Garam Impor Mendominasi, Petani Negeri Gigit Jari
Oleh : Sumiatun ( Komunitas Pena Cendekia Jombang)
Penamabda.com - Negeri kita memiliki garis lautan yang sangat luas, yang memungkinkan produksi garamnya melimpah. Sehingga kebutuhan akan garam dalam negeri tercukupi. Bahkan peluang sebagai negara pengekspor semestinya semakin tinggi.
Namun ironi, sebagian produk makanan dan minuman, industri lain seperti kertas, kosmetik, pupuk dan seterusnya ternyata bahan penolongnya menggunakan garam dari luar negeri. Alias garam impor. Lantas ada apa dengan garam produksi dalam negeri? Kenapa untuk sekedar makan mie instan, bahannya mesti mengandung garam impor?
Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, terjadi kenaikan kebutuhan garam di 2020, yang tadinya hanya berkisar 3 juta - 4,2 juta ton kini menjadi 4,5 juta ton. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanudin mengatakan Indonesia sebenarnya sudah berhasil dalam melakukan swasembada garam. Karena target produksi nasional pada 2020 adalah sekitar 3 juta sampai 4 juta ton, dan kemudian Indonesia berhasil melakukan produksi sebesar 3,5 juta ton. Artinya, Indonesia sudah bisa memenuhi target produksinya (www.cnbcindonesia.com, 31/05/2020).
Dari sumber berita yang sama disebutkan, Indonesia belum bisa lepas dari jeratan impor garam. Ketergantungan garam impor tersebut umumnya dipakai untuk kebutuhan industri, seperti industri kertas, makanan dan minuman (mamin), farmasi dan kosmetik hingga petrokimia. Setiap tahun impornya mencapai jutaan ton dengan nilai lebih dari Rp1,2 triliun lebih. Alokasi impor garam 2019 mencapai 2,75 juta ton, lalu pada 2020, berdasarkan rakortas pada Desember 2019 diputuskan bertambah menjadi 2,92 juta ton atau naik 6% (cnbcindinesia.com, 13/01/2020).
Polemik Ketersediaan Garam Lokal
Aktivitas impor garam memang masih menimbulkan pro dan kontra antara industri, petani garam, bahkan pemerintah. Industri pengguna garam menganggap garam lokal terkendala harga yang tak bersaing dan kualitas di bawah spesifikasi industri seperti kadar NaCl di atas 97%. Kualitas ini dianggap oleh industri pengguna garam belum dipenuhi garam lokal, yang kebanyakan hanya berkadar NaCl antara 87-92%. Hal inilah yang menjadi pertimbangan mereka lebih memilih garam impor.
Sedang dari pihak petani garam, Sekretaris Jendral Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (Sekjen A2PGRI) Faisal Badawi tidak setuju dengan tudingan tersebut. Menurutnya, kualitas garam dalam negeri tidak kalah dibanding garam impor. Buktinya ada beberapa perusahaan yang menggunakan pure garam lokal tapi masuk industri aneka pangan.
Sementara dari pihak pemerintah, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang mengatakan, impor garam terpaksa dilakukan karena industri dalam negeri membutuhkan barang impor. Garam yang dibutuhkan untuk industri mempunyai syarat atau ketentuan yang tinggi. Faktor lain mulai dari penyusutan lahan garam, minimnya intervensi teknologi, faktor lingkungan hingga kebijakan juga membuat impor garam jadi tak terbendung.
Negara Tidak Mandiri dan Oligarki
Ternyata faktor laut Indonesia yang luas, tak menjamin negeri ini mampu mandiri dalam produksi garam berkualitas tinggi. Hal ini karena tidak adanya Political Will dari penguasa untuk memenuhi stok dalam negeri. Kalau sekedar memproduksi garam dengan NaCl di atas 97 % seharusnya negara ini mampu. Kita punya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang cukup untuk membuat garam yang dibutuhkan sektor Industri.
Semestinya pemerintah mengupayakan agar negara ini berdaulat pangan. Karena dengan begitu, mampu menjadi negara yang berdiri di atas kaki sendiri.Tidak tergantung negara asing dan tidak menjadikan jalan bagi negara asing untuk menghegemoni negeri ini.
Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada segelintir importir, tentunya berdampak merugikan petani garam. Bagaimana tidak, dikeluarkannya ijin impor, dengan alokasi yang demikian tinggi (2,92 juta ton) menjadikan produksi garam lokal banyak yang tidak bisa terserap di pasaran. Belum lagi kemungkinan meluasnya peredaran garam impor untuk industri menjadi garam konsumsi. Hal ini tentu berakibat jatuhnya harga garam lokal. Kebijakan impor yang sepihak menunjukkan kalau negara ini oligarki.
Islam Menjaga Ketahanan Pangan
Islam memandang, ketahanan suatu negara tidak hanya diukur dari ketahanan militernya, tapi juga berbagai hal termasuk ketahanan pangan. Diantaranya masalah garam di Indonesia. Negara dalam sistem Islam akan mengayomi seluruh rakyat dari hegemoni negara asing, dan memperhatikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat. Dalam setiap kebijakan asasnya adalah hukum syara' dan demi kemaslahatan seluruh umat, bukan hanya segelintir pengusaha. Hal ini dilakukan penguasa atas dasar sabda Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu (laksana) junnah (perisai), di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya." (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasâ'i, Abu Dawud, Ahmad)
Negara akan mensuport penuh apa-apa yang dibutuhkan petani garam dalam negeri. Jika ketidakmampuan memproduksi garam dengan kadar NaCl di atas 97% dikarenakan kurangnya modal produksi, maka negara akan memberikan dukungan modal tersebut. Bisa dengan pinjaman non riba atau hibah dari pemerintah. Dukungan juga bisa berbentuk penambahan lahan untuk tambak garam, mesin produksi, pembinaan skill dan sebagainya disesuaikan kebutuhan produsen garam.
Negara juga mendukung sektor industri dalam negeri yang sedang berkembang, menjamin kecukupan kebutuhan bahan baku dan bahan penolong seperti garam berkadar NaCl di atas 97%. Negara tidak akan membiarkan sektor industri bergantung kepada bahan baku atau bahan penolong hasil impor. Negara asing apalagi yang terkategori negara kafir harbi fi'lan tidak dibiarkan menguasai negerinya meski hanya dalam masalah impor pangan. Hal ini berpedoman pada firman Allah SWT:
"... Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman." (TQS.an-Nisâ' [4] :141).
Berbagai upaya dilakukan agar mampu menjadi negara yang mandiri dan berdaulat. Dengan demikian, hanya dengan sistem Islamlah ketahanan pangan bisa terwujud.
Wallahu 'a'lam bishshawab.
Posting Komentar