SERUAN “BERDAMAI DENGAN CORONA”,DEKLARASI PEMERINTAH SUDAH TAK BERDAYA?
Oleh : Ummu Syifa (Dosen PTS di Malang)
Penamabda.com - Tak salah memang dengan sebuah pernyataan “Kombinasi otoritas inkompeten dan masyarakat yang ignorant” untuk menggambarkan kondisi di negeri kita sekarang. Di tengah perkembangan pandemi Covid-19 yang hingga kini grafik pertambahan kasusnya semakin melonjak naik, Jokowi mengeluarkan seruan untuk berdamai dengan Covid-19 hingga vaksinnya ditemukan.
Pernyataan mengejutkan Jokowi yang disampaikan melalui akun resmi twitternya (7/5) ini kian menambah ketidakjelasan dan kesemrawutan di tengah masyarakat. Seperti yang dikutip dari cnnindonesia.com, Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia itu harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan. Oleh sebab itu, dengan status PSBB saat ini, masyarakat pun masih beraktivitas meski ada penyekatan pada beberapa hal.
Pernyataan Jokowi ini jelas bertentangan dengan apa yang disampaikan dalam pertemuan virtual KTT G20 pada Maret lalu. Kala itu ia secara terbuka mendorong agar pemimpin negara-negara dalam G20 menguatkan kerja sama dalam melawan Covid-19, terutama aktif dalam memimpin upaya penemuan anti virus. Atau dengan kata lain “perang” melawan corona. Dua pernyataan yang kontradiktif ini tentu membuat banyak orang berspekulasi terkait konsistensi pemerintah dalam menanggulangi wabah.
Seorang pengamat mengatakan pemerintahan Jokowi memang sering menggunakan diksi dan permainan kata yang cenderung membingungkan masyarakat. Selanjutnya diksi tersebut disiratkan dalam kebijakan pemerintahan yang terkesan tak seirama. Ia memandang pesan ‘damai’ dari Jokowi bisa memicu bahaya terkait Covid-19. Seruan damai dengan virus bisa ditafsirkan bahwa Covid-19 tak lagi berbahaya, sehingga masyarakat bisa dengan bebasnya keluar tanpa memperhatikan protokol kesehatan di saat wabah.
Pada penerapan PSBB saat ini saja, masih banyak masyarakat yang mencoba untuk membandel dengan kebijakan pemerintah. Ada yang karena keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ada yang karena tidak paham betapa seriusnya wabah ini, hingga mengabaikan dan menganggapnya remeh. Seolah mengecilkan masalah tanpa disertai kejelasan dan ketegasan sikap dari pemerintah terkait penanganan wabah. Sehingga pernyataan berdamai dengan Covid-19 sangatlah tidak tepat.
Hal serupa juga disampaikan Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 yang mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memulai hidup baru dengan mengubah perilaku dan menyesuaikan diri di tengah pandemi corona. Karena hanya itu satu-satunya cara untuk berdamai dengan corona jenis baru ini. Seperti yang diberitakan liputan6.com, Yuri mengatakan “Bukan menyerah. Berdamai, bukan menyerah. Tetapi kita harus beradaptasi untuk mengubah pola hidup kita, dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat, yang benar, yang berdisiplin. Ini yang kita sebut sebagai pola kehidupan yang baru," ujar Yuri dalam keterangan pers daring di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Yuri menyadari dalam beberapa waktu terakhir ini banyak masyarakat yang terpaksa tidak bisa bekerja akibat pandemi corona Covid-19 dan tak sedikit yang harus kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, melalui cara berpikir yang baru, bersikap yang baru dan lebih produktif, maka masyarakat dapat menghindari permasalahan yang muncul akibat dari dampak Covid-19 tersebut.
Pantaskah tindakan pemerintah dengan menghimbau masyarakat hidup berdampingan dengan wabah padahal grafik kasusnya belum melandai?
Dengan alasan karena wabah ini banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan sehingga ekonomi harus digiatkan kembali dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan ketika bekerja di luar rumah.
Sedikit flashback bagaimana dulu di awal sebelum pandemi corona memasuki Indonesia. Pemerintah bukannya bersiap dengan langkah pencegahan malah beberapa pejabat membuat lelucon dan berkelakar bahwa corona tidak bisa hidup di iklim Indonesia. Namun ketika kasus positif Covid-19 bermunculan barulah panik hingga gelagapan dalam memberlakukan aturan pembatasan.
Tenaga kesehatan tidak diberi perlengkapan medis yang memadai padahal mereka yang berkontak langsung dengan pasien. Korban mulai berjatuhan dan akhirnya mencapai 1000-an korban jiwa, yang bisa jadi faktanya lebih besar dari itu. Grafik kasus masih melonjak naik dan tiba-tiba pemerintah meminta masyarakat berdamai dengan wabah ini? Apakah pemerintah sudah kewalahan dan menyerah mengatasi wabah?
Sungguh hal ini berbeda jauh dengan bagaimana pemerintahan Islam menangani wabah. Islam sebagi solusi permasalahan kehidupan selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam telah lebih dulu menerapkan ide karantina untuk mengatasi wabah penyakit menular.
Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan. Saat itu penyakit kusta belum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah SAW adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta. Beliau bersabda :
“Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta” (HR al-Bukhari).
Dengan demikian, metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW guna mencegah wabah penyakit menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasulullah membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah SAW. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa” (HR al-Bukhari).
Rasulullah SAW juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda: “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninginggalkan tempat itu” (HR al-Bukhari).
Begitu juga pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan: ‘Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).
Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi saat terjadi wabah Tha’un yang melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.
Dari sini jelas peran sentral negara sangatlah penting untuk menjaga keselamatan dan kesehatan warganya. Terlebih lagi saat terjadi wabah penyakit menular. Tentu rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasanya. Penguasa tidak boleh abai. Para penguasa Muslim pada masa lalu, seperti Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra, sebagaimana riwayat di atas, telah mencontohkan bagaimana seharusnya penguasa bertanggung jawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya. Termasuk juga tuntunan dalam mengatasi wabah penyakit menular.
Posting Komentar