Berdakwah, Haruskah Menunggu Sempurna?
Oleh: Najah Ummu Salamah
Penamabda.com - Ada sebuah pertanyaan menarik dari salah seorang ibu peserta kajian online pada pagi itu. Beliau menanyakan apakah dakwah itu harus menunggu diri dan keluarganya baik dulu. Baru setelah itu mendakwahi orang lain.
Pertanyaan serupa mungkin juga ada di benak kaum muslim yang lain. Sebuah keraguan untuk melakukan amar ma'ruf nahi Munkar. Apalagi bila masih baru belajar tentang Islam, baru berhijrah. Wajar jika masih kurang percaya diri menyampaikan kebenaran di hadapan orang lain. Dan biasanya kebanyakan masyarakat sering menilai kebenaran dari status orang yang menyampaikan bukan dari apa yang disampaikan. Bahkan masyarakat terkadang "gembosi" dengan mengatakan "kamu dan keluargamu saja masih banyak kurangnya, kok nasehati orang lain"
*************
Menjadi seorang muslim yang beraqidah Islam. Tentu menjadikan Islam bukan semata agama ritual. Islam yang di yakini dalam dada sebagai way of life akan menuntun pemeluknya untuk menyampaikan kebenaran Islam yang dia rasakan.
Islam sebagai ideologi akan membakar jiwa seseorang untuk menyebarkan panasnya mabda' Islam kepada manusia lainnya. Membagikan manisnya iman dan mengajak orang lain untuk bersama ke syurga yang dijanjikan.
Seorang muslim tidak akan rela bila saudara, kerabat dan manusia lainnya berada di jalan yang salah. Mak berdakwah bukan hanya sebagai kewajiban. Tetapi bukti kasih sayang yang dicontohkan Baginda Nabi SAW.
Baginda mendakwahi manusia sesaat setelah Wahyu Allah SWT datang memerintahkan menyeru manusia kepada Islam secara langsung. Beliau menyeru istri, anak-anak, anak angkatnya, keponakan, paman dan bibinya. Selain itu beliau juga mengajak kerabat dan teman dekatnya. Pada fase ini beliau menyeru manusia secara sembunyi-sembunyi.
Pada fase berikutnya beliau menyeru umat manusia secara terbuka. Baginda Nabi SAW menyeru siapapun yang beliau temui. Bahkan beliau juga mencegah kemunkaran orang-orang kafir Quraisy. Beliau mencela kebiasaan jahiliyah mereka seperti berjudi, curang dalam berdagang, melecehkan kaum perempuan dan lain-lain. Padahal di saat yang sama beberapa paman Nabi masih kafir, yaitu Abu Thalib dan Abbas. Serta beberapa kerabat beliau bahkan menentang dakwahnya. Seperti Abu Lahab dan Abu Sufyan.
Abu Thalib adalah paman yang mengasuh dan membesarkan Nabi SAW. Namun sayang beliau tetap dalam agama jahiliyah hingga akhir hayatnya. Meskipun dukungan dan perlindungan yang beliau berikan terhadap dakwah Nabi SAW sangat besar. Tetapi beliau belum membuka pintu hatinya kepada Islam. Padahal penyeru kebenaran untuknya adalah manusia yang paling sempurna, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Hingga pada fase dakwah di Madinah, saat Baginda Nabi SAW sudah menerapkan Syari'at Islam secara kaffah, masih banyak sanak-kerabat Baginda Nabi SAW memeranginya. Padahal mereka menjumpai Nabi di sisinya. Namun Allah SWT belum melayakkan mereka mendapat hidayah.
*********
Dari sini kita bisa memahami jikalau hidayah itu di tangan manusia tentu penduduk Mekkah berislam semua. Tak ada pertentangan, tak ada pemboikotan dan tak akan pernah ada peperangan. Karena yang mengantarkan hidayah saat itu adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya. Bahkan terjamin bersih dari dosa. Yaitu Baginda Nabi SAW. Namun sayang, semua itu tidak terjadi.
Hidayah sejatinya di tangan Allah SWT. Allah SWT memberikan kepada manusia yang mau untuk memilih jalan hidupnya. Hidayah tak akan diberikan kepada manusia yang sombong, menutupi akal dan hati nuraninya. Ibarat cahaya matahari pagi akan menerobos masuk ke dalam rumah jika pintu dan jendela dibuka oleh penghuninya. Seketika semua ruangan menjadi terang. Terlihat nyata antara yang hitam dan putih. Antara yang haq dan bathil. Hidayah itu pilihan manusia. Allah SWT berfirman:
"Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS. Ar-Ra’d: 11)
Maka tugas seorang muslim hanyalah menyampaikan Islam dan ajarannya secara kaffah. Kepada siapapun meskipun kita masih baru belajar memahami satu ayat Al-Qur'an. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut memotivasi kita untuk percaya diri berdakwah. Berdakwah tidak harus menunggu sempurna. Karena tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini kecuali para Nabi dan Rosul. Juga tidak menunggu semua keluarga dan kerabat kita hijrah. Karena kita hanya berkewajiban mengantarkan hidayah. Sedangkan layak atau tidaknya orang lain mendapat hidayah adalah wewenang Allah SWT.
Memang manusia ketika mendapati kebenaran akan menyampaikan kepada orang yang terdekat, yaitu keluarga. Ini adalah suatu hal yang alami. Lantas bukan berarti kita berhenti berdakwah sambil menunggu semua keluarga kita hijrah dulu. Dakwah harus terus dilakukan kepada siapapun yang kita temui.
Saat berdakwah kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu kita yang satu ayat. Kita juga harus terus mengupgrade diri. Mulai dari belajar membaca Al-Qur'an, menghapal dan memahaminya. Selain itu harus menambah dengan tsaqofah (pemahaman) Islam lainnya.
Mengingat umat Islam sangat jauh dari ajaran Islam itu sendiri. Sehingga belajar fiqih, bahasa Arab, serta meningkatkan banyak ibadah Nafilah juga sangat penting. Intinya setiap muslim harus memiliki kepribadian Islam. Agar aktifitas amar ma'ruf dan nahi munkar semata dilakukan karena Allah SWT. Suatu kewajiban yang mulia di sisiNya. Di dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memerintahkan setiap muslim untuk menghilangkan kemungkaran sesuai dengan kemampuannya;
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ , وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإيمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Maka, tak perlu sempurna untuk berdakwah. Sambil berdakwah kita harus terus belajar memahami Islam Kaffah. Sudah saatnya kita mengambil bagian untuk perbaikan umat. Berharap Allah SWT mewujudkan kebangkitan Peradaban Islam yang gemilang.
Wallahu a'lam bi ash-showab
Posting Komentar