-->

Kriminalisasi Ulama dalam Sistem Sekuler

Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)

Penamabda.com - Nampak tindak kriminalisasi terhadap ulama di negeri ini semakin hari, semakin berani. Terbaru, adalah kasus penusukan terhadap ulama Syekh Ali Jaber di Bandar Lampung, pada Ahad sore, 13 September 2020. Mengenai hal ini, Menkopolhukam Mahfud MD angkat bicara. Ia menginstruksikan agar aparat kepolisian segera mengungkap kasus ini. “Aparat keamanan Lampung supaya segera mengumumkan identitas pelaku, dugaan motif tindakan, dan menjamin bahwa proses hukum akan dilaksanakan secara adil dan terbuka,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis (13/9).

Menurutnya, Syekh Ali Jaber merupakan ulama yang banyak membantu pemerintah dalam amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka Islam Rahmatan lil ‘alamin. Islam sebagai rahmat dan sumber kedamaian di dunia, Islam wasathiyyah. 

“Selama ini beliau selalu berdakwah sekaligus membantu satgas Covid-19 dan BNPB untuk menyadarkan umat agar melakukan shalat di rumah pada awal-awal peristiwa Corona.” Jadi, Syekh Ali Jaber adalah ulama yang aktif membantu pemerintah yang bahkan pernah berceramah dan berbuka puasa bersama Presiden Joko Widodo, Presiden SBY dan Pimpinan lembaga negara lainnya,” ungkapnya (http://viva.co.id, 13/9/2020).

Hukum Untuk Siapa?

Belum lama terjadi tindak tabayyun rasa persekusi oleh Banser terhadap tokoh agama di Rembang, Pasuruan, Jawa Timur, kini teror berwujud penyerangan fisik juga membayangi kehidupan ulama-ulama dalam menyampaikan kebenaran Islam. Sayangnya, hal ini sebagaimana biasanya tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemimpin negeri ini.

Menilik kasus penyerangan yang terjadi kepada pendakwah Syekh Ali Jaber, Angggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Bukhori Yusuf menyatakan bahwa Indonesia darurat perlindungan kepada Ulama. Bukhori mengatakan, peran ulama atau tokoh agama lainnya sangat strategis di tengah masyarakat. Namun, belum ada jaminan yang jelas dari negara terhadap mereka.

“Kondisi ini menandakan semakin daruratnya perlindungan terhadap tokoh agama. Padahal, para tokoh agama ini berhak memperoleh perlindungan dari tindakan persekusi, kekerasan fisik maupun non fisik...,” kata Bukhori kepada wartawan, Senin (14/9).

Bukhori menyebut kasus penyerangan terhadap ulama sudah sering terjadi di Indonesia. Mengutip data Bareskrim Polri, ia menyebut ada 21 kasus penyerangan terhadap ulama di tahun 2018. Penyerangan yang tidak berujung pada luka biasa, namun juga kematian seperti pada kasus penyerangan terhadap Pengurus Ormas Islam Persis, Ustadz Prawoto di Bandung. Padahal, kata Bukhori Undang-Undang Dasar 1945 mengatur kebebasan memeluk agama pada pasal 28E ayat (1) dan 29 ayat (2). Pasal 28G UUD I945 juga melindungi setiap warga negara dari ancaman ketakutan untuk berbuatatau bertindak (http://m.cnnindonesia.com, 14/9).

Perlu dipahami bahwa penyebaran dakwah Islam di Nusantara ini tidak bisa dilepaskan dari peran ulama. Namun, faktanya sungguh menyedihkan. Di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini, tindak kriminalisasi dakwah terus terjadi. Para ulama dipersekusi, sementara penjahat dibiarkan. Dari sekian banyak insiden kekerasan kepada ulama sebagaimana terjadi selama ini, nampak tidak ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengusutnya secara tuntas, justru terkesan melakukan pembiaran terhadapnya. Pelaporan kasus seperti berjalan di tempat, berhenti di tengah jalan dan pada akhirnya hilang bagai ditelan bumi, sehingga kekerasan terhadap ulama semakin marak terjadi.

Seharusnya pernyataan dari Menkopolhukam tersebut di atas, menjadi pegangan kuat bagi pemerintah sehingga benar-benar direalisasikan dalam tindakan nyata di negeri ini. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan sebaliknya. Karena fakta di depan mata justru menegaskan banyak ulama yang dipersekusi, diintimidasi, difitnah bahkan dipenjara, terutama kepada para ulama dan tokoh Islam secara umum, yang gigih beramar ma’ruf nahi munkar dengan Islam secara Kaffah di tengah-tengah umat dan mengoreksi penyimpangan praktik kebijakan penguasa yang menyalahi syariat Islam. 

Dengan berlindung di bawah payung Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin kebebasan berperilaku atau berekspresi, menjadikan setiap hari kita mendengar semakin banyak orang yang berani semena-mena menghakimi, memperolok-olok maupun meneror para ulama dan tokoh intelektual Islam. Terkait hal ini, umat pesimis dengan upaya penegakkan hukum yang berlaku. Bagaimana tidak, penegakan hukum tidak pernah profesional dalam melayani masyarakat secara keseluruhan. Kepada pengkritik penguasa, hukum tajam ke bawah, tetapi ketika bersinggungan dengan antek-antek kekuasaan seberapa besar pun kejahatannya maka akan didiamkan dengan beragam kompromi. Ironis! Jaminan HAM yang didengungkan itu tidak memberikan jaminan bagi ulama maupun umat Islam dalam menyebarkan Islam itu sendiri. Dengan kata lain, jaminan tersebut hanya dimanfaatkan sesuai kepentingan penguasa. 

Adapun, umat yang senantiasa menyeru untuk melindungi ulama dari ancaman-ancaman dalam berdakwah baik fisik maupun non fisik melalui peraturan hukum, maka hal ini patut didukung dan diapresiasi. Namun lebih dari itu, mereka juga memerlukan sistem yang benar, kondusif dan memadai dalam memberikan fasilitas dakwah sehingga bisa memberi kontribusi terhadap dunia dalam membentuk kesadaran umat seluruhnya menuju Islam Kaffah. 

Namun, lagi-lagi upaya pembencinya dalam menghadang usaha tersebut semakin menjadi. Salah satunya adalah kebijakan tentang sertifikasi ulama, yang sesungguhnya digunakan untuk menghambat pemahaman umat terhadap Islam secara Kaffah. Pasalnya program sertifikasi penceramah (tahap awal) kepada 8.200 orang ini diklaim bertujuan untuk mencetak penceramah yang memiliki bekal wawasan kebangsaan dan menjunjung tinggi Ideologi Pancasila, sekaligus mencegah penyebaran paham radikalisme di tempat ibadah. Label radikalisme ini pun terus dihembuskan untuk menyudutkan umat Islam dan para da’i-nya yang istiqomah mendakwahkan Islam. Hal ini semakin menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali jaminan kebebasan dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dimaksud di atas, justru sebaliknya bertujuan untuk menghalanginya.

Rezim sekuler jelas mempunyai kepentingan membela para pelaku kriminal terhadap ulama ataupun tokoh-tokoh Islam karena mereka ingin menjaga sistem ideologi kebesaran mereka. Sistem Sekularisme-demokrasi yang senantiasa mengedepankan kepentingan dan manfaat belaka. Begitupula produk hukum yang lahir darinya senantiasa hadir untuk menyuburkan tindakan tak beradab dan akan menyeret siapa saja yang gigih menyebarkan Islam dengan beragam dalih tak berdasar. Maka, masyarakat harus menyadari bahwa hal ini terus berjalan lancar karena didukung oleh sistem salah yang menciptakan kebijakan hukum yang salah pula. Secara langsung, tidak bisa diharapkan oleh umat untuk menyelesaikan persoalan hidup di masyarakat secara adil dan mendatangkan kemaslahatan.

Khilafah Menjaga Kedudukan Ulama

Tindak kriminalisasi kepada ulama tidak akan pernah tuntas dalam sistem sekuler-demokrasi sebagaimana negeri ini. Berbeda halnya dengan Islam yang mempunyai solusi terbaik untuk memberantas kejahatan itu hingga ke akarnya. Sistem Islam menetapkan sistem sanksi syar’i yang tegas dan mengikat dalam kasus pelanggaran syariat Islam tanpa pandang bulu terhadap pelaku kejahatan. Hukum Islam berfungsi sebagai penebus siksa akhirat dan pencegah terjadinya tindak kejahatan yang baru terulang kembali.

Adapun kasus penyerangan sebagaimana Syekh Ali Jaber, maka akan dikenakan sanksi kejahatan berupa Jinayat. Dalam kasus jinayat (kejahatan/pidana), korban yang akan menderita cacat dan terkena luka (tidak mengalami kematian), balasan pidananya menurut Islam adalah qishosh (perlakuan serupa) sebagai keadilan yang Allah Ta’ala tegakkan di bumi ini. Begitupula kepada kepada pelaku yang sampai menyebabkan kematian kepada korban, juga mendapat qishosh (hukuman mati).

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari abu Syuraih al-Khaza’iy, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa tertumpah darahnya atau tersakiti, maka ia bisa memilih salah satu dari tiga pilihan, bisa meng-qishash, atau mengambil tebusan, atau memaafkan, jika ingin yang keempat, maka kuasailah dirinya/dibuang (Imam Abu Dawud).

Mereka, para ulama yang akan menerangkan syariat Islam, terpercaya memikul tanggungjawab dalam mempertahankan keutuhan agama ini. Mereka yang mendapat kehormatan sebagai pewaris para nabi, yang mewarisi ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh yang diwariskan oleh para nabi. Mewarisi untuk berdakwah dan beramar ma’ruf nahi munkar, berjihad di jalan Allah dan berani menanggung risiko yang harus dihadapinya demi menggapai ridho Allah. 

Allah dan Rasul-Nya memberikan peringatan tegas terhadap orang-orang yang menyakiti para ulama, salah satu Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku, maka Aku memberitahukan kepadanya bahwa ia Kuperangi...” (HR. Bukhari).

Demikian juga Ikrimah, seorang tabi’inyang menyebutkan,“Janganlah kamu menyakiti seorang ulama. Siapa saja yang menyakiti ulama, berarti dia telah menyakiti Rasulullah. Sebab, ulama berkedudukan sebagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari kiamat nanti.”

Maka dari itu, seharusnya negara memberikan penjagaan dan perlindungan terhadap para ulama yang kedudukannya sangat dimuliakan itu. Dan tidak ada pilihan lain kecuali dengan penegakkan syariat Allah secara Kaffah di bawah naungan sistemnya. Untuk menuju negeri yang kondusif haruslah kembali kepada syariah Islam dengan kesempurnaan risalahnya yang berasal dari Pencipta manusia dan alam semesta memberi penjagaan total terhadap pendakwah Islam sekaligus meniadakan terjadinya praktik kejahatan kepada mereka. 

Wallahu a’lam bi showwab.