Menjaga Ketahanan Keluarga di Tengah Wabah
Oleh: Najah Ummu Salamah
Penamabda.com - Wabah covid-19 yang sedang berlangsung tidak hanya menimbulkan korban nyawa. Wabah tersebut juga berdampak pada ketahanan keluarga. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus perceraian yang didaftarkan di pengadilan agama selama terjadi wabah.
Bahkan setelah pemerintah menetapkan kebijakan new normal, Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Semarang mencatat kenaikan drastis kasus perceraian selama masa pandemi virus corona (covid-19). Kenaikan kasus hingga tiga kali lipat itu disinyalir disebabkan oleh masalah ekonomi dalam rumah tangga.
Setiap hari panitera setidaknya menerima 100 orang yang mendaftarkan gugatan perceraian. Sekitar 80 persen penggugat datang dari pihak perempuan atau istri. (CNNIndonesia TV, 24/06/2020).
Banyak pihak yang memprediksi tren angka perceraian semakin tinggi jika covid-19 belum juga terhenti. Hal ini terjadi akibat dua hal yang paling menonjol yaitu masalah ekonomi dan depresi.
Perceraian dengan alasan ekonomi lebih dominan. Hal ini terjadi akibat kasus PHK dan lumpuhnya aktivitas ekonomi selama wabah. Sehingga tidak tercukupi kebutuhan nafkah menimbulkan masalah keluarga.
Penyebab kedua adalah depresi. Ketidak harmonisan keluarga akibat buruknya komunikasi antar suami istri juga menjadi penyebab perceraian selanjutnya. Bahkan selama #StayAtHome intensitas pertemuan suami istri hampir dua puluh empat jam. Potensi perselisihan juga semakin besar jika sebelumnya sudah terdapat masalah. Munculnya stres dan depresi karena jalan keluar yang buntu tanpa ada solusi.
Ketahanan keluarga menjadi rapuh seiring berjalannya waktu. Lebih-lebih saat terjadi wabah covid-19. Perceraian meskipun sesuatu yang dibolehkan tapi dibenci oleh Allah SWT. Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian" [H.R. Abu Daud dan Hakim]
Bahkan perceraian meskipun terkadang menjadi solusi, namun berdampak pada psikologi kedua belah pihak suami ataupun istri. Bahkan jika perceraian dilakukan dengan cara yang tidak ma'ruf berakibat fatal bagi psikologi anak-anak.
Dampak dari perceraian lainnya adalah munculnya fenomena anak-anak yang broken home. Selain itu juga terjadi kenakalan remaja akibat runtuhnya benteng keluarga.
Tentu harus ada upaya preventif sebelum wabah covid-19 ini berdampak pada runtuhnya ketahanan keluarga. Upaya dari sisi pribadi, masyarakat dan negara.
Secara pribadi, bagi pasangan muslim tentu harus ada upaya meningkatkan iman dan taqwa. Mengkaji Islam secara kaffah. Hal ini diperlukan untuk mengurai stres dan depresi. Kesempatan #StayAtHome harus banyak-banyak digunakan untuk membangun kesadaran bersama tentang tujuan pernikahan. Merefresh visi dan misi pernikahan.
Tujuan pernikahan di dalam Islam adalah bersama meraih sakinah, mawaddah, wa rahma. Agar darinya terlahir generasi sholih-sholihah. Pernikahan adalah ibadah terlama, bahkan seumur hidup. Sebuah ikatan kuat yang disebut Mitsaqon Gholidha atau "perjanjian agung" (lihat dalam QS. Al-Nisa: 21).
Maka dengan adanya covid-19, seharusnya pasangan suami istri harus menguatkan kerja sama, saling bahu-membahu mengarungi bahtera rumah tangga yang sedang di uji badai wabah.
Masyarakat juga sangat berperan penting sebagai pengontrol. Pemikiran dan perasaan serta aturan yang ada di masyarakat bisa menjadi sarana yang mampu mencegah keretakan keluarga. Masyarakat bisa berpartisipasi membuat forum-forum yang mengedukasi keluarga.
Kepedulian masyarakat juga sangat dibutuhkan, lebih-lebih jika ada warga yang lemah dalam hal ekonomi. Sikap gotong royong, saling berbagi dan melindungi sangat dibutuhkan bagi suatu institusi keluarga.
Negara pun sebagai payung pelindung institusi keluarga memiliki peran lebih luas lagi. Negara berwenang menghapus faktor utama penyebab perceraian. Terutama faktor ekonomi. Negara berkewajiban memastikan setiap warga negara mendapatkan kebutuhan pokoknya. Kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan jaminan keadilan. Negara juga bisa membuat forum-forum pembinaan untuk menjaga ketahanan keluarga.
Namun, semua upaya di atas akan sulit terealisasi jika negri ini masih dalam sistem kapitalis. Sebuah sistem yang hanya menjadikan materi sebagai pijakan dalam semua tindakan dan kebijakan. Jangankan mencegah dampak wabah pada ketahanan keluarga, menurunkan angka positif covid-19 dan penyebarannya saja belum terealisasi nyata.
Sudah saatnya umat kembali pada Islam Kaffah. Dalam bingkai syari'ah dan khilafah. Sebuah sistem yang menjaga keluarga dari keretakan di saat ada wabah ataupun tidak. Sehingga dari keluarga yang kuat terlahir pemimpin dan pahlawan hebat. Seperti Sholahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, Sulayman Al-Qonuni dan masih banyak lagi.
Wallahu a'lam Bi ash-showab
Posting Komentar