Politik Oligarki dan Dinasti, Lahir dari Rahim Demokrasi
Oleh: Sri Haryati (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Penamabda.com - Sebentar lagi, negeri kita tercinta ini mau melaksanakan agendanya yaitu Pilkada serentak seperti yang sudah di jalani 5 tahun yang lalu. Walaupun pandemi Covid-19 belum menunjukkan penurunan angka, bahkan justru menunjukkan kurva naik secara signifikan, tetapi rupanya pesta pilkada harus tetap di gelar. Maka tak heran jika di jalan-jalan sudah banyak terpapang foto dengan wajah tersenyum yang memberikan sebuah harapan baru.
Dan mungkin sebentar lagi akan di gelar kampanye para calon yang penuh dengan janji manis. Persaingan antar calon pun terjadi sangat sengit. Ini hanya seperti sandiwara yang di tayangkan di panggung politik demokrasi. Lebih dari itu oligarki dan politik dinasti sudah terbaca oleh mata hati rakyat yang bisa melihat dengan kejernihan hati dan pikiran.
Politik oligarki yang di bangun Parpol yang sedang berkuasa dan politik dinasti yang di lakukan individu penguasa adalah suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Demokrasi juga meniscayakan pemenang mendapatkan suara terbanyak bisa di raih dengan dana besar, ketenaran ataupun pengaruh jabatan yang dimiliki.
Karena politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. Ini bukan sekadar anomali dari praktik demokrasi. Karena menolak politik dinasti hanya terjadi bila demokrasi di singkirkan. Maka tidak heran jika di berbagai daerah sudah di suguhkan para calon yang tak lain keluarga dari jajaran penguasa yang tampak sangat ambisius untuk melanjutkan kekuasaan, dimana kemungkinan untuk menang atau menduduki jabatan di pilkada itu kebih besar dari yang lain. Kenapa bisa demikian? Ada beberapa alasan yang bisa kita cermati. Karena mereka sdh memegang kekuasaan, jaringannya juga lebih luas, birokrasi, hukum, juga finansial yang sangat memadai. Ini adalah bukti bahwa demokrasi itu melahirkan politik oligarki dan politik dinasti.
Seperti dilansir akurat.co (19/7/2020), keputusan PDI-P untuk mengusung putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon wali kota di pemilihan kepala daerah (pilkada) kota solo tahun 2020 menuai beragam reaksi di sejumlah pihak. Hal tersebut dikarenakan PDI-Perjuangan dinilai akan menumbuhkan Politik Dinasti di dunia politik.
Meski begitu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Alhasil, banyak politikus melahirkan Politik Dinasti melalui keluarga hingga kerabat mereka.
Selain Gibran, juga ada Bobby Nasution (menantu presiden Joko widodo) yang dicalonkan menjadi walikota Medan. Serta masih ada lagi sederetan anak atau keluarga pejabat yang di calonkan di beberapa daerah. Ini bukti nyata adanya politik dinasti di negeri ini.
Berbeda sekali dengan sistem Islam dalam mengangkat pemimpin. Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan dukungan nyata umat karena di kenal ketakwaannya dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara'. Kalau toh ada keluarga dari pemimpin yang diajukan, itu bukan karena adanya ikatan kekeluargaan ataupun kekerabatan tapi memang benar-benar mumpuni di dalam menjalankan hukum syara' dan memang dipilih oleh rakyat.
Wallohua'lam bishawab
Posting Komentar