RAMADAN, IDUL FITRI DAN KESATUAN UMAT
Oleh : Zahida Arrosyida (Pegiat Opini Islam, Revowriter Kota Malang).
Penamabda.com - Alhamdulillah gema takbir dikumandangkan seiring umat Islam menyambut hari kemenangan. Sejenak melepaskan diri dari kegundahan akibat wabah Covid-19 yang entah kapan akan pergi. Di berbagai sudut kehidupan, rona kebahagiaan terpancar menjelang sore di akhir Ramadan dan menjelang malam takbiran.
Begitu pula dalam hal penentuan I Syawal, antusiasme masyarakat menanti keputusan pemerintah juga mewarnai Ramadan istimewa di tengah pandemi Covid-19.
Ada oase di tengah pandemi Covid-19. Ramadan seakan mengajak untuk bersatu menghadapi berbagai ujian yang terus mendera bangsa ini. Bagaimana tidak menyejukkan ketika melihat ada persatuan dalam menentukan akhir Ramadan yang menghiasi lembaran berita di media cetak dan media sosial.
Dilansir dari www.mataramtribunnews.com 22/05/2020, Muhammadiyah menetapkan melalui akun Twitter @muhammadiyah, Idul Fitri 2020 jatuh pada Minggu, 24 April 2020.
Adapun keputusan NU tentang lebaran Idul Fitri tahun 2020, sebagaimana tradisinya, menunggu hasil isbat Pemerintah.
Gayungpun bersambut, Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi menetapkan hasil sidang Isbat Idul Fitri 2020 1 Syawal 1441 H jatuh pada Minggu 24 Mei 2020.
Hal ini diungkapkan berdasarkan hasil pemantaun hilal yang dilalukan di sejumlah titik wilayah di seluruh Indonesia. (pontianaktribun.news.com 22/05/2020)
Lebaran tahun ini akan digelar bersama oleh dua organisasi besar yang merepresentasikan umat Islam di Indonesia. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang pernah ada selisih hari antara dua organisasi tersebut. (www.jatimtimes.com 18/05/2020)
==============
Rasulullah bersabda : " Barangsiapa shaum Ramadan dengan iman dan semata mengharap ridha Allah maka ia diampuni dosanya yang telah lewat." ( HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Nabi ini menegaskan bahwa keimanan harus dijadikan landasan dalam menjalankan shaum Ramadan. Jadi Ramadan sejatinya adalah momentum untuk mengokohkan keimanan kita. Sehingga seusai Ramadan akan memiliki iman yang produktif dan tangguh serta merasakan betapa manisnya pengaruh keimanan tersebut.
Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum Ramadan.
Allah berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS Al-Baqarah; 183).
Pada bulan Ramadan yang menonjol dari umat ini adalah meningkatnya aspek spiritual kaum muslimin. Salat tarawih, tilawah Quran, zikir, sedekah dan ibadah ritual lainnya. Tidak salah jika ada orang yang memaknai Ramadan sebagai momentum peningkatan ruhiyah dan ibadah mahdah. Itu adalah suatu kebaikan karena ketakwaan individu adalah satu salah satu pilar penting membangun peradaban yang diridhoi Allah. Namun ternyata Rasulullah tidak berhenti pada ketakwaan individu. Beliau juga membangun ketakwaan yang bersifat komunal yakni ketakwaan dalam seluruh sendi kehidupan. Ketakwaan ini harus ada di manapun kita berada dan ketika kita mengerjakan amal dalam kehidupan ini. Jadi Ramadan dengan ibadah puasanya tidak hanya wujudkan ketakwaan individu. Saat Ramadan lebih khusuk sholat, lebih giat salat berjamaah, lebih gemar membaca Al-Qur'an. Tapi Ramadan juga mengajarkan kita untuk meningkatkan kesadaran politik dan ketakwaan secara komunal. Kesadaran politik itu diwujudkan dengan lebih peduli pada kondisi umat.
Ramadan sudah sepatutnya menjadi momentum bagi kaum muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan syariah-Nya secara Kaffah. Tentu taqarrub itu tidak hanya terkait dengan amal ritual- spiritual semata seperti ibadah mahdhah dan akhlak. Namun juga mencakup amal-amal politik dalam makna mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Islam tidak mempertentangkan antara amal spiritual amal dan politik.
Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang kotor. Politik Islam tidak identik dengan perebutan kedudukan dan kekuasaan. Dalam bahasa Arab politik berpadanan dengan kata _sasa-yasusu-siyasat[an]_: artinya mengurusi, memelihara. Samih 'Athif dalam bukunya, As-Siyasah wa As-Siyasah Ad-Duwaliyyah menulis bahwa politik merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan. Karena itu dalam Islam politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya karena Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moral (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur muamalah seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, sanksi hukum dan lainnya. Juga apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah Saw saat menjadi kepala negara di Madinah menunjukkan bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah sebagai kepala negara, qadhi dan panglima perang. Rasulullah mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah. Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah bermusyawarah bersama para sahabat untuk membicarakan segala urusan rakyat.
Shaum Ramadan merupakan salah satu syiar Islam yang menyatukan seluruh kaum muslimin dari ufuk barat hingga ufuk timur. Shaum Ramadan senantiasa mengingatkan bahwa Tuhan kita adalah satu, agama kita satu, kiblat kita satu dan yang menjadi perhatian kita satu yaitu kondisi kaum muslimin di seluruh dunia. Hal ini semakin menyadarkan bahwa pada hakekatnya kita merupakan satu umat yang tidak berbeda dengan umat lainnya. Namun kenyataannya saat ini terpecah belah oleh faham-faham yang sesat paska runtuhnya Khilafah Utsmani. Faham-faham itu misalnya nasionalisme, patriotisme, fanatisme golongan dan mazhab: atau terpecah belah oleh kemaslahatan duniawi,harta benda, penghormatan kepada manusia dan sebagainya.
Saat ini kaum muslimin tidak hentinya dihadapkan pada berbagai makar dan rekayasa Barat yang bernafsu untuk menikam Syariat Islam, ulama dan kaum muslimin. Mereka mendeskriditkan Islam dengan berbagai julukan negatif seperti "fundamentalis", "radikal", "teroris", "garis keras" dan lainnya. Stigmatisasi tersebut biasanya mereka alamatkan kepada kaum muslimin yang konsisten dalam upaya memperjuangkan, melaksanakan dan menegakkan syariat Islam secara total dalam kehidupan.
Shaum Ramadan adalah salah satu simbol persatuan umat. Kita diajarkan untuk memulai dan mengakhiri puasa di tanggal yang sama. Ramadan juga mengajarkan kita untuk bersatu dalam satu syariah yakni yang berasal dari Rabbul'alamin. Pada bulan ini semua umat Islam berpuasa pada siang hari dengan tata cara yang sama. Pada malam harinya semua menjalankan "Qiyam Ramadan" dengan cara yang sama. Karena itu seharusnya kaum muslimin terbuka pikiran dan tergerak hatinya untuk mewujudkan persatuan dalam kehidupan nyata. Bukan hanya bersatu saat berpuasa saja. Tetapi bersatu sebagai ummah wahidah, dengan syariah wahidah dan dalam dawlah wahidah.
Shaum Ramadan selayaknya dapat menyatukan pemikiran dan perasaan kaum muslimin untuk melangkah bersama menuju cita-cita mulia, melanjutkan kehidupan Islam dalam institusi Khilafah.
Juga semakin meningkatkan kesadaran kita akan kondisi kaum muslim yang jauh dari gambaran ideal sebagaimana kaum muslimin terdahulu yang merupakan generasi terbaik. Sudah selayaknya pula semakin menambah keinginan untuk mewujudkan umat ini sebagai umat terbaik yang telah dipilih Allah untuk menjadi saksi atas seluruh manusia.
Semoga Idul Fitri kali ini akan menyatukan kaum muslimin untuk meraih kemuliaan, hidup dalam naungan Khilafah yang akan menerapkan hukum Allah dalam semua lini kehidupan. Aamiin
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Posting Komentar