Ilusi Hunian Bersubsidi di Tengah Pandemi
Oleh : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Penamabda.com - Pandemi Covid 19 yang tak kunjung berakhir menggempur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang UMKM, Suryani Motik menyebut warga yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi (Covid-19) bisa mencapai 15 juta jiwa. (cnnindonesia.com, 1/5/2020)
Angka yang cukup tinggi. Patut diperhatikan bagaimana keberlangsungan hidup para karyawan yang terdampak pandemi ini. Terlebih para perantau yang memang menggantungkan hidup dari bekerja sebagai karyawan. Dimana biaya rumah kontrakan pun tidak melihat situasi pandemi. Ancaman terdepak dari rumah kontrakan dan kesulitan pangan menghantui kehidupan para perantau.
Almarhum Bapak Agus Hasan Al-mahdi merupakan salah satu korban terdampak pandemi. Sejak 23 April 2020 beliau bersama keluarganya tinggal di Masjid Baitus Sholikhin Sidoarjo dikarenakan tidak bisa membayar rumah kontrakan. Nahas, nyawa beliau tidak bisa tertolong akibat Sakit TBC Paru yang sudah lama dideritanya. (madiunpos, 3/5/2020)
Pun di Jakarta yakni emperan toko di pasar Tanah Abang menjadi tujuan bagi para tuna wisma yang sudah tidak sanggup lagi membayar kos atau kontrakan. Benar-benar pukulan telak bagi rezim yang tidak mampu memberikan hunian layak bagi masyarakatnya.
Dalam kondisi normal sebelum terjadi pandemi covid-19, negara pun sudah tidak bisa diharapkan untuk sekedar memberikan fasilitas hunian yang layak bagi masyarakat atau hunian bersubsidi.
Untuk mewujudkan hunian layak, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyelenggarakan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). BSPS ini ada dua kategori yakni Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) dan Pembangunan Rumah Baru Swadaya (PBRS). bantuan dari kementerian PUPR untuk PKRS sebesar 17,5 juta dan untuk PBRS sebesar 35 juta.
Bantuan sebesar itu tentu tidak cukup untuk melakukan bedah rumah atau pembangunan rumah baru. Menurut Kementerian PUPR, bantuan ini sifatnya sebagai stimulan masyarakat untuk memperbaiki atau membangun rumah menjadi layak huni. Jumlahnya memang tidak besar, sehingga jika dana bantuan kurang ditanggung bersama oleh Kelompok Penerima Bantuan (KPB).
Pada faktanya, kecilnya dana bantuan tersebut membuat masyarakat yang menerima bantuan justru meminjam uang ke pihak bank demi terselesainya proses bedah rumah atau pembangunan rumah baru.
Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan maksimal 4 juta per bulan, maka ditawarkan untuk mengajukan KPR bersubsidi dengan suku bunga fix 5% per tahun. Pinjaman tersebut bisa digunakan untuk membeli rumah baru atau seken dan memperbaiki rumah. (cermati.com, 7/10/2019)
Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah bisa dikatakan tidak solutif. Pasalnya, bantuan yang diberikan untuk masyarakat yang membutuhkan hunian layak tidak dilakukan secara all out. Yakni kecilnya dana bantuan yang merangsang masyarakat memilih jalur pinjaman riba sebagai solusi cepat pencairan dana. Itupun pasti juga akan memberatkan penerima bantuan karena angsuran rutin yang wajib dibayar per bulan.
Tawaran KPR bersubsidi pun diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan tetap maksimal 4 juta per bulan. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap per bulan atau serabutan, hunian layak menjadi sekedar ilusi. Karena syarat yang diberikan negara tidak mampu dipenuhi oleh mereka.
Sejatinya, rumah atau hunian yang layak merupakan kebutuhan primer masyarakat. Dikutip dari kompas.com, Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang berkaitan dengan mempertahankan hidup secara layak. Kebutuhan ini mendasar dan harus dipenuhi manusia. Kebutuhan primer meliputi sandang, pangan, dan papan.
Berarti kebutuhan papan alias tempat tinggal di sini sangat penting bagi masyarakat. Tanpa papan yang layak maka manusia akan tersiksa hidupnya dan rentan terserang penyakit. Apalagi dalam kondisi pandemi covid 19 saat ini dimana masyarakat diminta untuk stay at home untuk mengurangi penyebaran, hunian layak sangatlah diharapkan.
Melihat fakta yang seperti ini, tentu predikat Indonesia sebagai negara maju tidak pantas disandang karena untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakatnya saja negara tidak mampu.
Sepatutnya negeri ini mencontoh Rasulullah dalam menyediakan hunian bagi masyarakatnya. Sebagaimana diceritakan pada awal masa hijrah kaum muslimin ke Madinah, Rasulullah membangun rumah-rumah untuk kaum Muhajirin di areal tanah yang dihibahkan oleh kaum Anshar dan di areal tanah yang tak bertuan.
Tidak berhenti sampai di situ, gelombang hijrah yang terus bergulir menyebabkan banyaknya tamu dan utusan yang datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah. Mereka banyak yang menyatakan masuk Islam dan bersumpah setia. Mereka tidak memiliki tempat tinggal selama di Madinah. Untuk itu Rasulullah memerintahkan agar dinding luar masjid sebelah belakang diberi atap. Atap itu kemudian dikenal dengan sebutan ash-shuffah.
Dr Sauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi menjelaskan, Ash-Shuffah sebagai teras yang luas dan tinggi. Menurut dia, As-Shuffah bisa juga berarti tempat berteduh dan teras rumah.
Rasulullah juga mewasiatkan kepada para Sahabat untuk menginfakkan hartanya kepada ahli Shuffah. Maka, para Sahabat pun berlomba berbuat kebaikan kepada Ahli Shuffah. Para hartawan dari kalangan Sahabat mengirimkan makanan kepada mereka. Rasulullah membagi Ahli Shuffah kepada para Sahabat selepas shalat Isyâ, agar mereka dijamu di rumah para Sahabat tersebut. (al-manhaj.or.id)
Sungguh perilaku Rasulullah tersebut sangat mulia sebagai pemimpin umat sekaligus sebagai kepala negara. Beliau menjamin kebutuhan masyarakatnya individu per individu tanpa terkecuali. Begitulah memang selayaknya yang dilakukan oleh seorang pemimpin terhadap masyarakatnya. Karena kelak seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh rakyat yang dipimpinnya.
Posting Komentar