PEREMPUAN DALAM PUSARAN RADIKALISME
Oleh : Zahida Arrosyida
Perbincangan tentang perempuan selalu menarik untuk diangkat. Betapa tidak, di tengah-tengah gencarnya upaya seruan pembebasan perempuan agar kaum hawa beranjak dari keterpurukan, kemiskinan, kekerasan, diskriminasi dan persoalan-persoalan lain yang selama ini diklaim sebagai persoalan perempuan muncul lagi persoalan baru.
Isu radikalisme yang selama ini selalu mewarnai panggung politik di Indonesia semakin menggema dengan adanya keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme.
Dilansir dari VOA Indonesia, kasus yang melibatkan kaum perempuan cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dipandang perlu melakukan inovasi program mitigasi pencegahan dan deradikalisme agar berdampak secara komprehensif. Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh mengatakan Indonesia berpotensi "memanen" jumlah teroris perempuan. Hal ini tampak dari keterlibatan perempuan menjadi pembom bunuh diri dalam sebagian kasus terorisme. Menurutnya telah terjadi pergeseran peran, dimana sebelumnya perempuan hanya bersifat suportif yaitu mendukung suaminya yang teroris, kini dapat berperan secara aktif. (www.voaindonesia.com 18/05/2019)
Beberapa tahun terakhir ini aksi teror di Indonesia tidak hanya melibatkan laki-laki saja melainkan juga perempuan. Para perempuan ini terlibat dalam penyebaran radikalisme di media sosial dan menjadi pelaku bom bunuh diri.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang terjadi.
Nama Syahrial Alamsyah alias Abu Rara mencuat ke permukaan begitu dia berhasil menyerang Menko Polhukam Wiranto saat itu, pada 10 Oktober 2019. Aksi ini dia lakukan bersama sang istri, Fitri Andriana. Kapolsek Menes, Banten, Kompol Dariyanto bahkan terluka akibat tusukan pisau Fitri, karena berupaya melindungi Wiranto.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme juga terjadi dalam kasus ledakan bom di Sibolga, Sumatera Utara, Maret 2019 lalu. Tim Densus 88 sebelumnya menangkap Abu Hamzah dalam dugaan kasus terorisme. Dia kemudian dibawa ke rumahnya untuk penyelidikan lebih lanjut. Tidak diduga, Solimah istri Abu Hamzah justru meledakkan diri bersama anaknya yang masih berusia tiga tahun. Dalam catatan polisi, dua perempuan lain yaitu Khodijah dan Sumaya juga terkait dengan kasus tersebut. Abu Hamzah berjanji menikahi keduanya, dan menjadikan mereka pelaku bom bunuh diri.
Pada 2016, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari ditangkap polisi karena terbukti merencanakan aksi bom bunuh diri. Dian akan beraksi di depan Istana Presiden, sementara Ika berencana melakukan bom bunuh diri di Bali pada malam tahun baru 2017.
Mei 2018, terjadi kasus serangan teror sejumlah gereja di Surabaya yang melibatkan Puji Kuswati karena menuruti perintah suaminya, Dita Upriyanto. Puji dan Dita bahkan mengorbankan empat anak mereka dalam aksi tersebut.
(www.kumparan.com 13/01/2020)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan ada sekitar 6000 WNI (Warga Negara Indonesia) diidentifikasi sebagai teroris asing atau foreign terrorist fighters (FTF) dan sebanyak 187 di antaranya berada di Suriah, dari jumlah tersebut terdiri 31 laki-laki dan sisanya perempuan dan anak-anak.
Ada dugaan bahwa mereka terpapar ajaran teroris yang diberikan oleh organisasi teroris di Suriah. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada tahun 2015, dengan pemulangan warga Indonesia dari perbatasan Turki. Sekitar 45 sampai 50 persen adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan-perempuan ini berniat bergabung dengan kelompok bersenjata ISIS. Jadi memang dalam kasus-kasus radikalisme di Indonesia keterlibatan perempuan cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
(www.kumparan.com 13/01/2020)
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. Ir. Hamli, mengatakan bahwa kelompok muda dan kaum perempuan termasuk kelompok rentan yang masih mudah terpapar paham radikal terorisme.
Dilihat dari hasil penelitian ada banyak pemuda dan kaum perempuan yang kerentanannya itu cukup signifikan.
Hamli menjelaskan bahwa gejala terorisme terjadi dalam sejumlah tahapan. Pertama, gejala pemikiran radikal bermula dari intoleransi. Intoleransi, dalam penjelasannya disebutkan sebagai sifat yang tidak menolak perbedaan, tidak mau bekerjasama dengan yang berbeda.
“Yang berbeda itu dianggap oleh mereka yang intoleran itu sebagai musuh. Itu masih pemikiran di kepala. Itu adalah ‘gunung es’ yang dibawah. Nah ketika itu (pemikiran) mulai mengeras, kemudian bisa naik ‘pangkat’ jadi radikal teror,” katanya.
Setelah sifat intoleran, lanjut Hamli, tahapan selanjutnya adalah sikap anti terhadap Pancasila. Tahapan berikutnya adalah sikap anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam tahapan ini, Indonesia akan dianggap negara kafir atau thogut. Selanjutnya adalah kebiasaan mengkafir-kafirkan orang lain dengan menyebarkan paham takfiri.
(www.nu.or.id 25/02/2020)
Inilah sekelumit fakta dan pandangan beberapa tokoh negeri ini. Berdasarkan beberapa fakta tersebut mereka menyimpulkan bahwa trend keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan aksi terorisme cenderung meningkat sejak lima tahun terakhir.
Penyebab Perempuan Terpapar Radikalisme
Ketua Umum Pertiwi Indonesia Putri K Wardani yang juga merupakan pengamat militer dan intelijen berpendapat perempuan kerap direkrut dan diinvestasikan oleh pelaku radikalisme melalui pernikahan. Secara sosial perempuan dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap pasangannya.
Dikatakan Putri, perempuan tersebut kemudian mendapat doktrin bahwa ideologi Pancasila dan sistem demokrasi adalah buatan thoghut sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi agama.
Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, Direktur Nusantara Institut menganalisa rentannya perempuan Indonesia dijadikan target radikalisme karena kultur patriarki di Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat. Maka perempuan Indonesia akan lebih mudah terpapar radikalisme, terutama perempuan di perdesaan yang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah.
la menambahkan perlunya meningkatkan nilai kesetaraan dan keadilan gender, agar perempuan Indonesia dapat lebih berdaya melawan dominasi kultur patriarki.
Keadaan perempuan yang secara sosial, budaya, ekonomi dan politik terdiskriminasi, membuatnya minim akses pengetahuan dan pendidikan. Belum lagi pengaruh budaya patriarki yang mengharuskan perempuan untuk taat terhadap perintah suami, termasuk dalam aksi radikalisme-terorisme. Apalagi jika pemahaman mereka terhadap agama keliru.
Dari kondisi tersebut, perempuan dipandang lebih mudah didoktrinasi, dipengaruhi untuk terlibat dalam aksi radikalisme dan intoleransi. Perempuan juga dianggap lebih lembut dan halus dalam melakukan upaya radikalisme. Bukan saja terkait pemahaman keagamaan yang sempit dan keliru, tindakan radikalisme juga dipengaruhi apa yang dialami mereka. Misalnya; kekerasan, konflik, peperangan, kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, diskriminasi gender.
Selain itu, nilai-nilai dan tatanan kehidupan yang ada dianggap gagal mewujudkan perdamaian, kesejahteraan dan keadilan abadi. Akibatnya ideologi radikalisme dan intoleransi yang sekarang ini dikemas dalam materi lebih sistematis, bahkan mudah diakses secara online maupun offline membuat mereka mudah terpengaruh.
Menurut Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid menyatakan, perempuan yang cenderung tidak independen dalam mengambil keputusan cenderung lebih mudah menjadi radikal.
Perempuan seperti ini sangat bergantung pada keputusan yang diambil oleh suami.
Yenni menambahkan tentang survei yang dilakukan Wahid Institut memperlihatkan perempuan yang tidak independen dalam pengambilan keputusan, tergantung sama suami, lebih mudah jadi radikal.
Menurut Yenny, semakin independen seorang perempuan, khususnya terkait pengambilan keputusan atas dirinya, maka akan mudah membentengi diri dari radikalisme. Apalagi jika sang suami memiliki paham radikal.
Menurut Muhammad Najib (Pemimpin Redaksi Harakatuna) yang dikutip Kharis Hadirin (17/9/2019). Jika ditelisik lebih dalam dan berdasarkan hasil kajian ilmiah oleh beberapa peneliti, maka dapat ditemukan beberapa faktor mengapa perempuan bisa terlibat dalam gerakan radikalisme, seperti gabung dengan ISIS dan kelompok radikal lainnya.
Pertama, faktor pribadi; tidak memiliki kemampuan literasi yang baik. Perempuan itu seringkali menampakkan dirinya sebagai kelompok yang tidak memiliki literasi yang baik sehingga menjadi kelompok yang sangat rentan terpapar paham radikalis-teroris.
Kemampuan literasi yang kurang baik akan menjadikan seseorang mudah terpengaruh oleh propaganda kelompok radikal yang dibungkus rapi dalam konten yang tersebar di media sosial.
Akses media sosial yang mudah ditambah massifnya narasi dan propaganda yang diproduksi oleh kelompok radikal secara sistematis dan komprehensif, membuat perempuan-perempuan dengan kemampuan literasi keagamaan rendah gampang terpengaruh konten radikal.
Kedua, faktor suami. Pada umumnya perempuan memiliki loyalitas penuh kepada suami. Hampir bisa dipastikan bahwa jika suaminya terpapar radikalisme, maka istri akan turut terpapar juga. Aksi bom bunuh diri pasangan suami istri sebagaimana diungkap pada uraian sebelumnya adalah bukti yang sulit dibantah. Aksi ini dilakukan atas adasar loyalitas penuh terhadap suami.
Lebih jauh lagi, Umi Sumbulah dalam Perempuan dan Keluarga: Radikalisasi dan Kontra Radikalisme di Indonesia (2019) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang menjadi daya penarik bagi perempuan terlibat radikalisme.
Pertama, faktor religius berupa kuatnya doktrin bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi setiap Muslim.
Kedua, faktor ideologis berupa doktrin hijrah, jihad, syahid, Islam kaffah yang dimaknai dalam dimensi politis sebagai kewajiban untuk mewujudkan piranti dan institusi politik. ”Islam adalah agama yang kaffah dan mengatur semua kehidupan di dunia ini. Maka, tegakkanlah khilafah agar ber-Islam-mu menjadi kaffah.”
Orang yang memiliki kemampuan literasi keagamaan lemah dicekoki argumentasi seperti ini, pasti orang ini akan goyah dan menganggap bahwa Pancasila tidak Islami.
Ketiga, faktor politis berupa munculnya radikalisme sebagai respon terhadap narasi ketidakadilan yang dipertontonkan negara.
Keempat, faktor pribadi berupa provokasi dan propaganda melalui internet yang dapat mempengaruhi para perempuan muda untuk meninggalkan zona nyaman mereka untuk bergabung dengan kelompok radikal.
Perempuan yang masuk dalam lingkaran setan radikalisme dan terorisme adalah persoalan yang serius karena perempuan, selain bisa menjadi aktor gerakan radikalisasi dan aksi teroris, juga bisa mencetak kader radikal yang super militan. (www.ruangobrol.id 17/09/2019)
Lantas bagaimana cara membentengi diri agar terhindar dari pengaruh radikalisme dan intoleransi? Semua aktifis feminis hampir senada dan bersuara sama dalam hal ini. Mereka memberikan pandangan agar perempuan dan seluruh masyarakat, terus menciptakan narasi-narasi perdamaian dan ajaran Islam moderat, yang mengedepankan asas kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan toleransi, terutama melalui media sosial dan diskusi-diskusi publik. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai radikalisme, terorisme dan intoleransi. Meningkatkan akses pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, serta pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi perempuan, khususnya pada kelompok rentan, seperti perempuan miskin, perdesaan, dan sebagainya. Mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di rumah tangga, termasuk mengakhiri Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Keragaman dalam masyarakat disatukan dengan membuka dan memfasilitasi forum dialog antarkelompok perempuan maupun antaragama, dengan beragam isu yang berbeda, demi membangun perdamaian.
Pererat kerja sama dengan kelompok-kelompok perempuan maupun masyarakat yang memiliki faham moderat, menerapkan analisis gender, serta meningkatkan peran dan kepemimpinan perempuan dalam mewujudkan perdamaian. (www.ayosemarang.com)
Benarkah logika dan solusi kaum feminis yang di gadang-gadang itu? Jika perempuan berkiprah aktif dalam sektor ekonomi maka persoalan perempuan yang terlibat dalam radikalisme akan terpecahkan dengan sendirinya?
Dalam data yang dirilis oleh Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, tercatat dari tahun 2011-2016 tenaga kerja pada bidang ekonomi kreatif di Indonesia didominasi oleh perempuan. Meningkat dari tahun 2011 sebesar 52,3% menjadi 55,7% di tahun 2016. Sementara angka kerja laki-laki menurun dari 47,6% di tahun 2011 menjadi 44,3% di tahun 2016.
Dilansir dari data BPS Indonesia, pemerintah telah mengklaim angka kemiskinan di Indonesia cenderung menurun dalam 21 tahun terakhir. Pada 1998 tingkat kemiskinan mencapai 24,2% terus turun menjadi hanya satu digit pada 2019. Tercatat persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%. Angka ini menurun 0,19% terhadap Maret 2019 dan 0,44% terhadap September 2018. Persentase penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan dengan masing-masing sebesar 12,6% dan 6,56%.
Namun sesungguhnya hal ini belum merepresentatifkan kondisi real masyarakat Indonesia, karena pertumbuhan ekonomi yang diukur merupakan rata-rata dari jumlah pemasukan/pendapatan dibagi dengan jumlah penduduk. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh pesat diakibatkan oleh faktor investasi, tabungan dan atau aktifitas dunia usaha yang dilakukan konglomerat. Ukuran ini menjadi standar bagi negara maju dan berkembang. (Zulhelmi bin Mohd Hatta dalam buku "Isu-isu kontemporer ekonomi dan keuangan Islam).
Fakta berbicara justru kondisi real masyarakat menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia makin meluas. Terlihat dari masih banyaknya jumlah penerima dana berbagai bantuan untuk kalangan miskin. Antara lain penerima anggaran Program Keluarga Harapan (nama lain untuk keluarga miskin) sejumlah 10 juta keluarga di tahun 2018, penerima Bantuan Pangan Non Tunai sejumlah 2,36 juta keluarga di tahun 2018.
Meski World Bank mengatakan bahwa lebih dari 20 juta orang di Indonesia telah keluar dari garis kemiskinan, tapi World Bank juga menyatakan mereka rentan kembali miskin. Mengapa? karena keluarnya 20 juta orang dari garis kemiskinan terjadi pada saat momen mereka menerima bantuan tunai yang bersifat sementara. Sehingga terjadi peningkatan sedikit pemasukan secara temporal/tidak permanen. Kenaikan sedikit pemasukan itu bukan karena income permanennya bertambah. Sehingga rentan kembali miskin.
Ketika program pemberdayaan ekonomi perempuan dianggap mampu menyelesaikan problem kemiskinan, di sisi lain merebak dampak sosial yang diakibatkan program ini.
Jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di Indonesia cenderung meningkat dalam kurun waktu 11 tahun. Berdasarkan catatan kekerasan terhadap perempuan (CATAHU), pada 2019 kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus. Angka ini meningkat 693% dari 2008 yang hanya 54.425 kasus. (www.databoks.katadata.co.id 09/03/2020)
Di sisi lain akibat massifnya perempuan berkiprah dalam program pemberdayaan ekonomi, ternyata angka perceraian juga meningkat tajam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian di Indonesia dari 2015 hingga 2019 mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 terdapat 353.843 kasus perceraian, 2016 ada 365,654 kasus, 2017 ada 374,516 kasus, 2018 ada 419,268 kasus dan 2019 ada 479,618 kasus.
Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Mahkamah Agung Candra Boy Seroza mengatakan penyebab tingginya angka perceraian di Indonesia adalah masalah ekonomi.
(netz.id 13/2/2020)
Ternyata meskipun perempuan telah berkiprah dalam ekonomi tetaplah yang menjadi penyebab tingginya angka perceraian adalah faktor ekonomi.
Ini menunjukkan bahwa gagasan untuk upaya deradikalisasi perempuan hanyalah ide absurd yang tidak mampu menyelesaikan masalah tetapi justru menambah masalah baru.
Dan juga penyebab berbagai persoalan perempuan bukanlah perempuan tidak berdaya secara ekonomi, adanya budaya patriarki (yang dituduhkan pada agama Islam), subordinasi perempuan, dan perspektif gender lainnya. Persoalan-persoalan yang menimpa kaum muslimin seperti kemiskinan, ketertindasan, kekerasan, kejahatan seksual dan persoalan lainnya yang dianggap sebagai pemicu munculnya radikalisme kaum perempuan, sesungguhnya adalah akibat diterapkannya sistem kapitalisme saat ini. Kapitalisme memiliki andil besar menciptakan masyarakat yang egois dan eksploitatif terhadap orang banyak. Ini karena peradaban kapitalisme tegak di atas tiga sistem nilai dasar :
1) Sekularisme sebagai asas/landasan hidup
2) Pragmatisme sebagai konsep kehidupan yang berjalan karena kemanfaatan
3) Hedonisme sebagai makna kebahagiaan yakni kepuasan materi/ individu.
Tiga nilai mendasar ini berperan membentuk identitas masyarakat kapitalis yang materialistik. Perluasan kekuasaan kapitalisme di negeri-negeri muslim terutama akibat globalisasi dan ekspansi pasar, setelah mensosialisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai mendasar ini menjadi pemicu kesenjangan dan kemiskinan akibat iklim kompetisi, siapa yang kuat dialah yang menang. Nilai ini telah meletakkan Pondasi yang sangat kuat bagi terciptanya kemiskinan dan eksploitasi ekonomi. Pandangan khas ideologi ini terhadap perempuan dengan sensualitas nya juga telah mendorong kegiatan eksploitasi seksual terhadap ratusan ribu perempuan. Perempuan hanya dipandang sebagai barang dan komoditas ekonomi.
Adapun tentang radikal dan radikalisme sesungguhnya dua istilah ini memiliki perbedaan. Ada perbedaan mendasar antara keduanya. Radikal diambil dari bahasa latin yakni "radix" yang berarti akar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti; mendasar (sampai pada hal yang prinsip); sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintah); maju dalam berpikir dan bertindak.
Secara bahasa Islam adalah ajaran yang radikal. Sebab Islam terdiri atas aqidah (yang sangat mendasar) dan syariah (sebagai implementasi dari aqidah).
Adapun istilah radikal ditambah isme dibelakangnya sehingga menjadi radikalisme menurut KBBI, memiliki arti; paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrim dalam aliran politik.
Radikalisme dengan arti ini jelas bertolak belakang dengan Islam. Di dalam Alquran misalnya disebutkan La ikraaha fi ad-din (tak ada paksaan dalam memeluk Islam) QS Al-Baqarah: 256.
Dengan demikian jelas berbeda antara radikal dan radikalisme. Bisa dikatakan bahwa Islam adalah radikal, namun Islam menolak radikalisme. Mungkin ada yang mengatakan itu sikap tidak konsisten, yakni menyebut radikal namun menolak radikalisme. Sebenarnya tidak. Contoh : Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial tetapi Islam menolak sosialisme. Islam mengakui berbisnis butuh kapital (modal), tetapi Islam menolak kapitalisme. Tambahan kata "isme" itulah yang membuat arti sebuah kata berubah secara fundamental.
Namun karena gencarnya media dalam memberitakan diksi radikalisme. Istilah ini kemudian melekat pada mereka yang teguh dalam melaksanakan ajaran Islam. Mereka yang terlihat berpenampilan secara Islami seperti celana cingkrang, cadar, jilbab dan kerudung, dll akan dicap sebagai muslim yang telah terpapar radikalisme. Umat Islam yang menyerukan untuk kembali pada ajaran Islam yang Kaffah juga akan dicap sebagai muslim berpaham radikalisme.
Radikalisme adalah isu lama. Isu ini kembali dipropagandakan dan ditudingkan pada kelompok-kelompok umat Islam yang dianggap berseberangan dengan negara-negara penjajah kafir Barat, termasuk kepentingan status quo para penguasa boneka Barat di beberapa negara, termasuk di negeri ini.
Tujuannya jelas yaitu untuk menakut-nakuti masyarakat secara umum termasuk umat Islam secara khusus. Bagi masyarakat umum akan semakin tertanam di dalam pemahaman mereka bahwa radikalisme adalah sebuah tindakan kejahatan yang harus dijauhi bahkan dilawan.
Bagi umat Islam istilah ini akan menyebabkan mereka semakin menjauhi ajaran agamanya yang paripurna. Akibatnya keterikatan terhadap Islam akan semakin lemah. Propaganda radikalisme juga akan melemahkan ghirah umat Islam dalam memperjuangkan ajaran agamanya. Khususnya perjuangan penerapan Syariah Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah. Inilah tujuan utama dari propaganda radikalisme.
Mengenai kesetaraan gender yang dikaitkan dengan radikalisme perempuan, yang dipaksakan sebagai sebuah kebutuhan kaum perempuan pernyataannya hanyalah asumsi yang tidak beranjak sama sekali dari fakta kehidupan perempuan. Benarkah kaum perempuan tidak sejahtera? Benarkah kaum perempuan tertindas? Benarkah rumah tangga adalah penjara bagi kaum perempuan? Benarkah peran domestik Ibu di rumah tangga merupakan sebuah perbudakan?
Semangat yang tersurat dalam kesetaraan gender adalah upaya mengeluarkan perempuan dari habitat naturalnya yang utama, sebagai ibu dan manajer rumah tangga.
Di balik opini kesetaraan gender tersimpan bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat muslim. Pemberdayaan perempuan lebih ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan. Di bidang ekonomi perempuan didorong untuk mandiri dalam finansial. Selanjutnya perempuan yang telah mandiri secara finansial tidak perlu bergantung kepada laki-laki (suami). Kontes kemandirian perempuan juga terkait dengan tidak adanya kewajiban untuk taat kepada suami. Jika perempuan telah berperan dalam finansial keluarga maka peran domestik tidak lagi bertumpu pada kaum perempuan. Harus ada pembagian kerja dalam tugas-tugas domestik (rumah tangga), sebagaimana jasa perempuan mengambil alih peran publik (mencari nafkah untuk keluarga). Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggung jawab perempuan. Kaum laki-laki pun harus berperan dalam tanggung jawab pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga. Namun akhirnya tidak ada satupun pria maupun wanita yang mengambil peran utama dalam rumah tangga, karena keduanya bersaing keras di sektor publik.
Bagaimana dengan anak-anak? Jika laki-laki dan perempuan sama-sama tercipta dalam aktivitas publik maka mereka akan menyelesaikannya dengan menggaji pembantu. Negara pun bisa saja memberikan solusi penyelenggaraan Day care center. Pada titik ini kehancuran institusi keluarga muslim sebagai benteng pelindung terakhir bagi keluarga pasca runtuhnya institusi Khilafah, akan semakin jelas. Peran kepemimpinan yang dibebankan pada kaum laki-laki akan melemah, kaum perempuan pun menuntut untuk setara dalam hal kepemimpinan rumah tangga. Peran keibuan dan pengelola rumah tangga akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas. Sungguh konspirasi keji di balik program pemberdayaan perempuan versi kesetaraan gender ini bertujuan untuk menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi muslim berkualitas cemerlang.
Sungguh ini adalah kelanjutan dari upaya menghapuskan peradaban Islam dan mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran keluarga-keluarga muslim. Untuk mempertahankan hegemoninya. Barat yang masih dendam terhadap Islam dengan memanfaatkan berbagai isu logis yang dapat meracuni pemikiran umat Islam seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kesetaraan gender, radikalisme, moderasi Islam dan lain-lain. Dengan racun pemikiran yang dapat memalingkan umat Islam dari ketaatan pada syariat Allah inilah, Barat akan terus melanggengkan penjajahannya di negeri-negeri kaum muslimin.
Demikianlah tidak ada cara lain bagi umat Islam selain merapatkan barisan dan menyusun strategi ke depan agar serangan-serangan semacam ini tidak menghancurkan harapan kebangkitan Islam dan kaum muslimin.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Posting Komentar