TARIF BPJS DINAIKKAN: DIMANA HATI NURANI PEMERINTAH?
Oleh: Dhiyaul Haq (Pengajar di Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah Malang)
Penamabda.com - Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib masyarakat sekarang di +62. Pemerintah bersikeras tetap menaikkan tarif BPJS di tengah pandemi. Kebijakan peerintah menuai kontroversi di tengah masyarakat dan kalangan birokrasi. Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc, mengatakan, kenaikan iuran BPJS telah melukai hati masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh. “Kebijakan ini melukai hati masyarakat. Di tengah wabah Corona seperti sekarang, banyak masyarakat mengalami kesusahan di bidang ekonomi serta PHK terjadi di mana-mana," kata Fadhil Rahmi. (tribunnews.com)
Selain HM Fadhil Ramli Lc. rasa kecewa juga disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) turut menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo yang bersikukuh tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
"Masyarakat sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, sementara pandemi juga menciptakan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan. Masyarakat ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula," tulis AHY melalui akun Twitter pribadinya, Kamis (14/5/2020). (tribunnews.com)
Kondisi pandemi membuat rakyat banyak yang terpukul, tidak jarang di berbagai media memberitakan kondisi rayat yang mati kelapran akibat pandemi. Tanpa ada pandemic negara sudah banyak problem menangani perekonmian. Tanpa pandemic pun jumlah rakyat miskin yang mempunyai perekonomian di bawah rata-rata melambung tinggi, terlebih dalam kondisi pandemic sekarang ini. Namun, alih-alih membuat kebijakan yang meringankan rakyat, kebijakan demi kebijakan yang diambil pemerintah justru emakin menyengsarakan rakyat. Bila pemerintah tulus ingin membantu rakyat, maka seharusnya menaikkan tarif BPJS tidak akan dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif BPJS juga melanggar keputusan MA. Mahkamah Agung sebelumnya telah menyatakan pemerintah seharusnya tak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan, karena defisit terjadi karena kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan. Hal itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020. Putusan itu yang membatalkan Peraturan Presiden 75/2019.
Namun, setelah MA membatalkan Perpres itu, Jokowi kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres 64/2020 itu mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Dalam putusan pembatalan saat itu, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). (CNNIndonesia)
Demokrasi-kapitalis semakin menampakkan ketidaklayakannya untuk dijadikan sistem yang diterapkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Kapitalisme yang menjunjung tinggi asas manfaat sangatlah wajar tidak memprioritaskan kebutuhan rakyatnya dan memprioritaskan kepentingan penguasa. Sudah saatnya rakyat sadar dan mencampakkan demokrasi-kapitalis dalam kehidupan. Sebaliknya mengenal lebih jauh dengan sistem Islam dari Allah swt. Yang tiada cacatnya serta menerapkannya dalam seluruh kancah kehidupan.
Islam adalah agama yang sempurna sebagai solusi semua permasalahan termasuk diantaranya perkara kesehatan.
Dalam perihal kesehatan Islam mempunyai dasar solusi sebagai berikut:
1. kesehatan adalah kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Sehingga apa pun alasannya, tidak dibenarkan dalam negara khilafah ada program JKN dan program lain yang bertujuan mengkomersialkan pelayanan kesehatan.
2. negara bukan regulator, akan tetapi pihak yang bertanggung jawab langsung dan penuh terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan publik, gratis lagi berkualitas.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Salaam menegaskan, artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Artinya, negara bertanggung jawab langsung dan sepenuh terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan. Baik dari segi jumlah, kualitas terbaik dengan para dokter ahli berikut obat-obatan, dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan, serta sebarannya hingga ke pelosok negeri.
3. fasilitas kesehatan baik puskesmas dan rumah sakit pemerintah adalah institusi teknis pelaksana fungsi negara.
Yaitu fungsi negara sebagai raa’in atau pelayanan pemenuhan hajat publik terhadap pelayanan kesehatan. Karenanya wajib dikelola negara secara langsung di atas prinsip pelayanan. Sebagaimana perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallaam sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah, termasuk masalah pelayanan kesehatan.
4. model pembiayaan kesehatan antidefisit tanpa membebani publik, rumah sakit, dan insan kesehatan sepeser pun.
Wallahu a’lam bi ash-showab
Posting Komentar