Kedok Feminis Di Balik RUU PKS
Oleh : Sri Indrianti
Penamabda.com - Desakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali mencuat. Dilansir dari kanal YouTube Tempodotco pada 6 Agustus 2020, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menilai RUU PKS harus segera disahkan karena Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Urgensinya sangat besar. Tidak hanya berdampak pada korban saja, tapi pada pola pikir masyarakat secara luas.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak 1 Januari-31 Juli 2020, mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa mencapai 3.179 kasus dengan 3.218 korban, sedangkan korban kekerasan seksual tercatat 459 kasus. Sumber data yang sama juga mengungkap, ada 3.928 kasus kekerasan anak sejak Januari hingga 17 Juli 2020. (tempo.co, 10/8/2020)
Tingginya angka kasus kekerasan seksual baik yang menimpa perempuan dewasa maupun anak-anak menjadi pendorong agar RUU PKS segera disahkan. Dengan dalih, RUU PKS ini bisa menjadi payung regulasi jika terjadi tindak kekerasan dan bisa menjerat pelaku dengan hukuman yang setimpal. Terkesan bahwa RUU PKS ini berdampak baik terhadap penurunan angka kasus kekerasan seksual.
Namun setelah diteliti lebih lanjut, nyatanya RUU PKS ini hanyalah kedok dari kaum feminis untuk melancarkan aksinya mencengkeramkan paham liberal pada kehidupan kaum muslimin. Bahkan bisa dikategorikan bertentangan syariat islam.
Ternyata, RUU PKS ini hanya menitikberatkan pada istilah "pemaksaan". Artinya, jika perbuatan zina dilakukan atas dasar suka sama suka maka tidak ada pelaku dan korban. Otomatis perbuatan zina tersebut tidak bisa dijerat melalui RUU PKS ini. Bahkan, LGBT dan perilaku menyimpang lainnya tidak dianggap sebagai kekerasan seksual apabila dilakukan tanpa paksaan.
Menilik dari itu semua, jelas terlihat bahwa RUU PKS ini kental aroma sekuler-liberal. Tak pantas untuk diperjuangkan. Apalagi turut berharap bahwa pengesahan RUU PKS ini segera dilaksanakan.
Apabila kita melihat betapa tingginya angka kasus kekerasan seksual di negeri ini, titik persoalannya ada pada sistem. Tak bisa dipungkiri, sistem yang berlaku di Indonesia merupakan Sistem Kapitalisme-Sekuler dengan paham liberalnya. Otomatis kebebasan berperilaku menjadi suatu keharusan. Kebebasan inilah sebenarnya yang memicu tingginya angka kasus kekerasan seksual.
Islam memuliakan perempuan dengan sejumlah aturan yang mengiringinya. Bukan untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, namun sejumlah aturan tersebut dalam rangka memuliakan perempuan muslimah.
Aturan tersebut secara rinci mengatur mulai dari cara berpakaian muslimah dalam kehidupan publik, bagaimana cara berperilaku dengan lawan jenis yang sering menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual, sampai bagaimana cara bersikap menjadi istri dalam sebuah rumah tangga.
Jika aturan tersebut dilaksanakan insya allah tidak akan ada lagi kasus kekerasan seksual. Kalaupun ada jumlahnya sangat minimalis karena sebenarnya ketika aturan Islam dilaksanakan oleh negara maka betul-betul akan membuat pelaku jera.
Sehingga dari sini selain pentingnya melaksanakan aturan Islam dalam kehidupan pribadi, aturan yang diterapkan negara juga jauh lebih penting. Karena aturan negara berdasarkan syariat islam inilah yang melindungi masyarakat dari adanya kekerasan seksual.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Mu'tashim yang melindungi seorang muslimah yang mendapatkan pelecehan dari orang romawi. Puluhan ribu pasukan dikerahkan khalifah menuju ammuriah yakni tempat dimana muslimah tersebut dilecehkan. Panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Kota Ammuriah pun dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi. Begitulah tindakan khalifah hanya untuk melindungi satu orang muslimah.
“Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Posting Komentar