Damai dengan Covid-19: Bentuk Lepas Tangan Pemerintah
Oleh: Endang Widayati
Penamabda.com - Penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah cenderung lemah dari sisi perencanaan. Hal itu kemudian membuat kesan yang memperlihatkan dalam penerapannya pemerintah sering membuat 'panic policy' untuk menangani Covid-19. Oleh karena itu, nampak terlihat bahwa pernyataan Jokowi terkait berdamai dengan Corona pun bisa menuju arah tersebut.
Selama ini pemerintah sudah memberi kesan inkosisten dalam hal membuat kebijakan. Sehingga, hal tersebut berisiko memperparah ketidakpercayaan publik (distrust) terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Sebagaimana yang dituturkan oleh Analis Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah berikut:
"Kita lihat memang sekarang ini pemerintah lemah dalam membangun kesadaran masyarakat, loyalitas masyarakat sendiri," kata Trubus saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Trubus mencontohkan sejumlah kebijakan penanganan Covid-19 yang bertubrukan satu dengan yang lain. Misalnya, menurut dia, turunan aturan dari penerapan status PSBB dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 hanya sampai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berisi pedoman penerapan status itu.
Mestinya, kata dia, menteri-menteri lain tidak perlu menerbitkan aturan-aturan lain terkait dengan PSBB yang justru berbeda dari aturan semulanya. Pada akhirnya, masyarakat harus dipaksa untuk hidup secara normal kembali di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Di sisi lain, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Bekasi mengaku khawatir dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19 sampai vaksin untuk penyakit ini ditemukan.
“Kami was-was terhadap pernyataan tersebut, takutnya diartikan ya sudah kita terima saja,” ucap Ketua ARSSI cabang kota Bekasi, Dokter Eko S. Nugroho kepada wartawan, Senin, (11/5/2020).
Pasalnya, pesan berdamai dengan Covid-19 yang disampaikan oleh Jokowi tetap harus diiringi dengan usaha. Eko menilai berdamai dengan virus asal Wuhan tersebut dapat diterminologi sebagai dancing with Covid-19.
Eko menegaskan, saat ini Indonesia tidak bisa berdamai dengan Corona lantaran tenaga medis yang menjadi korban dan terinfeksi virus tersebut semakin banyak. (Kedaipena.com)
Miris. Tujuan berakhirnya wabah Covid-19 tidak dibarengi dengan usaha yang maksimal di lapangan. Jauh panggang dari api. Pemerintah hanya mampu menyuguhkan diksi demi diksi yang semakin menambah keruwetan kondisi hidup akibat wabah.
Penguasa Kapitalisme Berlepas Tangan
Diksi damai dengan Covid-19 menambah bukti kuat adanya dugaan bahwa pemerintah memang berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan rakyat. Bagaimana tidak? Kebijakan yang seharusnya diambil ketika terdapat wabah menular adalah lockdown atau karantina wilayah, namun pemerintah malah menerapkan kebijakan setengah hati yaitu pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sekalipun PSBB bisa menekan atau mengurangi penyebaran wabah , tetapi tetap saja virus tersebut tetap ada. Terlebih saat ini PSBB mulai dilonggarkan.
Pada akhirnya, wabah tetap meluas dan korban yang terjangkiti bertambah banyak. Sebagai contoh apa yang teejadi di Korea Selatan. Setelah kebijakan pembatasan sosial dilonggarkan, alhasil klub-klub malam yang ditutup kembali beroperasi hingga akhirnya menambah kasus baru ditemukan.
Jelas kebijakan ini tidak tepat untuk mengatasi wabah. Ketika banyak kalangan yang mendesak agar dilakukan karantina wilayah, pemerintah berkelit dengan alasan ekonomi akan terpuruk. Padahal, bisa dilihat bahwa ekonomi Indonesia memang sudah terpuruk sekalipun diklaim terjadi pertumbuhan ekonomi.
Tanpa terjadi wabah saja kondisi perekonomian sudah buruk dan tidak bisa memenuhi hajat rakyat, terlebih di tengah wabah saat ini. Dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan keuntungan dalam mengurusi rakyat, hal ini sangat wajar terjadi. Mengingat kapitalisme sendiri sangat bergantung kepada modal, sehingga terciptalah ikatan yang kuat antara pemodal (pengusaha) dengan penguasa. Jadi jelaslah wajar ya ketika penguasa pun menjadi perhitungan kepada rakyatnya sendiri.
Konsep seperti inilah yang membuat rakyat menderita dan semakin menderita jika tidak diakhiri. Pemerintah dalam mengambil kebijakan penanganan wabah pun tidak konsisten dan banyak perhitungan. Plin plan. Janji manis di muka, realisasi penuh drama. Kapitalisme biang masalah.
Penguasa Islam Pelayan Umat
Penguasa dalam Islam sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, keberadaan penguasa hanya sebatas atasan dan bawahan. Sedangkan, dalam Islam, keberadaan penguasa menjadi pelayan bagi umatnya. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
"Pemimpin (imam) itu adalah penggembala, dan ia akan ditanya tentang gembalaannya itu,” begitu kata Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang benar-benar menjaga umatnya, mulai dari akidah hingga kesejahteraannya. Fungsi pemimpin adalah menjadi benteng. Nabi menyatakan, “Pemimpin (imam) adalah benteng, umat berperang di belakangnya dan dilindungi olehnya” (HR. Muslim).
Itulah sebabnya, para ulama salaf mendudukkan pemimpin sebagai penjaga Islam dan umatnya.
Sampai-sampai, Imam al-Ghazali menyatakan, ‘Agama ini adalah pondasi, sementara pemimpin adalah penjaga. Sesuatu apapun yang tidak memiliki pondasi akan roboh, dan apapun tanpa penjaga niscaya hilang’.
Sejarah Islam mencatat betapa besarnya perhatian para khalifah sebagai pemimpin umat terhadap urusan mereka. Sebut saja Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sejak dibaiat menjadi khalifah, beliau bertekad untuk mengabdikan segenap hidupnya untuk mengurus rakyatnya.
Atha’ bin Abi Robah menceritakan bahwa isteri Umar bin Abdul Aziz, Fathimah, pernah menemui suaminya saat berada di ruang sholat rumahnya. Fathimah menemukan Umar tengah menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi janggutnya. Ia pun segera bertanya kepada suaminya itu, “Wahai, Amirul Mukminin, adakah sesuatu yang telah terjadi?” Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Duhai Fathimah, sungguh di pundakku ada urusan umat Muhammad SAW baik yang berkulit hitam maupun putih. Karenanya, aku berpikir tentang mereka kaum fakir yang lapar, orang sakit yang tak punya biaya, orang ‘telanjang’ yang terpinggirkan, orang yang dizhalimi lagi dicengkeram, orang yang terasingkan dan ditawan, para tua renta, keluarga yang banyak anak tapi sedikit hartanya, dan urusan lain mereka di setiap jengkal bumi dan negeri. Padahal, aku tahu bahwa Tuhanku pasti meminta pertanggungjawabanku kelak pada hari kiamat. Aku takut kelak tak memiliki hujjah (argumentasi) di hadapan-Nya. Itulah sebabnya aku menangis.”
Ironis. Saat ini tidak ditemukan seorang penguasa yang memiliki kepribadian seperti penguasa dalam sistem Islam. Pemimpin saat ini seakan menyepelekan besarnya tanggung jawab yang ia pikul dalam mengurusi urusan rakyat.
Rasulullah Muhammad SAW berdabda, ”Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi sesuatu dari urusan umat Islam kemudian ia tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinannya nanti pada hari Kiamat” (HR. Abu Daud dan Turmudzi).
Di tengah wabah global ini, umat Islam memerlukan pemimpin sejati. Pemimpin yang menjadi benteng Islam sekaligus pelayan umat, seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tanpa itu, alih-alih menjelma menjadi umat terbaik, kaum Muslim tetap akan menjadi buih. Bangkitlah!
Wallahu a'lam.
Posting Komentar