Pendidikan dengan Tatap Muka, antara Harapan dan Kekhawatiran
Oleh : Erwina
Penamabda.com - Pendidikan adalah senjata paling ampuh mengubah dunia. Demikianlah ungkapan popular dari Nelson Mandela. Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia? Sejak pandemi covid-19, terbukalah tabir tentang kondisi karut marut pendidikan di negeri ini.
Tentang pendidikan di Indonesia disebutkan dalam UUD 1945 pasal 31. Amandemen pasal 31 menyatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi warga negara.
Sejak pandemi covid-19 mendera, pendidikan bagi warga negara tidak berjalan sebagaimana biasanya. Diambil langkah untuk pendidikan dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Metode ini menggunakan jaringan internet dengan sistem online. Guru tidak tatap muka secara langsung dengan muridnya kecuali secara virtual. Berbagai aplikasi digunakan untuk mendukung pelaksanaan PJJ ini.
Dari sinilah muncullah persoalan lain pendidikan di negeri ini. Ketidaksiapan guru untuk memberikan pelajaran via daring, ditambah ketidaksiapan orangtua melaksanakan pembelajaran di rumah. Penggunaan jaringan internet turut menambah masalah. Betapa tidak, belum semua wilayah negeri ini terjangkau sinyal internet kuat. Selain itu paket dan kuota data tak selalu dalam kondisi cukup untuk pelaksanaan pembelajaran. Tak hanya itu, tak sedikit siswa yang tak memiliki perangkat pendukung baik laptop maupun hp android untuk dipakainya. Kondisi ini menambah keruwetan PJJ itu sendiri.
Tatap Muka di Sekolah, Berkah atau Masalah?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim telah memberi lampu hijau pelaksanaan kembali pendidikan dengan tatap muka langsung. Pelaksanaannya tetap harus mengikuti berbagai persyaratan yang ada. Misalnya jumlah hari dan jam belajar yang berkurang, pembatasan jumlah peserta didik dalam satu kelas, berlakunya shifting di setiap kelasnya dan sebagainya termasuk bahwa tatap muka ini diberlakukan pada daerah yang telah berzona kuning dan hijau. (nasional.tempo.co, 9/8/2020)
Sontak pernyataan mendikbud ini menuai pro kontra. Tak dimungkiri dengan PJJ cukup membuat lelah orangtua, guru, dan murid. Namun hadirnya murid di sekolah juga menimbulkan kekhawatiran. Betapa tidak, resiko tertular covid-19 masih terbuka, bahkan berpeluang menjadi klaster baru.
Harapan pembelajaran berjalan seperti semula merupakan harapan semua pihak. Namun kebijakan yang ditawarkan untuk mulai tatap muka di zona hijau dan kuning haruskah disikapi sebagai berkah ataukah masalah baru yang muncul? Sayangnya kebijakan ini tetap berpulang pada orangtua. Artinya jika orangtua setuju maka tatap muka bisa berjalan, sebaliknya bila orangtua tidak setuju maka PJJ tetap berlanjut. Lagi-lagi para guru harus bekerja ekstra, menyiapkan PJJ sekaligus tatap muka.
Karut Marut PJJ Lahirkan Kebijakan Sporadis Tanpa Solusi
Sebelum kebijakan tatap muka disampaikan, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk penyelesaian masalah yang timbul akibat PJJ. Terbitnya Permendikbud 19/2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud 8/2020 tentang Juknis BOS Reguler. Dalam pasal 9A disebutkan selama masa penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 yang ditetapkan Pemerintah Pusat, sekolah dapat menggunakan dana BOS Reguler untuk pembiayaan langganan daya dan jasa. Artinya, dana BOS reguler diperbolehkan untuk pembiayaan kuota dan paket data. Persoalannya bagaimana dengan wilayah yang sinyal internet saja tidak ada?
Di sisi lain, kebolehan tatap muka belum dibarengi dengan kesiapan sekolah melaksanakan protokol kesehatan. Tak ada jaminan kedisiplinan dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan selama tatap muka berlangsung. Seperti penggunaan masker oleh seluruh peserta kegiatan belajar mengajar, sarana cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, physical distancing, dsb. Lalu bagaimana? Rupanya pendidikan negeri ini belum mampu keluar dari masalahnya. Jika demikian, mampukah Indonesia mengubah dunia?
Pendidikan Saat Pandemi Butuh Solusi
Keselamatan dan kesehatan rakyat belum menjadi prioritas utama dari pemangku kebijakan. Penyerahan keputusan tatap muka pada orangtua juga sekolah menjadi bukti lepasnya tanggung jawab pemerintah terkait kesehatan dan keselamatan ini. Pelaksanaan PJJ yang dirasa berat membuat pemangku kebijakan bergeming. Alhasil orangtua dan guru jungkir balik sendiri demi pendidikan anak negeri.
Sungguh ironis dan kontradiktif realita pendidikan di masa pandemi dengan amanah dari UUD negara. Hak warganegara tak dipenuhi. Biaya juga ditanggung sendiri. Akankah tatap muka di masa pandemi akan menjadi solusi hakiki? Bagaimana jika justru malah covid-19 menjangkiti?
Keberadaan sistem kapitalisme yang diterapkan dalam negeri inilah sejatinya biang keruwetan yang terjadi. Sistem kapitalisme sekularisme mengedepankan manfaat sebagai landasannya. Alhasil ketika pandemi bermula di negeri ini, kebijakan yang diambil mengacu pada kemanfaatan yang akan teraih. Misal dengan tetap dibukanya akses keluar masuk negeri ini juga pariwisata yang tetap terbuka lebar. Sebaliknya kesehatan dan keselamatan menjadi nomor kesekian yang diutamakan, terlebih saat wacana lockdown ditolak untuk dilaksanakan. Akibatnya kasus konfirmasi positif covid-19 merata terjadi di Indonesia tanpa tahu kapan akan berakhir.
Kondisi pandemi berdampak pada bidang lain seperti ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Resesi ekonomi membayangi. Pendidikan semrawut dengan PJJ-nya. Protokol kesehatan diabaikan rakyatnya.
Demi mendongkrak ekonomi yang dibayangi resesi maka kebijakan hidup berdampingan dengan corona menjadi wacana. Adaptasi kehidupan baru menjadi solusi yang ditawarkan. Sektor pendidikan pun memilih kembali tatap muka dengan resiko tertular.
Jika hanya solusi itu yang ditawarkan setidaknya menunggu kasus covid-19 reda menjadi lebih bijaksana. Dampaknya PJJ lebih panjang tapi resiko tertular menjadi minimal. Kecuali solusi yang diambil dipilih pada sistem yang benar yaitu sistem yang berasal dari Allah SWT. Isolasi wilayah menjadi pilihan, pemisahan antara yang sehat dan sakit dijalankan dengan upaya penyembuhan sekuat tenaga. Adapun yang sehat di luar wilayah isolasi bisa menjalankan aktivitas seperti biasa. Pendidikan anak negeri tidak terbengkalai lagi.
Wallahua'lam bisshowab.
Posting Komentar