pesan mbak Sindi, memberitahukan bahwa aku tidak ikut aksi, aku masih di pondok, yang kebetulan libur kerja, dan bisa mengikuti berjalannya aksi, walaupun hanya dengan netra yang memandang fokus pada layar kaca.
"Apa yang mendorong Anda untuk mengikuti aksi ini?" Tanya seorang wartawan pada salah satu peserta aksi.
"Iman yang membuat saya berambisi untuk bisa sampai disini, kebetulan saya bukan warga Jakarta, saya dari Banyuwangi, saya penjual cilok, dan saya kesini dengan dana pribadi, jadi kalo ada yang mengklaim bahwa aksi damai ini didanai oleh partai tertentu, itu nggak bener, hoax, karena mustahil ada partai yang mampu mendanai perkumpulan massa sebanyak ini, ya to?" Jawab seorang bapak yang bernama bapak Kamidi, bukan dengan nada provokasi, justru nada santun namun tetap tampak berwibawa.
"MaasyaAllah, Allahuakbar, sungguh iri ini belum habis ya Allah, bahkan bapak Kamidi yang berada jauh di ibu kota, bisa sampai disana dengan ijin Mu, ya Allah hamba Ikhlas jika kali ini hamba tidak bisa ikut serta dalam aksi, namun hamba memohon kepadamu, agar engkau memilihkan untuk hamba, salah satu dari mereka, orang yang tepat yang engkau pilih untuk menjadi jodoh hamba, dia yang mengenal Liwa Roya, dia yang mengenal jalan dakwah, dan dia, pejuang peradaban yang engkau janjikan, dan kabar gembira dari RasulMu."
Doa ku waktu itu, dengan air mata yang berhamburan keluar membasahi wajah, kini benar-benar Allah kabulkan kontan setelah setahun acara itu berlangsung, aku sangat bersyukur, aku yakin dia adalah pilihan terbaik dari Allah untukku, dia adalah jelmaan doaku, dia suamiku.
Namun, hari berlalu, prahara mulai menyapa, seorang yang kini aku panggil ibu, karena beliau adalah ibu dari suamiku, menjadi tokoh yang Allah datangkan untuk mengujiku, celaan, hinaan, berkali-kali keluar dari lisannya, background keluarga ku menjadi bahan empuk cemoohan, hati selalu ditempa dengan kata tajam, hingga tumbuh luka yang tak terhitung berapa.
Aku tersedu, hingga aku memantapkan niat untuk kabur meninggalkan rumah, namun sebelum itu entah kenapa, aku ingin berbagi kepada mbak Sindi, aku kisah kan seluruhnya, hingga pada akhirnya, mbak Sindi membuatku tenang, dengan nasehat-nasehat nya aku dibuat takluk, dua kalimat dari mbak Sindi yang membuatku menyesal karena telah berniat meninggalkan suamiku.
"Suamimu jelmaan doamu loh dik, itu artinya kamu yang meminta dia lewat Allah, masa iya kamu mau ninggalin apa yang sudah kamu minta? Ntar siapa yang dosa? Suamimu nggak salah apa-apa, boleh kabur tapi ijin suami dulu ya" canda mbak Sindi waktu itu, dan nasehat berikutnya yang semakin sejuk tiap aku baca pesan mbak Sindi yang sengaja aku lock agar bisa aku baca kembali saat lagi down.
"Prahara rumah tangga itu sangat berharga, nggak seru kalau nggak ada prahara, bahtera rumah tangga bisa berlayar kalo ada angin dan ombak, hingga mengantarkan pada dermaga, asal tau arah, tetap berpegang pada aturan Allah, maka ujian setiap prahara akan menjadi cerita unik untuk diceritakan di dermaga, Jannah."
Ku lirik suami yang tengah bersiap untuk pergi memenuhi panggilan dakwah, Terima kasih ya Allah, telah membuatku berada dalam kepemimpinan Nya.
"Ehem, iya iya kalo aku ganteng, jangan ngelirik terus, ntar jatuh hati loh" sontak aku palingkan wajah dari suami, menyembunyikan rona malu karena ketahuan ngelirik doi, hingga tawa tak bisa ku tahan lagi, kenapa harus malu, dia kan sudah halal untuk ku pandang, kenapa harus ngelirik, bodohnya aku.
"Emang hati bisa jatuh? Lagian kalau aku yang ngelirik kan sah-sah saja to?" Kalimat apa ini, terdengar sinis sekali, kok aku jadi grogi begini.
"Ya udah, makan yang banyak, biar janinnya sehat, mau nitip apa? Jangan yang aneh-aneh, ntar kalo keliru aku sendiri yang kenyang" aku hanya menggeleng tanda nggak nitip apa-apa.
Teringat kemarin, nitip minuman rasa jambu, malah dibelikan rasa apel, mana rasanya tertolak diperut bumil lagi, kan lucu.
"Baik, aku berangkat ya, Assalamu'alaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Posting Komentar