New Normal Dalih Ekonomi, Justru Kasus Semakin Tinggi
Oleh : Anita Arwanda
Penamabda.com - Dewasa ini, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan bahwa produktif ditengah masa pandemi virus corona (COVID-19) atau masa New Normal semakin berisiko di sejumlah daerah hingga menciptakan rekor baru dalam per hari. Berdasarkan data tanggal 04 Juli 2020 tercatat jumlah positif COVID-19 mencapai 1.447 kasus, sehingga total kasus positif mencapai 62.142, yang dinyatakan sembuh 28.219 dan meninggal 3.089. Berdasarkan wilayah, penyebaran di Jawa Timur masih tertinggi dengan 413 kasus baru, DKI Jakarta 223 kasus baru, Sulawesi Selatan 195 kasus baru, Jawa Tengah 110 karus baru, Bali 91 kasus baru dan Jawa Barat 88 kasus baru Dikatakan oleh Juru Bicara Khusus Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto saat telekonferensi,”Gambaran-gambaran ini menyakinkan kita bahwa aktivitas yang dilaksanakan untuk mencapai produktivitas kembali dibeberapa daerah masih beresiko.
Ini karena ketidakdisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan,” (Vivanews.com, 04 Juli 2020) Dia mengakui, saat ini, aktivitas untuk produktif memang sangat diperlukan masyarakat Indonesia, namun hal itu Yuri tegaskan mempersyaratan aman dari COVID-19 dan hanya bisa dicapai manakala masyarakat disiplin dan ketat menjalankan protokol kesehatan.
Padahal Pemerintah mengatakan anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang sebesar Rp87,55 triliun tidak akan bertambah hingga akhir tahun walalupun kasus positif Covid-19 saat ini semakin banyak dengan jumlah penambahan rata-rata per hari diatas 1000 kasus. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha dalam diskusi virtual mengatakan, kasus positif saat ini memang semakin tinggi karena tes yang semakin banyak, namun rasio kasus sebenarnya sama, “Anggaran yang dialokasikan tersebut sudah mempertimbangkan perkiraan dan modeling untuk jumlah kasus hingga ratusan ribu orang yang positif Covid-19 hingga akhir tahun,” (www.aa.com, 04 Juli 2020).
Rincian alokasi anggaran kesehatan penanganan Covid-19 yang sebesar Rp87,55 triliun tersebut antara lain untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp65,8 triliun, insentif tenaga medis Rp5,9 triliun, santunan kematian Rp0,3 triliun, bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) Rp3 triliun, anggaran Gugus Tugas Covid-19 Rp3,5 triliun, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan Rp9,05 triliun. Jadi Pemerintah beranggapan naiknya kasus hanya karena tes yang semakin massif, bukan karena tidak diputusnya rantai penyebaran. Seolah sesuatu yang wajar, bahkan prestasi pemerintah yang menunjukan sudah dilakukan tes ke lebih banyak orang. Sedangkan data kasus yang dikatakan pemerintah ke media hanya sebagian masyarakat, karena masih banyaknya masyarakat yang belum melakukan tes dibeberapa daerah. Justru program pelonggaran PSBB lah yang seharusnya dievaluasi. Dan pemerintah segera membuat terobosan penanganan termasuk meningkatkan anggaran penanganan.
Dalam hal ini pemberlakuan New Normal dengan dalih menyelamatkan ekonomi Indonesia justru mengancam nyawa manusia yang sejatinya merupakan penggerak ekonomi. (namun jika di hilangkan) Seharusnya pemerintah mengedepankan kesehatan masyarakat terlebih dahulu (maka pemerintah hilang) dengan cara menanggung kebutuhan rakyat secara mutlak. Hal ini mampu diwujudkan pemerintah karena kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang melimpah, apabila dikelola dengan baik bukan diserahkan kepada asing secara gratis seperti saat ini. Sedangkan sumber pemasukan APBN pemerintah justru berasal dari sektor pajak dan hutang. Hal ini tidak mengherankan karena paradigma sistem Kapitalis di negeri ini yang mana mereka menganggap bahwa pengeluaran anggaran untuk rakyat merupakan sebuah beban (karena ganti) dan tidak memberikan keuntungan. Oleh karena itu, sangat wajar jika pemerintah pusat maupun daerah tetap memberlakukan new normal meski data kasus semakin melonjak.
Lalu bagaimana solusi yang tepat dalam penanganan wabah ini?
Tentunya bukan solusi yang sekedar uji coba sehingga mengorbankan nyawa rakyat, namun solusi sistematis dengan mekanisme yang jelas dalam mengatur urusan negara termasuk menangani wabah yakni penerapan sistem Islam (Khilafah). Kenapa harus sistem Khilafah? Karena sistem ini satu-satunya yang memiliki seorang pemimpin (Khalifah) sebagai pelayan umat, bukan pencitraan. Khalifah mengedepankan amanah Allah yang akan dipertanggungjawabkan sampai ke akhirat sehingga berusaha mengerahkan segala potensi dan tenaga untuk kesejahteraan rakyat dengan penerapan aturan dari Sang Pencipta.
Sedangkan dalam penanganan wabah, Khalifah terlebih dahulu memutus rantai penyebaran virus di sejumlah daerah, hal ini didasarkan pada hadist Rasulullaah shalallaahu’alaihi wa sallam, "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari). Jadi ketika terdengar wabah disuatu daerah maka Khalifah segera memisahkan antara orang yang sakit dengan yang sehat di suatu daerah agar daerah yang tidak terjangkit wabah dapat menjalankan ekonomi secara normal. Kemudian adanya integrasi Khalifah dengan sejumlah penguasa di setiap daerah agar penyaluran bantuan logistik maupun tenaga medis dapat merata dan cepat.
Selain itu, Khilafah juga menanggung secara mutlak kebutuhan masyarakat. Dalam kitab karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabbani dijelaskan bahwa pengeluaran anggaran saat adanya pandemi diperoleh dari dana pos kepemilikan umum dan kepemilikan negara Baitul Mal. Sedangkan untuk inovasi pengobatan, Khalifah memberikan dukungan anggaran penuh kepada pihak yang memiliki kemampuan dalam mencari vaksin untuk menyembuhkan penyakit. Inilah solusi yang sangat tepat dalam penanganan wabah saat ini.
wallaahu’alam bi shawab.
Posting Komentar