Ancaman Hilangnya Nyawa di Tengah Komersialisasi Layanan Kesehatan
Oleh : Ilmasusi
Penamabda.com - Trenyuh hati mendengar berita seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan yang kehilangan anak di dalam kandungannya lantaran tak mampu membayar biaya swab test. Biaya sebesar Rp 2,4 juta itu tak bisa diambil dari koceknya lantaran miskin. Padahal, saat itu kondisi mendesak dan membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. (https://makassar.kompas.com/read/2020/06).
Mahalnya biaya kesehatan di negeri ini, menjadikan kaum papa harus pasrah saat nyawa keluargannya tak bisa ditolong. Biaya yang sulit terjangkau oleh keuangan mereka, seakan mengyuguhkan pengumuman tak tertulis bahwa orang miskin dilarang sakit. Sebuah kondisi yang sulit di tengah-tengah pandemi Covid.
Pertanyaannya, tak adakah peran negara? Sudah pasti, negara berperan. Sayangnya peran itu hanya sebatas fungsi sebagai regulator. Layaknya wasit, negara hanya memfasilitasi adanya hubungan jual beli antara perusahanaan dengan rakyat. Pun peran itu kadang berbau pemaksaan lewat undang-undang maupun Perpu. BPJS-Kesehatan, misalnya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di bidang Kesehatan (BPJS) Kesejhatan merupakan lembaga asuransi swasta yang menggandeng pemerintah agar semua rakyat menjadi nasabahnya. Meski ada nasabah sebagai penerima bantuan iuran (PBI), jumlahnya tak sebanding dengan jumlah rakyat miskin yang di negeri ini telah mencapai 25 juta.
Mahalnya Biaya Karena Komersialisasi
Diketahui bahwa biaya rapid test berkisar antara Rp200.000 hingga Rp500.000. Sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,55 juta. Angka itu masih belum termasuk biaya-biaya lain yang membuatnya kian mahal. Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Susi Setiawaty menjelaskan tentang mahalnya biaya tes corona. Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes dan yang kedua ada biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut. Mulai dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut sehingga biayanya membengkak. Sementara itu , rumah sakit swasta yang menangani pasien virus corona namun belum mendapatkan bayaran dari pemerintah. (bbc.com, 18/6/2020)
Terkait komersialisasi tes corona, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut, mahalnya biaya tes corona yang dilakukan rumah sakit swasta merupakan akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes. Trubus menyarankan pemerintah untuk menempuh dua solusi yang ditawarkannya. Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes, baik rapid maupun swab test. Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah. Artinya, pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau. (makassar.kompas.com, 19/6/2020)
Sayangnya, pemerintah tak melakukan langkah pertama, yaitu menanggung semua biaya. Meski itu bertentangan dengan produk hukum yang dikeluarkan, yakni keputusan pemerintah tentang kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam. Juga Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.
Hal itu disebabkan karena pengelolaan kesehatan yang berakar dari paradigma kapitalistik yang membatasi peran negara sebatas regulator. Sementara itu keuntungan materialistik sudah pasti menjadi tujuan dari perusahaan penjual produk atau jasa kesehatan. Hal ini merupakan bentuk lepas tangannya pemerintah dalam mengurus kesehatan bagi rakyatnya.
Ditambah lagi, di tengah terjepitnya rakyat karena wabah, beragam kebijakan yang menyulitkan rakyat pun dikeluarkan. Naiknya tarif dasar listrik dan premi BPJS merupakan contoh kebijakan yang tidak bijak. Ada sejumlah Bansos memang, seperti BLT. Namun jumlahnya tak sebanding dengaan junlah rakyat miskin. Pelaksanaan realisasinya pun penuh masalah, mulai dari tak sinkronnya data higga pemangkasan dana dan itu pun juga diselewengkan. Lalu diluncurkan kebijakan baru demi mendongkrak ekonomi dengan new normal life saat wabah masih terus merebak. Kebijakan ini tak urung melambungkan jumlah kasus, membuat kesehatan dan keselamatan jiwa semakin terancam.
Selayaknya negara melindungi setiap jiwa rakyatnya dengan berbagai cara. Korban meninggal lantaran mampu membiayai kesehatannya, menunjukkan betapa buruknya kepengurusan masalah kesehatan bagi rakyat. Rakyat tertatih sendiri mencari keselamatan pada sektor kesehatan, yang notabene merupakan kebutuhan mendasar bagi siapapun. Bertahan pada penerapan sistem kapitalis membuat dada serasa sesak untuk bernafas di negara yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi ini.
Sistem Kapitalis Versus Sistem Islam
Sistem kapitalis telah meniadakan peran agama oleh negara dalam mengurus rakyatnya. Kelemahan mendasar dari sistem demokrasi sekuler adalah tidak adanya ketakutan dari pemimpin kepada Tuhannya atau pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal ini membuka peluang besar bagi pemimpin untuk terjerumus dalam sikap tiran. (Abdul Kareem Newell , Akuntabilitas Negara Khilafah, 2011, PTI h 67-68).
Wajar bila dalam negara kapitalis negara tak memberikan jaminan kebutuhan dasar pada rakyatnya. Kalaupun ada, jaminan itu diberikan sebagai bentuk tambal sulam dari kebobrokan sistem ini. Di sisi lain, negara juga hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha. Sementara rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya.
Di tengah wabah, rakyat harus menanggung mahalnya biaya kesehatan, melonjaknya harga pangan,listrik dan BBM. Di sisi lain, negara membuka akses keuntungan yang tinggi dari perusahaan yang produknya dibeli oleh rakyat. Besarnya gaji seorang direktur BPJS yang besarnya mencapai setengah Miliar per bulan, darimana kalau bukan dari premi yang dikeluarkan oleh rakyat dengan susah payah karena kemiskinan mereka. Betapa menyedihkan kondisi rakyat dalam naungan negara kapitalis.
Sementara dalam Islam, seorang khalifah sebagai kepala negara akan menjalankan hukum Allah dalam mengurus urusan rakyat. Mereka bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya. Rasulullah Saw. bersabda,
“لإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “..
Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Raa’iin bermakna pengurus urusan rakyat, termasuk pengurusan hajat hidup publik sesuai tuntunan syariat. Dalam sistem Islam, para Khalifah sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kiamat.
Selain itu peran pemimpin negara adalah sebagai Junnah atau perisai bagi rakyatnya. Ditegaskan Rasulullah saw.
, إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ “
Imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Hendaknya para pemimpin di negeri muslim ini merefleksi diri dan segera berlari menuju ketaatan. Yakni ketaatan pada syariat Allah dalam memimpin rakyatnya.
Wallahu a’lamu bishshowab
Posting Komentar