Lagi, Kapitalisme Gagal Melindungi Perempuan Dari Pandemi
Oleh : Aya Ummu Najwa
Penamabda.com - Bandar Lampung (Lampost.co) -- Data Lembaga Advokasi Perempuan Damar mencatat terdapat 23 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Dari jumlah tersebut, 14 kasus merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Direktur Lembaga Advokasi Perempuan Damar Selly Fitriani mengungkapkan jumlah ini meningkat dari kondisi biasanya. Sebelum ada pandemi Covid-19, pihaknya hanya menerima paling banyak lima aduan tentang kekerasan terhadap perempuan.
"Dari hasil konseling yang kami lakukan kepada korban, faktor ekonomi akibat pandemi menjadi penyebab utama terjadinya peningkatan itu," kata dia, Selasa, 30 Juni 2020.
Lagi-lagi faktor ekonomilah yang menjadi penyebab meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, di tambah lagi pandemi yang masih terjadi, menjadikan kehidupan terasa bertambah sulit. Pemutusan hubungan kerja karena tempat usaha yang gulung tikar, mengakibatkan jumlah pengangguran pun meningkat, bertambah mahalnya kebutuhan pokok, biaya hidup yang terus meningkat, termasuk kebutuhan untuk menyediakan pendidikan dari rumah berupa layanan kuota internet, menambah kekalutan dan kekacauan dalam keluarga.
Kepala keluarga yang tidak bekerja, mengakibatkan pendapatan keluarga pun terhenti, sedangkan kebutuhan hidup terus meningkat, mengakibatkan banyak kepala keluarga kalut dan akhirnya meluapkan kemarahannya pada keluarganya, terutama kepada istri. Kekerasan dalam rumah tangga pun tak terelakkan. Akibatnya di masa pandemi ini, kekerasan terhadap perempuan terus terjadi bahkan cenderung meningkat.
Di sisi lain, negara seakan abai terhadap permasalahan yang melanda negeri. Ketika kebijakan lockdown diterapkan, otomatis ekonomi masyarakat pun ikut terhenti, sedang kebutuhan hidup semakin tinggi, namun ini tidak dibarengi dengan layanan pemerintah kepada rakyatnya. Tunjangan yang minim serta tidak merata menunjukkan pemerintah tak peduli dengan rakyatnya. Bahkan ketika kebijakan new normal diberlakukan di tengah pandemi yang masih belum tuntas, hanya karena alasan ekonomi, ini dibuktikan dengan terbukanya akses tenaga kerja asing dan sektor pariwisata, alih-alih menuntaskan dan memberantas wabah dengan serius adalah bukti bahwa negara tidak memikirkan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Kapitalisme, yang menggaungkan kesetaraan laki-laki dan perempuan pun telah memaksa perempuan keluar rumah untuk memenuhi tuntutan hidup. Sungguh, hari ini seakan tidak ada pekerjaan laki-laki yang tidak bisa dilakukan perempuan. Dari buruh tani, tukang ojek, kondektur, hingga kepala negara. Seakan sudah menjadi zamannya perempuan maju 'setara' dengan laki-laki dalam kehidupan.
Dalam sistem demokrasi kapitalis yang serba mahal, memaksa manusia berpikir bahwa wajar jika semua orang merasa dituntut untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan publik. Tuntutan kebutuhan yang kian meningkat membuat batasan fitrah laki-laki dan perempuan semakin memudar.
Pekerjaan yang selayaknya untuk laki-laki, dianggap layak juga untuk perempuan. Bahkan pekerja perempuan adalah komoditi yang diunggulkan. Maka, banyak sekarang ini laki-laki yang menganggur dan berdiam diri di rumah, sedang para perempuan keluar rumah memenuhi segala kebutuhan. Karena pola pikir inilah, ketika perempuan banyak di rumah, ekonomi macet karena pandemi, para laki-laki gagap dan melampiaskan emosinya kepada perempuan.
Sesungguhnya dalam Islam, kaum perempuan sangat dimuliakan, mereka ditempatkan dalam kedudukan yang agung. Mereka mempunyai tugas yang mulia yaitu Ummun sebagai ibu pencetak generasi, pendidik utama,pengasuh anak-anak, pembina generasi, menyiapkan mereka untuk siap melanjutkan perjuangan dan memegang kepemimpinan masa depan, dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan segalanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal. Juga sebagai Robbatun bait yaitu pengurus rumahtangga suaminya, mengurus harta suaminya, dan membina keluarganya.
Padahal, sebagai pencetak generasi penerus bangsa seharusnya perempuan mendapatkan pelayanan dan jaminan yang baik dari negara, akses pendidikan bagi perempuan dipermudah, lapangan pekerjaan bagi laki-laki diperbanyak sehingga perempuan bisa fokus untuk menjalankan kewajibannya. Bukan malah disuruh keluar dari rumah-rumah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagaimana yang terjadi hari ini.
Karena mencari nafkah adalah tugas seorang suami, dengan negara yang menyediakan dan memfasilitasi lapangan pekerjaan, maka seorang istri akan fokus untuk menjalankan tugasnya tersebut. Dia tidak akan diganggu dengan urusan pemenuhan kebutuhan keluarga yang akhirnya melalaikannya dari tugas utamanya. Maka akan didapati rumah tangga yang berjalan harmonis sesuai dengan kodrat yang Allah tentukan, dan anak-anak Shalih, generasi unggul pun akan dapat diraih.
... وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.. (Surat Al-Baqarah, Ayat 233)
Namun cita-cita ini ini tidak akan dapat terwujud jika sistem hidup yang dijalani masih menggunakan sistem kapitalisme, karena sudah menjadi sifat alami kapitalisme untuk menyalahi dan merusak tatanan kehidupan. Maka yang harus dilakukan adalah mengubah sistem kapitalisme yang rusak dan merusak ini menuju sistem yang manusiawi, yang sesuai dengan fitrah msnusia, yaitu Islam, yang akan melindungi tidak hanya perempuan dan generasi, namun seluruh manusia muslim maupun non muslim, akan ikut merasakan kesejahteraan.
Wallahu a'lam
Posting Komentar