Membangun Rasa Percaya Diri Pada Buah Hati
Oleh: Najah Ummu Salamah
Penamabda.com - Pagi itu tiba-tiba si sulung cemberut setelah mendengar tugas daring dari guru olahraganya. Padahal awalnya dia semangat dan ingin segera membaca pesan di group WhatsApp kelasnya.
Dan ternyata tugas olahraganya adalah lompat tali kemudian divideo dan dikirimkan.
Bagi sebagian anak yang lincah dan kinestetik mungkin ini tugas yang mudah. Namun tidak bagi si sulung. Sejak kelas satu sekolah dasar semua jenis kegiatan olahraga dia suka, kecuali lompat tali. Bagi dia ini hal yang susah. Dia selalu tidak percaya diri untuk mencoba dan berlatih lompat tali.
Pernah dia mencoba lompat tali saat ada jam olahraga. Gurunya pun sudah memberi motivasi. Namun ia malu mencoba karena khawatir ditertawakan temannya.
Penyebab Anak Kurang Percaya Diri
Rasa percaya diri yang rendah kadang muncul tak terduga pada buah hati kita. Dan hal ini cukup menganggu perkembangan potensinya. Menghambat aktifitas positif yang harusnya dia lakukan.
Padahal sikap percaya diri pada anak sangatlah penting di masa tumbuh kembangnya. Dengan rasa percaya diri, anak merasa memiliki potensi untuk mencoba hal-hal baru positif yang dia ketahui.
Tanpa sikap percaya diri anak akan tumbuh dengan sikap rendah diri. Merasa minder dan malu melakukan hal-hal baru yang positif. Sehingga menghambat pembentukan watak dan potensi yang dia miliki.
Anak yang rendah diri akan mudah menyerah pada tantangan. Bahkan ada yang cenderung menarik diri dari lingkungan. Tertutup dan sulit bergaul. Banyak potensi positif yang kurang tergali.
Banyak penyebab anak yang kurang pede. Beberapa diantaranya;
Pertama, adalah bullying. Bullying berupa ejekan dari lingkungan keluarga dan teman. Orangtua dan lingkungan teman yang kurang mendukung berkembangnya kemampuan anak. Serta melontarkan ejekan yang selalu meremehkan kemampuan anak saat mencoba hal yang baru. Stetemen yang menjatuhkan harga diri anak mengakibatkan sikap pesimis terhadap keadaan. Sehingga anak cenderung tidak percaya pada kemampuan dirinya.
Kedua, sering dilarang. Saat anak masih di usia dini, dorongan rasa ingin tahu dan mencoba hal baru sangatlah kuat. Sehingga dalam hal ini Orangtua harus memberikan kesempatan anak-anak mencoba kemampuan mereka. Tentunya harus dengan pengawasan dan pendampingan Orangtua. Jangan sampai hanya karena Orangtua malas membereskan rumah, maka anak dilarang bermain puzzle, pasir ajaib di dalam rumah.
Tetap memberikan kesempatan anak-anak bermain, berarti memberikan kesempatan mereka belajar. Orangtua bertugas membuat aturan main supaya anak-anak terbiasa merapikan mainan saat sudah selesai.
Ketiga, sering dimarahi. Memarahi anak memang boleh pada hal-hal yang mengarah pada maksiyat. Sedangkan pada hal-hal yang bersifat mubah, maka anak cukup diberikan pengertian dan penjelasan. Jangan sampai Orangtua terbiasa marah pada hal apapun. Hal ini mengakibatkan anak akan selalu takut mencoba hal baru. Karena dia tidak percaya dirinya bisa.
Dengan demikian, sebenarnya pola asuh Orangtua yang paling dominan membentuk pola jiwa tidak percaya diri pada anak. Orangtua yang percaya diri pasti akan menjadi contoh langsung bagi anak tentang konsep dirinya.
Peran Orangtua Membangun Sikap Percaya Diri.
Sungguh Islam menempatkan pengasuhan dan pendidikan buah hati kepada ayah dan bunda. Dan saat masih dalam usia hadhonah (pengasuhan) , sang ibulah yang banyak berperan membangun pola jiwa anaknya. Termasuk membentuk pola kepribadian percaya diri.
Maka, banyak hal yang bisa dilakukan ayah dan bunda untuk mencetak generasi percaya diri. Beberapa diantaranya:
Pertama, selalu memberi dukungan dan motivasi kepada buah hati untuk mengasah kemampuannya. Selagi hal baru yang ingin dicoba adalah sesuatu yang positif.
Motivasi terbesar bagi seorang anak adalah aqidahnya. Karena aqidah Islam adalah pondasi kehidupan. Menguatkan anak pada fitrahnya sebagai hamba Sang Pencipta. Dengan terus memahamkan bahwa hidup adalah perjuangan untuk akhirat. Sehingga anak akan terus berikhtiar semaksimal mungkin beramal untuk meraih Jannah. Rasa bangga terhadap aqidahnya membuat anak percaya diri menghadapi dunia.
Kedua, Selalu menjadi obat penawar di kala anak gagal dalam suatu hal. Orangtua hendaknya tidak perlu marah dan menuntut sempurna. Setiap upaya terkadang tidak sesuai dengan hasilnya. Maka Orangtua harus menanamkan kepada anak bahwa kegagalan harus menjadi suatu pelajaran berharga. Agar tidak terulang kedua kalinya.
Ketiga, Menghargai setiap proses yang anak lakukan adalah penting. Jangan selalu menuntut hasil. Karena hal itu akan berakibat fatal dikemudian hari. Anak akan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan.
Penting juga untuk menanamkan konsep qadha dan qadar Allah SWT. Agar anak paham bahwa Allah SWT hanya menilai prosesnya bukan hasilnya. Manusia tidak akan dihisab bentuk wajah dan fisiknya.
Allah juga tidak menilai kedudukan, gelar dan kekayaan. Namun Allah SWT akan menilai setiap perbuatan hambanya. Karena yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah yang bertakwa. Firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Keempat, banyak membacakan kisah-kisah orang yang percaya diri meskipun memiliki kekurangan fisik dan materi. Sebagai contoh sahabat Bilal bin Rabah. Cukuplah keislaman membuat beliau percaya diri menjadi pembela Islam. Meskipun beliau adalah budak berkulit hitam. Tapi beliau tidak menyerah atas penyiksaan orang Kafir Qurays.
Berikutnya adalah Sosok Abdullah bin Ummi Maktum, beliau adalah sahabat yang buta. Namun beliau sangat percaya diri menjadi pejuang Islam. Hingga beliau mendapat amanah dari Baginda Nabi menjadi imam kaum wanita saat sholat berjamaah. Serta masih banyak kisah-kisah tokoh-tokoh Islam yang memiliki jiwa percaya diri.
Selain hal tersebut di atas, Orangtua menjadi contoh utama menampilkan sikap percaya diri dalam kehidupan. Orangtualah yang harus selalu memunculkan harapan pada anak akan suatu kesuksesan yang hakiki.
Menjadi muslim yang percaya diri, berarti menjadi muslim yang paham akan jati diri dan tujuan hidup ini. Sebuah tujuan menggapai ridho Illahi.
Muslim yang siap menggali potensi diri. Memberikan kontribusi terbaik untuk kembalinya peradaban Islam Kaffah dalam naungan Khilafah. Serta meyakini bahwa pertolongan Allah SWT adalah kunci kesuksesan hakiki.
Wallahu a'lam bi ash-showab
Posting Komentar