Lagi-Lagi, Palestina Dikhianati
Oleh: Nurwati, ST
Penamabda.com - Tanggal 13 Agustus 2020 akan terpatri dalam sejarah umat Islam sebagai momen pengkhianatan Uni Emirat Arab (UEA) atas perjuangan muslim Palestina. Bagaimana tidak, di tengah upaya Palestina memerdekakan diri dari penjajahan Israel, justru UEA secara resmi mengumumkan kesepakatan damai dengan Israel. Kesepakatan damai yang ditengahi oleh Washington ini sekaligus sebagai bukti pengakuan UEA atas eksistensi Israel di tanah Palestina.
Kecaman dari Palestina rupanya tak menyurutkan langkah UEA dalam menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Terbukti, Presiden UEA Sheikh Khalifa bin Zayed Al-Nahyan mengeluarkan dekrit yang menghapus Undang-Undang Federal tentang pemboikotan Israel, pada 29 Agustus 2020 lalu. (m.cnnindonesia.com, 31 Agustus 2020). Artinya, UEA telah membuka penuh hubungan diplomatik dan mengizinkan Israel melakukan bisnis di negaranya.
UEA adalah negara Arab ketiga yang secara resmi mengakui Israel. Pengakuan pertama atas esksistensi Israel diberikan oleh Mesir melalui penandatanganan Camp David Accords pada 1979. Dan sebagai imbalannya, Mesir mendapatkan wilayah Sinai. Jordania turut menandatangani perjanjian dengan Israel pada 1994, pada puncak Proses Perdamaian Oslo. Hingga kini, baik Israel maupun Amerika Serikat terus berupaya agar negara-negara Arab lainnya mau membuka hubungan dan mengakui Israel.
UEA sendiri menyatakan bahwa hubungan diplomatik dengan Israel dilakukan sebagai upaya untuk menghentikan aneksasi terhadap wilayah Tepi Barat, Palestina. Kesepakatan normalisasi hubungan kedua negara ini muncul tak lama setelah Israel menyatakan rencananya untuk menduduki Tepi Barat sehingga memicu reaksi keras masyarakat internasional. Meski klausul penghentian aneksasi wilayah Palestina terdapat pada poin-poin kesepakatan, namun tidak serta-merta Israel berhenti untuk mencaplok wilayah Palestina. Karena pada saat yang bersamaan, Israel menyatakan hanya menghentikan sementara upaya aneksasi.
Jika demikian adanya, pembelaan UEA terhadap rakyat Palestina melalui normalisasi hubungan menjadi tak berguna sama sekali. Apalagi, ada hubungan tidak resmi antara UEA dan Israel yang telah terjalin sejak lama. Sehingga peresmian hubungan UEA-Israel jelas merupakan pengkhianatan atas nasib Palestina.
Motif lain diduga turut mendasari tercetusnya normalisasi hubungan UEA-Israel. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Arab Saudi memiliki ketakutan yang besar terhadap Iran, yang keberadaannya dianggap sebagai ancaman utama di Timur Tengah. Disusul adanya pengaruh "Islamisasi" atau "Politik Islam", yakni sebuah konsep trans-nasional yang sering disuarakan oleh Ikhwanul Muslimin. Seruan ini oleh para penguasa Teluk Arab dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi dinasti monarki mereka.
Dari sini kita bisa melihat, bahwa normalisasi UEA dengan Israel lebih didasari oleh kepentingan penguasa UEA untuk menyelamatkan kekuasaannya, dibanding pembelaan terhadap nasib Palestina. Apalagi, Israel sejauh ini merupakan negara paling maju dalam hal teknologi di Timur Tengah dengan penemuan-penemuan mutakhirnya. Jika persekutuan ini berhasil akan mendorong kemakmuran dan menaikkan wibawa UEA di mata internasional.
Tentu tak mengherankan apabila negara-negara Timur Tengah bersikap lemah di hadapan Israel. Karena para penguasa di sana pada hakikatnya adalah pelayan Amerika Serikat. Sementara Israel adalah alat yang dimainkan oleh AS agar Timur Tengah selalu berada dalam genggamannya. Sehingga tidak mungkin rezim Timur Tengah mengambil sikap yang berseberangan secara nyata dengan negara adidaya. Kalau pun membela nasib Palestina, pembelaan itu tidak akan sampai pada tindakan mengusir Israel dari bumi Palestina. Pembelaan hanya sebatas kecaman, perjanjian, dan pengakuan dua negara. Meskipun mereka tahu bahwa Israel adalah penjajah dan perebut wilayah, yang tidak layak mendiami Palestina.
Kondisi seperti ini akan terus terjadi. Negeri-negeri muslim bersikap inferior di hadapan Barat. Lalu perlahan masuk dalam perangkap mereka. Karena Barat telah berhasil memaksakan sekat-sekat nasionalisme. Tujuannya agar setiap negeri muslim menjadi lemah dan sibuk dengan kepentingan masing-masing seraya mengabaikan pentingnya bersatu dalam ikatan akidah Islam. Sehingga Barat terus bisa menjajah negeri-negeri muslim. Mengeruk kekayaannya. Merampas negerinya. Menjauhkan Islam dari hidupnya. Sungguh, betapa jahat strategi barat dalam menguasai kaum muslimin.
Sayangnya, hari ini masih banyak umat Islam yang rela bahkan bangga hidup terkungkung sekat nasionalisme yang diciptakan penjajah. Padahal Allah melarang kaum muslimin hidup tercerai berai, sebagaimana dalam firman-Nya:
...وَا عْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ
"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai,... "
Umat Islam butuh institusi pemersatu dengan dasar akidah Islam, yakni Khilafah. Khilafah pula yang akan memerdekakan Palestina dari cengkeraman Israel, membebaskan negeri-negeri muslim dari pengaruh hegemoni Barat. Khilafah adalah lawan yang sepadan untuk menghentikan kepongahan AS. Karenanya, opini tentang Khilafah harus terus diangkat. Agar semua memahami bahwa Khilafah adalah solusi yang diberikan oleh Islam untuk membebaskan Palestina dan mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Wallahu a'lamu bish shawabi.
Posting Komentar