Khilafah, Sistem Penjamin Keadilan
Oleh : Afifah Nur Amalina Asfa
Penamabda.com - Khilafah merupakan sebuah isu yang semakin ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat. Tak hanya politikus ataupun ulama, kata khilafah juga menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat awam. Tak sedikit masyarakat yang setuju dengan ide ini, namun juga tak sedikit masyarakat yang menolaknya dengan mentah-mentah. Lalu sebenarnya, apakah khilafah itu?
Khilafah merupakan sebuah sistem kepemimpinan Islam yang di dalamnya akan diterapkan hukum-hukum Islam. Hukum Islam bukanlah sebuah hukum yang menyengsarakan umat non-muslim, melainkan sistem ini merupakan sistem yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat. Ketika sistem ini diterapkan, maka tak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam. Sistem ini akan memberi kebebasan bagi umat non-muslim untuk menjalankan keyakinannya.
Jika kita amati, khilafah merupakan sistem pemerintahan yang paling kuat ikatannya. Sistem ini tidak terbatas hanya dalam satu negara ataupun beberapa negara, melainkan penyatu dari seluruh negara di dunia.
Dalam aspek ekonomi, khilafah akan menjamin setiap warganya memperoleh kebutuhan yang cukup guna menunjang kehidupannya. Sistem ini tidak akan membiarkan masyarakatnya kelaparan dan tidak punya tinggal sedangkan pemimpinnya sedang menikmati kehidupannya. Pemimpinnya atau yang disebut khalifah adalah seseorang yang tidak haus akan harta. Dia adalah seseorang yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah yang diembannya.
Dalam aspek pendidikan, khilafah akan menyediakan pendidikan secara gratis. Penguatan aqidah merupakan hal awal yang harus dipelajari setiap individu. Selain itu, akan ada pemerataan kualitas pendidikan. Jadi, setiap orang yang tinggal di kota maupun desa akan mendapat kualitas pendidikan yang terjamin mutunya.
Di dalam khilafah juga tidak akan terjadi diskriminasi warna kulit ataupun ras. Sistem ini akan memberlakukan setiap individunya dengan adil.
Jika umat Islam mau mencermati dan menelusuri sejarah Islam di Indonesia, maka sesungguhnya beberapa wilayah Indonesia pernah menjadi bagian dari Khilafah. Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik riil umat Islam.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, muncullah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan Kekhilafahan Abbasiyah, kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila menemukan banyak sekali kesultanan Islam di Nusantara sesungguhnya merupakan bagian Kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam.
Ketika Kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara yang masih beragama Hindu sekalipun mengakui kebesaran Khilafah. Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah.Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Ditemukan dalam sebuah diwan (arsip) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya. Tatkala mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh hidayah. Pada tahun 718, Sri Indrawarman akhirnya mengucap dua kalimat syahadat. Sejak saat itu kerajaannya disebut orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Tidak lama setelah Sri Indrawarman bersyahadat, pada 726 M, Raja Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Tengah), putra dari Ratu Sima juga memeluk agama Islam.
Aceh Darussalam juga merupakan bagian dari jejak khilafah di nusantara. Aceh mengikatkan diri dengan Kekhalifahan Islam Turki Ustmaniyah. Sebuah arsip Utsmani berisi petisi Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai Kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya.
Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sebab itu, Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis).
Di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah itu. Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun seluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, Malaka. Laksamana Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugis di Samudra Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan Kekhalifahan di Istanbul, Turki.
Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syekh Abdullah Kan’an sebagai guru dan mubalig. Sekitar 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab yakni Syekh Abdul Khair dan Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli (yang nantinya menjadi qadhi atau hakim).
Di Pulau Jawa ada yang disebut sebagai wali songo. Di dalam Kitab Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah terungkap bahwa para dai tersebut adalah utusan Sultan Muhammad I dari Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Rombongan I dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1404 M. Bersama dengan beliau ada Syaikh Subaqir, Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) dan Syaikh Jumadil Kubro. Kedatangan para dai tersebut secara bergelombong dalam 5 rombongan berturut - turut. Termasuk pula Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) menjadi ketua rombongan dai menyusul rombongan Maulana Malik Ibrahim. Fragmen demikian menunjukkan bahwa keberadaan Khilafah sebagai institusi yang konsen dalam mendakwahkan Islam.
Demikianlah beberapa bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara beberapa kesultanan di Nusantara dengan negara khilafah. Dari sejarah ini, kita bisa melihat bahwa khilafah ialah sistem yang menyatukan seluruh negara. Ketika suatu negara membutuhkan bantuan dari negara lain, maka dengan sigap, khalifah akan mengutus suatu pasukan yang ditugaskan di negara yang membutuhkan bantuan.
Maka, sebagai umat muslim sudah sepatutnya tidak mencaci ataupun pobia dengan khilafah. Khilafah merupakan janji nabi yang kelak pasti akan terwujud. Hanya dengan khilafah, keadilan dan kesejahteraan bisa kita dapatkan. Berbeda dengan sistem sekarang, yang mana kesejahteraan tidak merata. Korupsi merajalela. Sebab, pemimpin di zaman ini tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya, mereka hanya berpikir bagaimana ia dapat menikmati hidupnya dengan sejumlah harta yang ia miliki. Semoga khilafah segera terwujud dan kita bisa menjadi pribadi yang berperan besar dalam penegakan khilafah.
Posting Komentar