-->

Benarkah Feminisme Solusi Diskriminasi???

Oleh : Normaliana, S. Pd (Pengajar di MTsN 2 HSU)
           
Penamabda.com - Maraknya krisis keluarga yang saat ini melanda negeri, telah mengakibatkan rapuhnya ketahanan keluarga akibat tren perceraian yang terus meningkat setiap tahunnya. Semakin banyaknya jumlah pasangan yang bercerai seakan menjadi “prestasi” yang harus diapresiasi dalam sistem sekuler saat ini yang secara terus menerus menggelorakan kebebasan tanpa aturan dalam menjalankan tatanan kehidupan.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor ekonomi adalah salah satu penyebab utama yang cukup berperan dalam kemelut rumah tangga. Neo Imprealisme yang dijalankan saat ini telah menjadi agenda global yang sengaja dihembuskan dengan berbagai propaganda tentang hak-hak perempuan dan perlindungannya, yang terimplementasi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang cenderung mengarah pada pemberdayaan perempuan baik sebagai ibu maupun sebagai istri yang sering dijadikan isu diskriminasi terhadap kaum perempuan. 

Sungguh, betapa kaum feminis tak pernah lelah untuk terus mengkampanyekan terwujudnya ide-ide kesetaraan gender di masyarakat  yang hingga kini telah menyasar pada semua lini kehidupan. Mulai dari kalangan intelektual muslim hingga ke perempuan-perempuan di pelosok daerah sekalipun. 

Program pemberdayaan perempuan yang dianggap mampu menyejahterakan perempuan sejatinya tidak sedikitpun mengangkat derajat perempuan.  Program ini hanya menjadikan para perempuan sebagai mesin pencetak uang semata dengan memanfaatkan segala  potensi kaum perempuan demi mengeruk keuntungkan bisnis yang  dijalankan oleh para kapitalis. 

Dengan dalih membantu ekonomi keluarga, mereka mulai memasarkan ide feminisme ke masyarakat dengan salah satu cara memberikan pelatihan kewirausahaan lingkungan sebagai titik awal masuknya dengan mengedukasi masyarakat, khususnya perempuan untuk bisa berdayaguna dalam mnambah pundi-pundi penghasilan keluarga. 

Serangan yang begitu massif oleh pegiat feminisme dengan pengarus opinian negatif terhadap syariah Islam akan terus dikumandangkan tanpa henti. Kaum feminis, menyatakan bahwa syariah telah mengeliminasi hak-hak kaum perempuan. 
Hukum islam pun dianggap telah mendukung langgengnya budaya patriarki (sistem yang didonimasi dan dikuasai oleh laki-laki), seperti wajibnya seorang istri untuk meminta ijin kepada suami ketika ingin keluar rumah, kebolehan suami memukul isterinya ketika nusyuz, atau keharusan seorang isteri melayani suami ketika ia menginginkannya.  

Padahal, Islam hanya mengatur bukan untuk mengekang, aturan islam sangat menjaga kemuliaan kaum perempuan dari kehinaan.  Permusuhan liberal terhadap syariah adalah karena ideologi kebebasan HAM yang menjamin kebebasan beragama, berpendapat, bertingkah laku, dan hak kepemilikan tanpa batas. Dalam demokrasi, hukum Sang Pencipta pun harus tunduk pada manusia. Padahal kedaulatan mutlak hanya pada Allah SWT, itu artinya akal manusia harusnya tunduk pada aturan Allah saja. 

Negara dengan sistem yang diterapkannya sekarang ini telah gagal untuk melindungi perempuan. Kegagalan negara memuliakan perempuan terlihat dari pengungkapan kasus-kasus kekerasan seksual dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Peran Perempuan Dalam Islam

Perempuan adalah ibu pembentuk peradaban. Posisi perempuan sebagai ummu warabbatul bait tidak lepas dari peran yang telah digariskan Allah SWT. Kaum ibu adalah pencetak generasi yang akan memberikan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya berupa penanaman aqidah sejak dini, pembiasaan-pembiasaan pelaksanaan hukum Islam, keteladanan, dan penguasaan tsaqofah dasar. Islam juga telah menetapkan aturan hukum seputar kehamilan, penyusuan, pengasuhan dan perwalian.

Fakta saat ini, ketika sistem kapitalisme memaksa perempuan untuk bekerja, sehingga kondisi mereka sangatlah memprihatinkan. Tenaga mereka diperas untuk menggerakkan roda perekonomian. Pengasuhan anak terpaksa dialihkan dengan pihak lain yang tentunya tak mungkin bisa menggantikan sepenuhnya posisi seorang ibu. Akhirnya, muncullah masalah-masalah sosial seperti kenakalan remaja (pergaulan bebas), narkoba, tawuran hingga kriminalitas. Kekerasan dan pelecehan seksual selalu dijadikan sebagai realita yang harus dilawan. Karenanya, dengan eksisnya perempuan di ranah publik seakan telah mampu memposisikan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam setiap aspek kehidupan.
Inilah harga mahal yang harus dibayar saat perempuan meninggalkan peran utamanya sebagai ummu wa rabbah albayt, ibu dan pengelola rumah tangga dan sekaligus pendidik anak anaknya.          
Islam memandang manusia sebagai makhluk Allah SWT memiliki potensi kehidupan dan naluri-naluri tertentu. Laki-laki dan perempuan diciptakan secara berpasang-pasangan untuk saling melengkapi, sehingga  salah satu dari keduanya tidak bisa diukur lebih utama atau tidak lebih utama. Prinsip ini menunjukkan adanya keadilan bagi laki-laki maupun perempuan. 

Islam menempatkan perempuan pada posisi yang layak ketika memberikan peran khusus bagi perempuan. Namun Islam juga membolehkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam perkara yang lain, seperti dalam pengembangan harta, pendidikan, kesehatan, peradilan, dan aktivitas politik tertentu. Ini karena Allah –yang menciptakan perempuan- lebih mengetahui apa yang cocok dan sesuai dengan pembentukannya. Ketika Allah SWT menciptakan bentuk dan faal tubuh yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, maka keduanya akan mendapat tugas dan peran dalam kehidupan yang berbeda pula. Tentu menjadi sebuah kezhaliman jika mereka dibebani tugas yang sama. Islam membebankan kewajiban memberikan nafkah bagi laki-lak. Sebaliknya, Islam membebankan kewajiban mengasuh anak kepada perempuan. Sistem sosial Islam mengatur kedua jenis manusia dengan kadarnya masing-masing, namun tetap memperhatikan bagaimana sebuah masyarakat harus berjalan harmonis. 
          
Dengan prinsip ini, Islam tidak pernah merendahkan perempuan meski memberi tugas atau beban tertentu yang berbeda dengan laki-laki. Karena di balik beban tertentu tersebut sejatinya ia memiliki andil yang sangat menentukan bagi berjalannya roda kehidupan masyarakat. 

Syariat Islam memuliakan, membesarkan kiprah dan menjamin kehormatan mereka. Tokoh Muslimah yang memiliki peranan besar dalam masyarakat, sama sekali jauh dari gambaran terkekang dan terdiskriminasi seperti yang sering dinarasikan media Barat. Di era Islam juga nyaris tidak terdengar praktek eksploitasi atau kerja paksa pada rakyat, termasuk kaum perempuan. Justru yang terjadi hari ini, saat negeri Muslim Indonesia menerapkan ideologi Kapitalisme Demokrasi, ada jutaan perempuan yang terampas hak ekonominya akibat dimiskinkan secara massal oleh sistem.

Sistem Sosial dalam Islam Memuliakan Perempuan    
          
Kaum perempuan Barat telah mengalami sejarah suram diskriminasi saat mereka dianggap sebagai warga negara rendahan. Itu sebabnya muncul perjuangan mengubah nasib kaum perempuan. Sedangkan Islam datang di tengah bangsa Arab jahiliyah untuk mengangkat derajat perempuam yang saat itu dihinakan oleh sistem jahiliyah. 

Islam adalah satu-satunya agama yang datang dengan ajaran untuk memuliakan perempuan. Saat memiliki anak perempuan dianggap aib, maka Islam menjadikannya sebagai sarana untuk memasukkan orangtuanya ke surga (HR. Bukhari, Ahmad, dan Turmudzi). 
Saat derajat perempuan dihinakan, Islam mengangkatnya dan menjadikan kedudukannya di depan hukum syara’ sama dengan laki-laki (QS. Al Ahzab : 34, An Nisaa :124).

Bahkan Islam menjadikan hak mendapatkan warisan bagi perempuan, melangsungkan muamalah, mendapatkan mahar dan nafkah dan hak-hak lain yang tidak pernah dinikmati perempuan sebelumnya di masa jahiliyah.     
          
Islam datang untuk memuliakan perempuan dengan menempatkannya sebagai ratu rumah tangga yang harus dijaga, dilindungi dan dijamin hidup dan penghidupannya.

Tuduhan kaum feminis liberal terhadap hukum perwalian sebagai penyebab perempuan menjadi inferior dari laki-laki adalah anggapan yang keliru. Karena, makna perwalian menurut Islam adalah perlindungan, jaminan keamanan, keselamatan, juga nafkah. Perwalian diberikan agar perempuan tak harus mencari nafkah sehingga bisa menjalankan tugas mulianya sebagai ibu, pendidik sejati, pencetak generasi berkualitas dan pengurus rumah tangga. Tugas ini tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai tugas domestik yang rendahan. 

Perwalian dibebankan kepada laki-laki bukan kepada perempuan tidaklah menunjukkan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, juga tidak menunjukkan kesetaraan gender.

Tatkala sistem kapitalisme liberal mencabut perwalian ini dari para perempuan, maka perempuan dipaksa mencari nafkah dan harus siap menghadapi ancaman kekerasan fisik maupun seksual. Ketika islam  mengharuskan laki laki menafkahi perempuan agar perempuan terhindar dari kemiskinan. Perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat. 
          
Ketika Islam mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan, maka tidak bisa dipandang hanya dari sisi perempuan. Namun juga harus memperhatikan aspek lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. 

Sistem Sosial Islam terperinci dalam hukum-hukum yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan di kehidupan khusus maupun umum. Dengan sistem ini, perempuan memiliki kedudukan mulia –sebagaimana Allah juga memuliakan laki-laki. Karena, keluhuran sebuah masyarakat ditentukan oleh generasi dan kehidupan keluarga. Dalam rumah tangga, perempuan berhak memperoleh nafkah dan kehidupan tentram dari suaminya.
          
Dengan diterapkannya sistem sosial Islam, maka perempuan bukan hanya mendapatkan hak-haknya, kehormatannya pun terjaga dan terlindungi. Ia tidak tertindas meski diberikan peran berbeda dengan laki-laki di masyarakat dan keluarga. Anak-anak juga akan mendapatkan hak-haknya. Tidak ada yang menelantarkan mereka, baik dalam pengasuhan, pendidikan maupun nafkah. Masyarakat secara umum bahkan akan mendapatkan keuntungan dan keluhurannya. Kerusakan moral dapat diminimalisir. Ini tentu berbeda dengan kondisi masyarakat kapitalis yang penuh dengan ancaman terhadap perempuan. Sistem sosial yang berlaku saat ini rusak dan merusak. Sedangkan sistem sosial dalam Islam sangat unik dan khas karena satu-satunya sistem buatan Sang Khalik yang menciptakan manusia dengan seperangkat aturannya yang pasti cocok bagi makhluk-Nya. 
          
Adanya Stigmatisasi Islam akan memunculkan Islamophobia, keadaan ini tak akan pernah berhenti sampai kapanpun jika tidak ada perlawanan dan kekuatan negara yang mampu menandinginya. Kita tidak bisa berharap banyak melalui upaya-upaya yang parsial, Solusi tuntas permasalahan perempuan hanya dengan penerapan hukum-hukum Allah secara kaffah. 

Dengan sistem inilah, kita akan mampu mewujudkan kemuliaan dan kesejahteraan perempuan. Para muslimah jangan sampai terjebak isu feminisme yang mendiskreditkan syariah. Karena sejatinya, penerapan syariah adalah tuntutan keimanan, jika kita menerapkan syariah di bumi Allah, maka perempuan pasti akan mulia dan sejahtera. Karena, khilafah akan melarang segala bentuk aktivitas yang menjadikan perempuan sebagai objek komoditas dan merendahkan derajatnya sebagai perempuan.
         
Oleh karena itu umat Islam harus selalu menyadari bahwa Islam-lah identitas sejati mereka, yang memuliakan, mensejahterakan dan membawa keberkahan untuk semua. Maka sudah seharusnya menjadi kewajiban kita seluruh kaum muslim untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam yang akan melindungi seluruh umat termasuk perempuan melalui sistem sosialnya. 

Penerapan Islam tentunya harus diimbangi dengan pencerdasan umat, juga kompetensi dasar seorang penguasa yang akan menerapkan syatiat Islam, dengan pemberlakuan sanksi tegas terhadap segala bentuk pelecehan dan fitnah terhadap perempuan. Dalam Islam, juga dibuka kesempatan luas bagi perempuan berkontribusi aktif di bidang politik, pendidikan serta kehidupan sosial masyarakat tanpa direndahkan dan dilecehkan. 
          
Sejatinya, Penerapan aturan sekuler liberal atas nama kesetaran gender dan kebebasan perempuan tak menghasilkan apapun selain kehinaan dan penderitaan. Perempuan akan meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki jika mencampakkan aturan-aturan hidup sekuler dan kembali kepada sistem Islam. Aturan Islam, baik pada tataran konsep maupun praktek telah terbukti mampu menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik, dimana setiap orang akan mampu merasakan kesejahteraan di bawah naungannya selama rentang waktu yang sangat panjang

Karena itu, maka upaya meraih kesejahteraan bukan hanya dibebankan kepada individu dan keluarga saja, namun merupakan tanggung jawab Negara. 

Wallahu’alam