Tagihan Listrik Bertambah, Bikin Rakyat Gundah
Oleh: Sri Sumartin, S. Pd.
(Pemerhati Sosial Asal Konawe, Sultra)
Penamabda.com - Empat tahun sudah membuka loket pembayaran listrik yang terletak di Jalan Pagala Kelurahan Asambu. April ini banyak menerima keluhan dari pelanggan yang sudah tahunan membayar tagihan listriknya di loket kami. Keluhan itu diutarakan oleh pelanggan non subsidi di Kelurahan Asambu, Kecamatan Unaaha. Tagihan Bulan ini ( pemakaian bulan Juni, red ) naik dibandingkan bulan sebelumnya. Asmin (53) salah satu warga Asambu menunjukkan keheranannya di depanku saat disebutkan Rp. 320.000. Padahal, bulan lalu pun naik 60 ribu dari biasanya yang hanya berkisar 250 ribu per bulannya, sedangkan pemakaian normal dan tidak ada penambahan alat elektronik apapun.
Tak jauh berbeda, Erty (30) yang mengontrak di salah satu rumah di Kelurahan Asambu yang sejak pertengahan Maret meninggalkan rumah tersebut mengaku kaget saat membayar tagihan listrik 320 ribu, jumlah yang sama saat masih berada dirumah tersebut. Padahal, yang tercolok hanya lampu teras dan kulkas. April dan Mei pun membayar dengan tagihan nominal yang sama. Sementara rumah dalam keadaan kosong tak berpenghuni.
Masyarakat mengeluhkan kenaikan tagihan listrik hingga 3 kali lipat dan menduga ada kenaikan secara diam-diam dari PLN. Namun PLN mengelak telah menaikkan listrik selama pandemi. Mereka menjelaskan kenaikan listrik dianggap wajar karena penggunaannya yang meningkat karena Work From Home.
Merespon maraknya keluhan pelanggan terkait lonjakan, PT PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sulselrabar menekankan bahwa tidak ada kenaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) saat ini. Lonjakkan tagihan pada bulan Juni sebagian pelanggan disebabkan tagihan listrik pada bulan April dan Mei menggunakan perhitungan rata-rata pada 3 bulan sebelumnya. Selain itu, kenaikan tagihan listrik ini disebabkan oleh peningkatan konsumsi listrik oleh pelanggan pada saat PSBB yang mana masyarakat banyak beraktivitas di rumah.
Berbeda dengan pernyataan Pengamat Kebijakan dan Pemerintahan Gde Siriana Yusuf yang dilansir dari Teropongsenayan.com (07/06/2020), menilai PLN tidak bisa berdalih alasan kenaikan tarif listrik dikarenakan mengunakan rata-rata tiga bulan terakhir sebagai acuan tagihan bulan Mei.
Gde pun mengatakan bahwa saat masyarakat sedang sulit tidak ada penghasilan karena terdampak Covid-19, semestinya pemerintah memperhatikan kesulitan hidup rakyat bukan malah membebankan rakyat dengan menaikan tarif listrik. Karenanya ia menyatakan bahwa; Pertama, perhitungan tagihan tersebut perlu dikoreksi lagi. Kedua, masyarakat tetap saja perlu biaya ekstra untuk kenaikan listrik meski dicicil. Dirinya juga tak setuju alasan PLN yang katanya kenaikan listrik akibat aktivitas di rumah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pasalnya, PSBB bukan mau masyarakat tapi keinginan pemerintah.
Padahal di tengah keadaan ekonomi yang semakin sulit akibat dampak wabah virus corona, rakyat malah harus menerima kenyataan pahit lagi tentang naiknya tagihan listrik. Seyogianya pemerintah melakukan pendekatan dan meringankan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat di masa pandemi ini.
Terkait hal tersebut tentu bukan hal aneh, di mana dalam sistem Kapitalisme peran negara akan semakin diminimalisir dalam hal mengurusi rakyatnya. Salah satunya dengan makin mengurangi subsidi yang mestinya diperoleh rakyat.
Selain itu, hajat hidup rakyat pengurusannya banyak diserahkan kepada swasta. Maka adanya kenaikan TDL merupakan hal yang wajar, tanpa melihat konidisi terkini masyarakat. Karena sejatinya dalam sistem ini (kapitalisme), untung dan rugilah yang menjadi acuan daripada kesejahteraan rakyat.
Berbeda dalam sistem Islam. Di mana pemimpin senantiasa akan mengutamakan kepentingan hidup rakyatnya ketimbang yang lain. Karena dalam Islam, rakyat adalah tanggung jawab negara untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa pamrih dan perhitungan untung dan rugi baik saat kondisi normal maupun saat terjadi wabah.
Di samping itu, dalam Islam Sumber Daya Alam (SDA) adalah kepemilikan umum yang nantinya hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Sementara negara yang mengelola secara mandiri, juga menjadikan sebagai modal utama untuk menjaga ketahanan ekonomi terlebih disaat terjadi krisis. Sebagaimana Nabi saw bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu: air, rumput (pohon), dan api (bahan bakar).” (HR. Ibnu Majah).
Listrik dalam sistem pemerintahan Islam merupakan bagian dari energi (an-naar) yang merupakan kepemilikan umum. Termasuk dalam kategori api (energi) tersebut adalah sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit dan lain sebagainya. Sehingga negara tidak boleh meraup keuntungan dari kepemilikan umum tersebut, apalagi menyerahkan pengelolaannya kepada swasta maupun pihak asing.
Sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik oleh PT PLN sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara yang juga merupakan milik umum. Abyadh bin Hammal ra, bercerita: “Ia pernah datang kepada Rasulullah saw dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.’ Kemudian Rasulullah menarik pemberiannya dari Abyadh bin Hammal” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).
Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul saw. Memberikan tambang garam itu kepada Abyadh bin Hammal. Namun, ketika beliau diberi tahu bahwa tambang itu seperti “laksana air yang terus mengalir” maka Rasulullah menariknya kembali dari Abyadh. “laksana air yang terus mengalir” artinya cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum. Karena milik umum, bahan tambang migas dan batu bara haram dikelola secara komersil baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil olahannya seperti listrik.
Karena itu, apapun alasannya pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta. Sebab dalam kacamata Islam, negara bertanggung jawab agar setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhannya. Tak terkecuali dalam persoalan listrik baik dari sisi kuantitas maupun kualitas yang secara gratis didapatkan untuk seluruh rakyat tanpa memandang kaya atau miskin, muslim maupun non muslim. Kalaupun rakyat sampai harus membayar listrik, hal itu hanya sekedar untuk menutup biaya produksi tanpa harus membayar biaya keuntungan (Abdurrahman al Maliki- as Si-yasatul al-Iqtishadiyatu al-Mustla).
Dengan demikian, dalam sistem ini sangat sulit untuk melaksanakan program listrik murah, apalagi gratis. Sebab, peran negara kian diminimalkan, ditambah lagi adanya peran swasta yang makin menggurita. Karenanya sungguh indah dan mudahnya manakala segala urusan manusia aturannya diserahkan kepada aturan Sang Pencipta. Karena sejatinya Islam bukan hanya mengatur urusan ibadah kepada penciptanya, tetapi juga urusan sesaman manusia termasuk perkara kelistrikan. Hal itu pun sulit terealisasi tanpa adanya penerapan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Dari itu, hanya dengan kembali pada aturan-Nya, umat akan merasakan kesejahteraan yang sesungguhnya.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Posting Komentar