KERJASAMA VAKSIN, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?
Oleh : Ummu Adib
Penamabda.com - Pemerintah Indonesia akhirnya benar-benar melakukan kerjasama dengan perusahaan Sinovac Biotech asal Beijing, Tiongkok, dalam pengembangan vaksin melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kesehatan, PT Bio Farma (Persero). Keputusan menjalin kerjasama ini bukan tanpa alasan, mengingat Sinovac merupakan salah satu dari empat perusahaan dunia yang melakukan pengembangan tahap akhir vaksin covid-19. Sebelumnya Sinovac juga sudah berpengalaman dalam pengembangan vaksin beragam virus yang menjadi epidemi maupun pandemi, seperti SARS, flu domestic, atau flu yang disebabkan virus H1N1.
Di sisi lain pemerintah juga mempertimbangkan keuntungan yang bisa didapatkan dengan adanya kerjasama tersebut. Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengungkapkan kerja sama tersebut akan menguntungkan Indonesia. Menurutnya, ada proses transfer teknologi yang dilakukan Sinovac kepada Bio Farma. “Jadi, dari teknologi yang diberikan ke kami, walau nanti mulainya dari downstream baru nanti ke upstream,” ujarnya. Nantinya, bahan aktif diberikan ke Bio Farma, selanjutnya baru akan diracik dan diformulasikan di Indonesia.
Keuntungan lainnya, kata Bambang, uji coba ini bakal memberi informasi terkait respons vaksin pada penduduk Indonesia. Dengan demikian, kecocokan vaksin bakal dapat diketahui ketimbang membeli vaksin dari luar yang belum diuji di Indonesia (Kompas.Com, Rabu,5/8/2020).
Kerjasama itu pun disambut positif oleh pengurus Perhimpunan Alumni dan Persahabatan Indonesia-Tiongkok (Perhati) Fathan Asaduddin Sembiring. Menurutnya, kerja sama Bio Farma-Sinovac baik bagi Indonesia karena banyak turunan dari kerja sama pengetesan vaksin Covid-19 yang justru bisa menjadi titik tahapan peningkatan kualitas industri kesehatan nasional, di samping juga turut membuka lapangan kerja dengan penyerapan sumber daya manusia dalam negeri dan efek berantai dari naiknya tingkat serapan komponen dalam negeri (TKDN), terutama di sektor kesehatan (Kompas.com, Selasa, 4/8/2020).
Vaksin Menjadi Bisnis Menggiurkan bagi Para Kapital
Upaya pengembangan vaksin Covid-19 yang dilakukan pemerintah ini memang seakan-akan memberi harapan di tengah pandemi covid yang tak kunjung melandai ini. Bagaimana pun vaksin masih tetap dianggap sebagai salah satu cara mengatasi virus ini. Namun, di dalam sistem kapitalis segala sesuatunya bisa saja terjadi. Apa yang nampak seolah-olah untuk kepentingan masyarakat, sejatinya hanyalah untuk kepentingan para pemodal. Ya, vaksin akhirnya menjadi lahan bisnis yang menggiurkan bagi mereka. Maka, keuntungan yang ditonjolkan pemerintah dalam kerjasama ini patut untuk mendapatkan perhatian. Jangan sampai kerja sama ini berujung business to business, yang memonopoli kepentingan umum demi keuntungan segelintir pihak. Sementara rakyat kembali menjadi objek yang dirugikan.
Tak bisa dipungkiri, di bawah naungan kapitalisme, apapun bisa jadi uang. Tidak terkecuali pada saat pandemi seperti ini. Sejak awal virus ini mewabah, pelan tapi pasti alat-alat kesehatan mulai langka. Masker dan handsanitizer menjadi barang mewah yang susah dicari dan dibeli, rapit test dan swab test nyata-nyata dikomersialisasi. Tak perduli masyarakat mampu atau tidak membeli. Sekarang giliran vaksin Covid-19 yang diprediksi akan menjadi sumber keuntungan baru bagi para kapitalis yang bergerak dalam bidang farmasi.
Di mana posisi negara dalam hal ini? Ironis sekaligus miris, ternyata negara pun ikut ambil bagian dalam bisnis vaksin ini, sebab dalam paradigma kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan kapitalis global. Sementara urusan rakyat diurus berdasarkan untung dan rugi. Negara berkolaborasi dengan para kapital berperan sebagai penjual, sedangkan rakyat menjadi konsumennya.
Selanjutnya vaksin akan menjadi sebuah komoditi yang susah terbeli karena tidak gratis lagi. Bahkan harganya bisa jadi melambung tinggi. PT Bio Farma (Persero) memprediksi harga jual vaksin Covid-19 yang akan mulai diproduksi massal tahun depan akan berkisar antara USD5-USD10 atau setara dengan Rp73.500-Rp 147.000 (kurs Rp14.700 per USD) per dosisnya. Hal tersebut setelah dilempar ke pasar (OkeZone.Com, Selasa, 21/7/2020).
Ujung-ujungnya, karena kurangnya daya beli vaksin di tengah masyarakat, akhirnya keluarlah kebijakan VAKSIN WAJIB BELI! Kalau tidak, akan berakhir di bui, karena dianggap meremehkan keselamatan diri dan membahayakan orang lain. Ini mungkin saja terjadi di negara yang pemerintahnya sudah tidak punya hati.
Pengembangan Vaksin dalam Islam
Islam memandang bahwa hajat hidup rakyat menjadi kewajiban negara untuk mengurusnya. Kemaslahatan dan kepentingan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam mengambil segala kebijakan negara. Karena itu pengurusan hajat hidup rakyat berdasarkan faktor keuntungan, jelas tidak akan pernah ditemui di dalam Islam.
Di masa pandemik, negara dituntut untuk cepat, tepat dan tegas dalam mengambil langkah preventif maupun kuratif. Penemuan dan pengembangan antivirus dan vaksin dilakukan dalam rangka mendapatkan obat yang tepat bagi rakyat. Tentunya, dengan memfokuskan pada aspek kelayakan dan keamanan, bukan pada aspek ekonomis semata. Untuk itu, negara membuka kesempatan dan dukungan sebesar-besarnya bagi upaya para ilmuwan secara universal dalam rangka penemuan vaksin. Dukungan ini tidak hanya pada dana saja, tapi juga pada fasilitas dan kemudahan dalam mengakses informasi dan pencarian bahan penelitian.
Sejarah mencatat dengan tinta emas, bagaimana luar biasanya dukungan Sultan Abdul Hamid pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah pada setiap individu dan institusi, yang melakukan penelitian dan penemuan yang menguntungkan umat manusia. Bukan hanya di dalam negeri, bahkan di luar negerinya.
Ahli Kimia dari Paris, Louis Pasteur, penemu metode pengobatan rabies, mendapat apresiasi dan dukungan dari Sultan Abdul Hamid. Saat semua kepala negara dan otoritas medis di Eropa, tidak mau membantu dan mengabaikan surat permintaan bantuannya. Sultan Abdul Hamid justru membantu Pasteur dengan menawarkan layanan besar bagi kemanusiaan. Sultan memberikan medali prestasi negara tertinggi, yang merupakan penghargaan tertinggi, sebagai hadiah untuk penemuannya dan menyumbang 10 ribu Franc untuk lembaganya. (Majalah Al-Wa’ie edisi Syawal, 1-30 Juni 2020).
Terbukti, hanya dalam naungan sistem Islam yang diterapkan secara kafah dalam bingkai negara, hajat hidup rakyat diurus dan dijaga. Negara tegak demi kemaslahatan dan kepentingan umat. Sebaliknya, selama dalam naungan sistem kapitalisme, hajat hidup rakyat terus-terusan dianiaya dan diperkosa, demi kepentingan para kapitalis. Sebab kemaslahatan dan kepentingan rakyat diukur dari untung-rugi. Untung bagi para kapitalis, rugi bagi rakyat. Saatnya berpaling kepada Islam sebagai solusi.
Allahu a’lam bish showab.
Posting Komentar