Impor : Antara Solusi atau Membunuh Jati Diri Negeri
Oleh: Mita Nur Annisa (Pemerhati sosial)
Penamabda.com - Satu kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan negeri ini ialah impor, Negeri ini seakan tidak ingin terlepas dari jeratan impor dengan mencoba unjuk gigi serta berdiri sendiri untuk menjadi negeri yang dapat memiliki ketahanan pangan kuat. Dengan memanfaatkan sumber kekayaan alam yang sangat berlimpah tersedia di seluruh penjuru daratan dan lautan. Alhasil dapat mengangkat kondisi rakyat dengan begitu rakyat bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan keterpurukan ekonomi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan secara optimal, malah menjadikan impor sebagai pilihan.
Dilansir oleh CNBC Indonesia, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, terjadi kenaikan kebutuhan garam di 2020, yang tadinya hanya berkisar 3 juta-4,2 juta ton kini menjadi 4,5 juta ton.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanudin mengatakan Indonesia sebenarnya sudah berhasil dalam melakukan swasembada garam.
Safri menjelaskan, target produksi garam nasional pada 2020 adalah sekitar 3 juta sampai 4 juta ton, dan kemudian Indonesia berhasil melakukan produksi sebesar 3,5 juta ton. Artinya, Indonesia sudah bisa memenuhi target produksinya.
"Kalau kita bicara swasembada, kita sudah swasembada, kita sudah capai target. Hanya saja sekarang kebutuhan produksinya meningkat," kata Safri dalam video conference, Minggu (31/5/2020).
Tak hanya pada garam melainkan komoditas sayur-sayuran pun ikut masuk dalam catatan impor dengan jumlah yang terus melonjak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur- sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS).
Merespon hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian ( Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri.
"Kalau ada pengamat yang cerita impor sayuran kita meningkat di tahun 2019, dari data BPS bisa di kroscek, impor tersebut adalah terbesar bawang putih dan kentang industri. Komoditas ini masuk dalam kelompok aneka sayuran. Nyatanya kita masih butuh pasokan besar memang," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (25/5/2020).
Lonjakan impor di saat pandemi semakin menggila setelah Kementerian Perdagangan melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai. Jelas bahwa sangat mudahnya impor terjadi di dalam negeri. Hingga semakin memudahkan siapa pun mengimpor melalui relaksasi yang dikeluarkan Kemendag. Sebagaimana diketahui, aturan relaksasi impor tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, bahwa relaksasi sementara tersebut tidak akan merugikan petani lokal, tetap saja jika kebijakan impor ini berasal dari sistem kapitalisme yang mana hasil dari kebijakan tersebut pasti menomorsekiankan nasib petani lokal dan mendahulukan keuntungan para kapitalis.
Karenanya, rencana swasembada/kemandirian produksi hanya omong kosong semata sebab tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin diperoleh oleh Kementerian Perdagangan. Tak terkecuali para pebisnis yang mendorong diberlakukannya relaksasi syarat impor. Seolah di situasi wabah dijadikan kesempatan untuk alasan mendorong pelonggaran syarat impor.
Dibukanya jalan impor secara gamblang menunjukkan lemahnya ketahanan pangan dalam negeri. Meski rezim berganti-ganti, kekuasaan impor tak akan pernah pupus dan lepas. Impor akan terus masuk dan membanjiri, selama negeri ini tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Ekonomi neolib mengacu pada filosofi ekonomi politik pada akhir abad 20 yang pada prinsipnya menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan adalah agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara berkembang. Hasilnya, kebijakan tersebut membuat negara berkembang sangat sulit membangun pondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung pada asing.
Untuk bisa menyelesaikan kekacauan kebijakan yang terjadi maka dibutuhkam sistem yang dapat memosisikan negara sebagai pelayan bagi rakyat, bukan pengusaha. Termasuk mengangkat sistem ekonomi Islam, bukan ekonomi kapitalisme.
Ekonomi Islam berbasis syariah terbukti selama lebih dari 1.300 tahun telah berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan secara merata tanpa diskriminasi. Islam memiliki seperangkat aturan komprehensif yang mengatur segala aspek termasuk bidang ekonomi yang di dalamnya memuat kebijakan ekspor dan impor.
Dalam sistem ekonomi Islam, ekspor dan impor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya terdapat praktik jual-beli (buyû) dengan berbagai bentuk. Karena itu, hukum asal perdagangan adalah mubah, baik dalam maupun luar negeri sebagaimana hukum umum perdagangan. Hanya saja, terdapat perbedaan fakta antara perdagangan dalam negeri dan luar negeri.
Terkait perdagangan luar negeri, Islam tidak melihat pada aspek barang yang diperdagangkan, tetapi melihat dengan siapa perdagangan itu dilakukan. Misalkan, dengan warga negara kafir harbi, kafir mu’ahad, ataupun warga negara Islam.
Tata cara perdagangan dengan warga negara kafir diatur sepenuhnya berdasarkan perjanjian dengan negara Islam yang disandarkan pada syariat Islam. Kecuali kafir harbi fi’lan yang telah nyata memusuhi negara dan umat Islam. Maka negara tidak diperkenankan membuat hubungan apa pun dengan mereka.
Untuk warga negara khilafah, mereka bebas melakukan perdagangan, baik dalam maupun luar negeri, kecuali untuk komoditas trategis yang dibutuhkan di dalam negeri. Sebab jika diperbolehkan, hal itu dikhawatirkan akan melemahkan kekuatan negara dan menguatkan musuh. Sedangkan terkait status halal dan haram terhadap barang ekspor dan impor, maka sepenuhnya diatur sesuai hukum syariat.
Demikianlah pandangan Islam terkait masalah ekspor dan impor yang termaktub dalam sistem ekonomi Islam. Kebijakan yang jelas membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang, baik muslim maupun nonmuslim. Sebuah sistem yang akan melahirkan kerahmatan dan keberkahan bagi seluruh alam bila diterapkan dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab
Posting Komentar