KRISIS MANAJEMEN DAN MANAJEMEN KRISIS
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Tulisan Syaikh Yasin bin ‘Ali, dengan judul “Corona: Krisis Manajemen dan Manajemen Krisis” menyentak saya. Tulisan ini menarik untuk dikupas, dan dirinci, mengingat isinya yang begitu penting. Tidak saja bagi para pemegang kekuasaan, tetapi juga bagi rakyat, dan para pengemban dakwah. Karena, tidak ada seorang pun yang tidak menghadapi masalah, bahkan krisis, khususnya di tengah situasi seperti saat ini.
Karena itu, melandingkan pemikiran yang dituangkan dalam tulisan Syaikh Yasin bin ‘Ali itu menjadi sangat penting dan mendesak.
Manajemen dan Kepemimpinan
Saya gunakan istilah “manajemen”, untuk menerjemahkan kata, “idarah”. Dari lafadz, “Adâra-Yudîru-Idârat[an].”, yang berarti memenej sesuatu. Dalam teori manajemen, yang disebut manajemen itu empat: perencanaan [planing], pengorganisasian [organizing], pelaksanaan [actuating] dan pengontrolan [controling]. Ini merupakan konsep umum tentang manajemen. Apapun manajemennya. Pada masing-masing bagian ada potensi masalah, yang harus diselesaikan.
Dalam konteks ini, saya akan perkenalkan konsep yang dijelaskan oleh al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, dalam buku terakhirnya, at-Tafkir, tentang berfikir tentang tujuan [ghayah], cara [uslub], perencanaan [khutthah], media dan alat [wasilah], serta berfikir serius [jiddiyyah].
Selain itu, beliau juga memperkenalkan tiga jenis kepemimpinan. Kepemimpinan cerdas [qiyadah dzakiyah], kepemimpinan kreatif [qiyadah mubdi’ah], dan kepemimpinan inspiratif [qiyadah mulhimah]. Tidak ada kepemimpinan di luar itu. Karena tidak memenuhi kriteria, yang melayakkannya sebagai pemimpin.
Baik, kita akan mulai dari tulisan Syaikh Yasin bin ‘Ali, yang menyatakan, “Banyak orang yang salah asumsi, bahwa manajemen adalah tinjauan terhadap dasar-dasar penyelesaian masalah, dan penjasan tentang pokok solusi berbagai masalah, serta hukum syara' yang berkaitan dengan perkara-perkara yang bersifat global.. Memang benar, semuanya itu sudah jelas bagi siapapun yang melihat, yang bisa memahaminya. Semua orang bisa meresponnya dengan baik, tanpa melihat pemikiran, kedalaman, pemahaman, dan kesadarannya..” Masalahnya, apakah cukup dengan semuanya itu kemudian manajemen masalah itu benar-benar riil, dan bisa menyelesaikan masalah? Jelas tidak.
Karena, manajemen tidak cukup hanya di situ. Sebab, manajemen itu adalah pandangan terhadap masalah parsial, dan mengaplikasikan solusi yang mendesak, atau yang dibutuhkan, terhadap berbagai masalah detail dan baru, dan mengandung berbagai persoalan manusia dalam
perkara-perkara biasa, disertai dengan prediksi, kesiapan melangkah, dan mempersiapkan berbagai alternatif solusi, jika dibutuhkan.
Sekedar contoh. Berfatwa pada saat ini bisa dikatakan mudah. Karena itu, banyak orang yang mempunyai ilmu, baik banyak maupun sedikit, bisa mengeluarkan fatwa. Bahkan, kadang sekedar mencomot dari kitab-kitab ulama’ terdahulu. Namun, masalahnya, bagaimana mengimplementasikan fatwa tersebut dalam konteks yang berbeda? Antara konteks zaman dimana fatwa itu dinyatakan oleh para ulama’ di masa lalu, dan konteks zaman di mana fatwa itu kini hendak diterapkan.
Nah, menerapkan fatwa dengan berbagai rinciannya pada realitas yang ada saat ini tidaklah mudah. Sebab, menerapkan fatwa tidak hanya melihat hal-hal yang bersifat global, namun harus menyentuh hal-hal yang bersifat rinci dan detil, serta dapat menyelesaikan berbagai masalah yang terkait, dan hal-hal derivatif lainnya. Inilah yang saya alami, ketika pandemi virus Covid-19 ini merebak. Khususnya terkait dengan hukum shalat berjamaah di masjid saat pandemi, baik ketika sebelum keluar fatwa Syaikh al-Azhar, MUI, dan beberapa ulama’ yang lain. Terlebih, ketika fatwanya berbeda-beda. Bahkan, ketika soal-jawab yang dikeluarkan oleh Syaikh ‘Atha’ keluar pun masih menyisakan pertanyaan.
Karena itu, dalam hal ini, ada dua masalah yang harus didudukkan. Pertama, masalah hukum syara’, yang bersifat fiks, varian dan derivasinya. Kedua, masalah manajemen, dan implementasi hukum terhadap fakta di lapangan.
Misalnya, mengaitkan larangan shalat jamaah di masjid untuk mencegah terjadinya penyebaran virus Covid-19 sebagai tindakan mencegah kemudaratan, adalah fatwa hukum, yang mudah saja disampaikan. Hanya saja, yang paling susah, adalah ketika memenej fatwa dan menurunkan fatwa hukum dalam konteks kasus di lapangan dengan detail, mendalam serta mencari solusi, mulai dari yang mungkin hingga yang tidak mungkin, kemudian mengikat semua detailing fakta tersebut dengan hukum asalnya, yang telah digali dari akidah Islam, ini merupakan masalah detailing, yang sangat sedikit orang bisa melihat dan menyatakan solusi untuknya.
Begitu juga, ide melarang orang keluar rumah dan memaksa mereka melakukan isolasi mandiri, dengan alasan mencegah mudarat dan bahaya, adalah ide yang secara prinsip tidak ada masalah. Tetapi, masalahnya, adalah bagaimana menurunkan ide tersebut dalam konteks negeri dan rakyatnya? Nah, di sini banyak problem yang rumit, yang membutuhkan manajemen dan penangangan yang cermat, tepat dan akurat.
Dalam konteks ini, seseorang tidak cukup hanya menjelaskan hukum syara’ terkait dengan individu, tetapi harus menjelaskan hukum syara’ yang terkait dengan politik [kebijakan] dan negara, dimana ketersediaan dan ketercukupan kebutuhan dasar manusia harus terjamin, termasuk apa saja yang wajib disediakan selama masa karantina. Tentu disertai peringanan beban biaya listrik, air, dan lain-lain.
Dibutuhkan Fuqaha’ sekaligus Politikus
Karena itu, orang faqih (menguasai fikih), sehebat apapun ilmu dan hapalannya, dia tidak akan mampu memenej orang. Sebab, persepektifnya dibatasi dengan sudut pandang yang bersifat global, dan teoritis keilmuan. Dia tidak bisa menjangkau hal-hal detail keilmuan, dan tidak terbiasa memikirkan hal-hal seperti itu.
Dengan kata lain, orang yang ahli fikih tadi tidak memahami bagaimama cara mengatur urusan rakyat. Karena itu, yang bisa memahaminya dan mampu melakukannya hanya seorang ahli fikih yang politikus, atau seorang politikus yang faqih. Karena itu, al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menempatkan berfikir politik itu pada level tertinggi, di atas level berfikir fuqaha’.
Dalam situasi krisis, atau menghadapi masalah, menjadi politikus, yang berusaha untuk mengurus urusan umat, saja tidak cukup. Karena, dia harus mengurus urusan umat ini dengan hukum Islam. Nah, di sini dibutuhkan kekayaan intelektual yang luar biasa. Mulai dari penguasaan fikih, hingga mendetail, sampai berfikir tentang tujuan [ghayah], cara [uslub], perencanaan [khutthah], media dan alat [wasilah], serta berfikir serius [jiddiyyah]. Jika tidak, maka pasti dia akan gagal mengurus urusan umat.
Contoh lain, dokter. Betapapun kepakaran dan ketulusannya, dia tidak layak memenej krisis. Karena dia mempunyai mindset sebagai spesialis, dimana dia akan dipaksa melakukan berbagai tindakan sesuai dengan spesialisasinya. Dengan tidak menjadikan masalah-masalah masyarakat yang lain, seperti ekonomi, sosial, dan sebagainya sebagai pertimbangan. Dari sini, bisa dikatakan, bahwa dokter, di saat pandemi Covid-19 ini merupakan salah satu unsur pemegang peranan penting dalam menentukan tindakan terhadap wabah. Namun, dia bukan satu-satunya pihak penentu kebijakan.
Sama halnya dengan polisi dan tentara. Polisi dan tentara, dalam konteks ini, tak ubahnya seperti dokter. Dia mempunyai mindset yang dibentuk oleh disiplin kepolisian dan ketentaraannya. Pertimbangannya bisa digunakan, tetapi tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya pertimbangan. Jika tidak, maka krisis yang terjadi bukannya selesai, malah semakin komplek.
Berbeda dengan seorang politikus sejati, yang benar-benar melakukan pelayanan, penjagaan, dan pengurusan, serta benar-benar terjun dan merasakan suka dan duka rakyat, maka dialah yang paling layak memanej krisis. Tentu dengan catatan, ketika dia terikat dengan akidah Islam yang memancarkan sistem, pedoman, dan nilai. Juga dengan syarat, dia harus memiliki kesiapan untuk menghadapi krisis dengan pemikiran yang inovatif, memiliki kecerdasan spontanitas, dan mau berdikusi dan musyawarah dengan para ahli di bidangnya.
Tetapi, sayangnya, para politikus saat ini, terutama politikus sekular dan karbitan, nyaris tidak mempunyai semua prasyarat yang dibutuhkan di atas. Jangankan penguasaan terhadap hukum syara’, mendiagnosa masalah saja sering salah, sehingga solusinya sudah pasti salah. Bahkan, yang lebih menyedihkan, mereka hanya membebek kepada kebijakan yang dilakukan oleh orang Kafir, baik di Barat maupun Timur. Inilah yang bisa kita lihat hari ini, ketika mereka gagap menangani pandemi virus Covid-19. Tak satupun yang menunjukkan keahlian mereka sebagai politikus Muslim, yang menjadikan Islam sebagai solusi.
Dibutuhkan Pemikiran Teknis hingga Ideologis
Berfikir teknis itu, mulai dari berfikir tentang tujuan [ghayah], cara [uslub], perencanaan [khutthah], media dan alat [wasilah], sampai berfikir serius [jiddiyyah] agar semuanya bisa diwujudkan. Semuanya ini bisa dikategorikan sebagai berfikir teknis. Karena semuanya ini termasuk masalah yang mubah. Berbeda dengan berfikir ideologis, baik yang terkait dengan akidah maupun hukum syara’.
Bagi seorang pengemban dakwah dan politikus ideologis, berfikir para tataran ideologis, yaitu akidah dan hukum syara’, tidak cukup. Karena dia mempunyai kewajiban untuk membumikan ideologinya di tengah-tengah umat. Karena itu, setelah dia mempunyai mindset yang benar, baik yang terkait dengan akidah, pemikiran dan hukum, dia juga harus mempunyai kemampuan berfikir tentang tujuan [ghayah], cara [uslub], perencanaan [khutthah], media dan alat [wasilah], sampai berfikir serius [jiddiyyah]. Karena pemikiran teknis yang terakhir ini merupakan jembatan yang bisa melandingkan pemikiran ideologisnya.
Kita mulai dari berfikir tentang tujuan [ghayah]. Tujuan itu harus tergambar [mushawwar], deskriptif [muhaddad], fisibel [mumkin al-wushul], dan tahu bagaimana mewujudkannya. Misalnya, ketika kita menghadapi pandemi, maka berdasarkan informasi dari ahli medis, kita bisa mengetahui proses penyebaran virus, keganasan virus, dan bagaimana menghadapinya? Informasi ini penting untuk merumuskan tujuan, yaitu menghentikan, menyembuhkan dan mengendalikan virus sehingga tidak menganggu kehidupan ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan ketahanan.
Nah, di sini, dibutuhkan berfikir tentang teknik [uslub] dan perencanaan [khutthah]. Maka, dibuatkan rencana A, B, C, D dan seterusnya. Masing-masing disesuaikan dengan fakta dan konteks di lapangan, yang tidak boleh sama. Misalnya, apakah pendekatan Health Imunity [menjaga daya tahan tubuh] saja, bisa dipakai? Atau dibutuhkan pendekatan, Social Distancing [menjaga jarak sosial], atau Physical Distancing [menjaga jarak fisik], atau Stay at Home [tinggal di rumah], karantina hingga Lockdown. Semuanya ini masuk dalam ketegori teknik [uslub] dan perencanaan [khutthah].
Tidak sampai di situ, dibutuhkan berfikir tentang sarana dan alat [wasilah], yang tepat dan benar. Misalnya, apakah Hand Sanitizer [alat pencuci tangan yang terbuat dari alkohol] itu tepat, atau justru merusak kulit? Apakah Disinfektan itu tepat digunakan kepada manusia, ataukah justruk merusak paru-paru, dan bisa menyebabkan masalah baru? Ini semua harus dikaji, sebagai alat, yang paling efektif digunakan untuk menghadapi masalah pandemi.
Setelah semuanya itu, maka point terakhir adalah berfikir serius untuk merealisasikan rencana aksi di atas. Jika rencana A gagal, tidak boleh berhenti. Maka, rencana B bisa dieksekusi. Jika rencana B gagal, maka tidak boleh berhenti. Saat itu, recana C, D, dan seterusnya bisa dieksekusi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya, krisis ini benar-benar bisa dihadapi dan diselesaikan dengan cepat, tepat dan berhasil.
Di sinilah, para pengemban dakwah dan politikus ideologis itu dipersiapkan, dan harus terus melatih dirinya agar layak memimpin umat. Mewujudkan perubahan hakiki, dari sistem Kapitalisme yang terbukti merusak dan menyengsarakan umat ini menuju sistem Islam, yang diturunkan oleh Allah, dan terbukti berhasil membangun dan mewujudkan peradaban emas selama 14 abad di muka bumi.
Kini dunia merindukannya kembali, setelah mereka mulai familiar dengan syariat mencuci tangan, bersuci, mandi, makanan yang halal dan thayyib, berjilbab, bercadar, larangan ikhtilath [social distancing], berjabat tangan [physical distancing], sampai syariat tentang ekonomi, politik hingga tatanan dunia baru (Khilafah). Iya, pandemi Corona bukan hanya masalah kesehatan, tetapi membuka kebrobokan dan kejahatan praktik sistem Kapitalisme, serta munculnya kesadaran baru akan pentingnya Islam, dan kembalinya Islam memimpin dunia.
Posting Komentar