AGAR BEKAL TAK SIA-SIA
Oleh : Aya Ummu Najwa
Penamabda.com - Adakah manusia yang ingin merugi? Tentu tidak ada. Setiap orang pasti ingin beruntung, atau mendapatkan keuntungan. Maka yang akan dia lakukan adalah terus berinvestasi, menyiapkan modal agar mendapatkan keuntunganan dan tak ingin modalnya terbuang percuma dan sia-sia. Untuk mengarungi kehidupan dunia, dia butuh bekal, agar perjalanannya berjalan lancar bahkan sukses. Ia akan menggunakan bekalnya dengan semaksimal mungkin. Bisa dengan materi ataupun dengan pengetahuan dah keahlian.
Jika untuk kehidupan dunia saja, manusia begitu totalitas dan tak mau merugi, lalu bagaimana dengan perjalanan manusia menuju akhirat? Apa yang harus dilakukan manusia agar bekalnya menuju akhirat tak sia-sia dan mendapatkan keuntungan berlipat serta tidak merugi?
Ibnul Qayyim memberikan nasehat yang sangat indah,
العَمَلُ بِغَيْرِ اِخْلاَصٍ وَلاَ اِقْتِدَاءٍ كَالمُسَافِرِ يَمْلَأُ جِرَابُهُ رَمْلاً يُثْقِلُهُ وَلَا يَنْفَعُهُ
“Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa ransel berisi pasir. Bekal pada ransel tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.” (Al-Fawa’id, hlm. 81)
Itulah bekal yang sia-sia, berat namun tidak manfaat.
Niat karena Allah, berarti ikhlas, memurnikan niat dari kemungkinan mengharapkan wajah selain Allah. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa jadi berupa pujian manusia, eksistensi diri, mengharapkan materi, dan sebagainya. Ini sangat berbahaya, sebab jika tujuan awal melakukan perbuatan adalah karena selain Allah, berarti sudah jatuh dalam perbuatan kesyirikan, menyekutukan Allah. Padahal Allah benci dipersekutukan dengan sesuatu apapun.
Perkara niat ini bukanlah perkara yang remeh. Betapa banyak perbuatan besar yang menjadi kecil karena niat, dan betapa banyak perbuatan kecil yang menjadi besar lantaran niat. Bahkan, dalam sebuah hadist disebutkan bahwa nanti akan ada syuhada, penghafal Alquran, dan orang-orang yang suka berinfak dilemparkan ke dalam neraka karena kesalahan niat. Syuhada yang berperang karena ingin disebut pemberani, penghafal Alquran yang ingin disebut sebagai qari’, dan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena ingin disebut dermawan. Maka semuanya diperintahkan Allah agar dilemparkan ke dalam neraka. Na’udzubillah.
Untuk melihat apakah hati telah ikhlas ataukah belum, ada beberapa tanda yang bisa digunakan;
1. Keikhlasan hadir bila hati takut akan ketenaran.
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
2. Ikhlas ada saat diri mengakui bahwa diri mempunyai banyak kekurangan.
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia akan merasa cemas bila kah apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah.
3. Keikhlasan hadir ketika diri lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan.
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi).
4. Keikhalasan ada ketika diri mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia. Ia pun tak akan gelisah dengan celaan orang yang mencela, ia tak akan goyah dengan terpaan angin cibiran dan hinaan, selama ia mengemban Islam, karena hanya Allah-lah tujuannya.
5. Ikhlas ada saat diri cinta dan benci karena Allah.
Adalah ikhlas saat diri menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi. Sebaliknya, hanya Allah azza wa jalla, mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu.
Dari sini, keikhlasan akan bisa dilihat dan senantiasa dicek kadarnya, kemudian diperbaiki lagi sehingga tetap terkelola dengan baik, karena ikhlas adalah proses yang panjang dan senantiasa butuh untuk terus dipupuk dan ditumbuhkan. Karena Walau bagaimanapun, amalan yang dilakukan tidak didasari dengan keikhlasan (riya’ dan sum’ah), juga amalan yang tanpa tuntunan Rasul (bid’ah) itulah yang akan menjadi bekal sia-sia. Tentu kita tidak menginginkan yang demikian, padahal perjalanan kita begitu berat menuju akhirat.
Wallahu a'lam
Posting Komentar